Langsung ke konten utama

Pemikiran Politik Islam Taqiyuddin An-Nabhani (Partai Politik Islam Hizbut Tahrir)

(essay ini saya tulis dalam memenuhi tugas mata kuliah Politik Islam)

Pemikiran Politik Islam Taqiyuddin An-Nabhani
(Partai Politik Islam Hizbut Tahrir)
 ( Irma Ayu Sawitri – 1113015000092 – irma.ayus13@mhs.uinjkt.ac.id )


Abstrak
Syaikh Taqiyuddin beranggapan bahwa gerakan-gerakan yang selama ini sudah ada dan gagal dikarenakan hanya berlandaskan semangat dan kesungguhan saja dan tidak berlandaskan dengan fikrah dan thariqah. Syaikh Taqiyuddin menjelaskan, bahwa fikrah adalah konsep yang mendasari politik suatu negara adalah pemikiran yang menjadi asas hubungan negara itu dengan berbagai bangsa dan negara lain. Dan thariqah adalah suatu metode atau cara.
Hizbut tahrir adalah partai politik yang berideologi Islam. Bercita-cita untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam melalui tegaknya Daulah Islam, yang akan menerapkan sistem Islam serta mengemban dakwah ke seluruh dunia. Hizbut Tahrir memerangi penjajah dengan peperangan tanpa basa-basi; tidak hanya menuntut agar penjajah keluar dari negeri-negeri Islam, dan tidak hanya menuntut kemerdekaan yang semu. Bahkan Hizbut Tahrir menghendaki mencabut keadaan yang diciptakan oleh penjajah kafir dari akar-akarnya yaitu dengan membebaskan negeri-negeri Islam, lembaga-lembaga pendidikan, dan pemikiran umat dari berbagai pengaruh dan bentuk penjajahan: baik itu penjajahan militer, ideologi, kebudayaan, dan sebagainya.

Dalam perspektifnya, Daulah Islamiyah dikategorikan dalam tiga perkara penting, yaitu Pertama, Sistem Pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Tuhan alam semesta adalah sistem Khilafah. Di dalam sistem Khilafah ini Khalifah diangkat melalui baiat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya untuk memerintah sesuai dengan wahyu yang Allah turunkan. Dalil-dalil yang menunjukkan kenyataan ini sangat banyak, diambil dari al-Kitab, as-Sunnah, dan Ijmak Sahabat. Kedua, Kedua: Sistem Pemerintahan Islam (Khilafah) berbeda dengan seluruh bentuk pemerintahan yang dikenal di seluruh dunia; baik dari segi asas yang mendasarinya; dari segi pemikiran, pemahaman, maqayis (standar), dan hukum-hukumnya untuk mengatur berbagai urusan; dari segi konstitusi dan undangundangnya yang dilegislasi untuk diimplementasikan dan diterapkan; ataupun dari segi bentuknya yang mencerminkan Daulah Islam sekaligus yang membedakannya dari semua bentuk pemerintahan yang ada di dunia ini. Ketiga, Sesungguhnya struktur negara Khilafah berbeda dengan struktur semua sistem yang dikenal di dunia saat ini, meski ada kemiripan dalam sebagian penampakannya.
Keywords: Hizbut Tahrir, Daulah Islamiyah, Khilafah




