(Trigger warning)
"Aku sakit pa, aku sakit, aku sakit tapi gatau dimana sakitnya, aku gatahan, aku rasanya mau udahan (udahan hidup)", kataku merengek pada suamiku sambil berlinang air mata.Malam itu, 3 bulan sudah suamiku diberhentikan bekerja. Aku menjadi sangat sensitif dan cemas setiap hari bahkan setiap saat. Rasa tidak nyaman merasuki relung hatiku, hingga sesak dan gelap. Aku tidak tau apa lagi solusinya. Semua saran terdengar klise dan aku tidak pernah puas, aku tidak pernah merasa lebih baik.
Suamiku tidak bisa berkata apa-apa, matanya melihatku dengan prihatin. Hanya bisa memelukku dan menenangkan dengan kata-kata seperti, "maaf ya aku udah bikin kamu begini". Aku tau tidak semua salahnya, namun hal tersebut menghangatkan hatiku, belum pernah ada yang menyalahkan dirinya untukku, biasanya selalu aku yang disalahkan. Aku terisak dalam pelukannya, pelukannya tempat terhangat yang aku punya didunia ini. Pelukannya ruang paling terang bagiku, untuk keluar dari rasa ingin menyudahi kehidupan.
Hari demi hari bergulir, tiada hari tanpa menjadi orang yang berdaya. Aku bangun untuk menyiapkan makan pagi anak dan suamiku. Merapikan barang yang berserak dirumah. Membuat konten a day in my life, memilah sampah. Dan berusaha menjalankan hariku sebagai ibu dan istri yang baik. Selagi suamiku belum mendapatkan pekerjaan tetap. Aku masih punya pekerjaan sampingan sebagai content creator di Instagram Labella Korean Spa. Gaji dari kak Wit (owner Labella), sepakat kami gunakan untuk biaya makan dan kebutuhan rumah setiap hari. Sedangkan sisa cash yang kami punya kami gunakan untuk membayar cicilan KPR kami.
Orang tuaku ikut prihatin dengan keadaan kami. Setiap 2 minggu sekali mereka datang membawakanku beras dan ayam atau ikan untuk lauk makan. Ada rasa syukur aku masih bisa makan dan hidup dirumah yang nyaman. Tapi entah mengapa hal-hal baik itu tidak pernah bisa mengusir rasa tidak aman dan tidak nyaman direlung batinku.
Suatu hari aku tersenyum bersyukur, kala itu suamiku mendatangi undangan interview di dua perusahaan rumah produksi. Aku merasa harapan hari cerah akan tiba, aku akan segera keluar dari depresiku. Suamiku mengajakku menukarkan uang ke money changer terdekat untuk menukarkan sisa sisa dollar singapore yang dia punya, bahagia sekali aku mendapatkan cash hampir 3juta rupiah. Langsung aku belanjakan untuk keperluan lebaran. Karena saat itu sedang bulan Ramadhan.
Aku sudah tau bahwa aku depresi, dokter psikiater online meresepkan obat antidepresan untukku dan menyarankan aku untuk pergi ke dokter psikiater ke rumah sakit terdekat. Selain itu, psikolog online juga memberikan kesaksian yang sama. Aku depresi. Namun karena aku berpikir suamiku akan segera mendapat pekerjaan, aku pikir depresiku akan hilang. Jadi aku tidak mengikuti saran dokter psikiater online tersebut.
Pada suatu siang yang tenang, aku selesai mengerjakan semua pekerjaan rumahku. Aku menangis frustasi. Tiba-tiba menangis sangat frustasi. Sangat sedih dan rasanya sangat tidak nyaman. Aku tidak punya ide untuk berbuat apa lagi selain menangis. Dan fase tersebut berulang terus menerus meski hidupku sedang baik-baik saja.
Aku tau tidak bijak menyalahkan kehidupan. Namun merasa bersalah akan diri sendiri pun tidak baik. Aku tau harus ada jalan keluar disetiap masalah. Karena Tuhan menciptakan banyak pintu bagi orang-orang yang beriman, dan aku masih beriman.
Lanjut ke bagian 2...
Komentar
Posting Komentar