Kelahiran, Pertumbuhan, & Perjalanan Pendidikan
Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf an-Nabhani. Nama an-Nabhani dinisbahkan kepada kabilah Bani Nabhan, salah satu kabilah Arab penghuni padang sahara di Palestina. Mereka bermukim di daerah Ijzim, wilayah Haifa, Palestina Utara.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dilahirkan di daerah Ijzim pada tahun 1908. Dia mendapat didikan ilmu dan agama di rumah ayahnya sendiri, seorang syaikh yang faqih fiddin. Ayahnya seorang pengajar ilmu-ilmu syariat di Kementrian Pendidikan Palestina. Ibu beliau juga menguasai beberapa cabang ilmu syariat yang diperoleh dari ayahnya, Syaikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf al-Nabhani. Syaikh Yusuf ini adalah seorang qadi (hakim), penyair, sastrawan, dan salah seorang ulama terkemuka dalam Daulah Utsmaniyah.
Suasana keagamaan yang kental kemudian mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan kepribadian dan pandangan hidup Syaikh Taqiyuddin anNabhani selanjutnya. Beliau telah hafal al-Qur'an seluruhnya dalam usia yang amat muda, yaitu di bawah usia 13 tahun.
Syaikh Taqiyyudin an-Nabhani banyak mendapat pengaruh dari kakeknya, Syaikh Yusuf al-Nabhani, dan menimba ilmu yang luas. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani juga sudah mulai mengerti masalah-masalah politik yang penting, mengingat kakeknya mengalami langsung peristiwa-peristiwa penting tersebut karena mempunyai hubungan erat dengan para penguasa Daulah Usmaniyah saat itu. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani banyak mendapat pelajaran dari majelis-majelis dan diskusi-diskusi fiqih yang diselenggarakan oleh sang kakek, Syaikh Yusuf al-Nabhani. Kecerdasan dan kecerdikan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani yang nampak saat mengikuti majelis-majelis ilmu tersebut telah menarik perhatian kakeknya. Oleh karenanya, Syaikh Yusuf begitu memperhatikan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan berusaha meyakinkan ayahnya, Syaikh Ibrahim bin Musthafa, mengenai perlunya mengirim Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani ke al-Azhar untuk melanjutkan pendidikannya dalam ilmu Syari’ah.[1]
Syaikh Taqiyuddin menerima pendidikan dasar-dasar ilmu syariah dari ayah dan kakek beliau, yang telah mengajarkan hapalan Al Qur’an sehingga beliau hapal Al Qur’an seluruhnya sebelum baligh. Di samping itu, beliau juga mendapatkan pendidikannya di sekolah-sekolah negeri ketika beliau bersekolah di sekolah dasar di daerah Ijzim. Kemudian beliau berpindah ke sebuah sekolah di Akka untuk melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah. Sebelum beliau menamatkan sekolahnya di Akka, beliau telah bertolak ke Kairo untuk meneruskan pendidikannya di Al-Azhar, guna mewujudkan dorongan kakeknya, Syaikh Yusuf an-Nabhani. Syaikh Taqiyuddin kemudian meneruskan pendidikannya di Tsanawiyah Al Azhar pada tahun 1928 dan pada tahun yang sama beliau meraih ijazah dengan predikat sangat memuaskan. Lalu beliau melanjutkan studinya di Kulliyah Darul Ulum yang saat itu merupakan cabang Al Azhar. Di samping itu beliau banyak menghadiri halaqah-halaqah ilmiah di Al Azhar yang diikuti oleh Syaikh-Syaikh Al Azhar, semisal Syaikh Muhammad alHidhir Husain – rahimahullah – seperti yang pernah disarankan oleh kakek beliau. Hal itu dimungkinkan karena sistem pengajaran lama Al Azhar membolehkannya.[2]
Aktivitas Politik
Sejak remaja Syaikh an-Nabhani sudah memulai aktivitas politiknya karena pengaruh kakeknya, Syaikh Yusuf an-Nabhani, yang pernah terlibat diskusi-diskusi dengan orang-orang yang terpengaruh peradaban Barat, seperti Muhammad Abduh, para pengikut ide pembaharuan (modernisme), tokoh-tokoh Freemansory, dan pihak-pihak lain yang membangkang terhadap Daulah Utsmaniyah.
Perdebatan-perdebatan politik dan aktivitas geraknya di antara para mahasiswa di Al Azhar dan di Kulliyah Darul Ulum, telah menyingkapkan pula kepeduliannya akan masalahmasalah politik.
Beberapa sahabatnya menceritakan bagaimana sikap-sikap beliau yang berani menyerukan seruan yang bersifat menantang, dan mampu memimpin situasi Al Azhar pada saat itu. Di samping itu, beliau juga melakukan berbagai perdebatan dengan para ulama Al Azhar mengenai apa yang harus dilakukan dengan serius untuk membangkitkan umat Islam. Sebenarnya ketika Syaikh an-Nabhani kembali dari Kairo ke Palestina dan ketika beliau menjalankan tugasnya di Kementerian Pendidikan Palestina, beliau sudah melakukan kegiatan yang cukup menarik perhatian, yakni memberikan kesadaran kepada para murid yang diajarnya dan orang-orang yang ditemuinya, mengenai situasi yang ada saat itu. Beliau juga membangkitkan perasaan geram dan benci terhadap penjajah Barat dalam jiwa mereka, di samping memperbaharui semangat mereka untuk berpegang teguh terhadap Islam. Beliau menyampaikan semua ini melalui khutbah-khutbah, dialog-dialog, dan perdebatanperdebatan yang beliau lakukan. Pada setiap topik yang beliau sodorkan, hujjah beliau senantiasa kuat. Beliau memang mempunyai kemampuan yang tinggi untuk meyakinkan orang lain.
Ketika beliau pindah pekerjaan ke bidang peradilan, beliau pun lalu mengadakan kontak dengan para ulama yang pernah beliau kenal dan temui di Mesir. Kepada mereka beliau mengajukan ide untuk membentuk sebuah partai politik yang berasaskan Islam untuk membangkitkan kaum muslimin dan mengembalikan kemuliaan dan kejayaan mereka. Untuk tujuan ini pula, beliau berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain di Palestina dan mengajukan ide yang sudah mendarah daging dalam jiwa beliau itu kepada tokoh-tokoh terkemuka, baik dari kalangan ulama maupun para pemikir. Kedudukan beliau di Mahkamah Isti’naf di Al Quds sangat membantu aktivitas beliau tersebut.
Dengan demikian, beliau dapat menyelenggarakan berbagai seminar dan mengumpulkan para ulama dari berbagai kota di Palestina. Dalam kesempatan itu, beliau mengadakan dialog dengan mereka mengenai metode kebangkitan yang benar. Beliau banyak berdebat dengan para pendiri organisasi-organisasi sosial Islam (Jam’iyat Islamiyah) dan partai-partai politik yang bercorak nasionalis dan patriotis. Beliau menjelaskan kekeliruan langkah mereka, kesalahan pemikiran mereka, dan rusaknya kegiatan mereka. Syeikh Taqiyuddin dalam hal ini sangat menentang sikap nasionalis.
Selain itu, beliau juga sering melontarkan berbagai masalah politik dalam khutbah-khutbah yang beliau sampaikan pada acara-acara keagamaan di masjid-masjid, seperti di Al Masjidil Aqsha, masjid Al Ibrahim Al Khalil (Hebron), dan lain-lain. Dalam kesempatan seperti itu beliau selalu menyerang sistem-sistem pemerintahan di negeri-negeri Arab, dengan menyatakan bahwa semua itu merupakan rekayasa penjajah Barat, dan merupakan salah satu sarana penjajah Barat agar dapat terus mencengkeram negeri-negeri Islam. Beliau juga sering membongkar strategi-strategi politik negara-negara barat dan membeberkan niat-niat mereka untuk menghancurkan Islam dan umatnya. Selain itu, beliau berpandangan bahwa kaum muslimin berkewajiban untuk mendirikan partai politik yang berasaskan Islam. Semua ini ternyata membuat murka Raja Abdullah bin Al Hussain, lalu dipanggillah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani untuk menghadap kepadanya, terutama karena khutbah yang pernah beliau sampaikan di Masjid Raya Nablus.
Beliau disuruh hadir di suatu majelis lalu ditanya oleh Raja Abdullah mengenai apa yang menyebabkan beliau menyerang sistem-sistem pemerintahan di negeri-negeri Arab, termasuk juga negeri Yordania. Namun Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani tidak menjawab pertanyaan itu, dan malah berpura-pura tidak mendengar. Ini mengharuskan Raja Abdullah mengulangi pertanyaannya tiga kali berturut-turut. Akan tetapi Syaikh Taqiyuddin tetap tidak menjawabnya.
Maka Raja Abdullah pun naik pitam dan berkata kepada beliau, “Apakah kamu akan menolong dan melindungi orang yang kami tolong dan lindungi, dan apakah kamu juga akan memusuhi orang yang kami musuhi?” Lalu, Syaikh Taqiyuddin bangkit dari duduknya seraya berkata, “Aku berjanji kepada Allah, bahwa aku akan menolong dan melindungi (agama) Allah dan akan memusuhi orang yang memusuhi (agama) Allah. Dan aku amat membenci sikap nifaq dan orang-orang munafik!”
Maka marahlah Raja Abdullah mendengarkan jawaban itu, sehingga dia lalu mengeluarkan perintah untuk mengusir Syaikh Taqiyuddin dari majelis tersebut dan menangkap beliau. Dan kemudian Syaikh Taqiyuddin benar-benar ditangkap! Namun kemudian Raja Abdullah menerima permintaan maaf dari beberapa ulama atas sikap Syaikh Taqiyuddin tersebut lalu memerintahkan pembebasannya, sehingga Syaikh Taqiyuddin tidak sempat bermalam di tahanan.
Beliau lalu kembali ke Al Quds dan sebagai akibat kejadian tersebut, beliau mengajukan pengunduran diri dan menyatakan, “Sesungguhnya orang-orang seperti saya sebaiknya tidak bekerja untuk melaksanakan tugas apa pun dari sebuah pemerintahan.” Syaikh Taqiyuddin kemudian mengajukan pencalonan dirinya untuk menduduki Majelis Perwakilan. Namun karena sikap-sikapnya yang dinilai menyulitkan, aktivitas politik dan upayanya yang sungguh-sungguh untuk membentuk sebuah partai politik, dan  keteguhannya berpegang kepada agama, maka akhirnya hasil pemilu menunjukkan bahwa Syaikh Taqiyuddin dianggap tidak layak untuk duduk dalam Majelis Perwakilan.
Namun demikian, aktivitas politik Syaikh Taqiyuddin tidaklah mandeg dan tekadnya pun tiada pernah luntur. Beliau terus mengadakan kontak-kontak dan diskusi-diskusi, sehingga akhirnya beliau berhasil meyakinkan sejumlah ulama dan qadhi terkemuka serta para tokoh politikus dan pemikir untuk membentuk sebuah partai politik yang berasaskan Islam.
Beliau lalu menyodorkan kepada mereka kerangka organisasi partai dan pemikiranpemikiran yang dapat digunakan sebagai bekal tsaqafah bagi partai tersebut. Ternyata, pemikiran-pemikiran beliau ini dapat diterima dan disetujui oleh para ulama tersebut. Maka aktivitas beliau pun menjadi semakin padat dengan terbentuknya Hizbut Tahrir.[3]

Pembentukan Partai Politik Islam (Hizbut Tahrir)
            Publikasi pembentukan Hizbut Tahrir secara resmi tersiar pada tahun 1953, pada saat Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengajukan permohonan resmi kepada Departemen Dalam Negeri Yordania sesuai Undang-Undang Organisasi yang diterapkan saat itu. Dalam surat itu terdapat permohonan izin agar Hizbut Tahrir dibolehkan melakukan aktivitas politiknya. Dalam surat itu terdapat pula struktur kepengurusan Hizbut Tahrir dengan susunan sebagai berikut:
1. Taqiyuddin an-Nabhani, sebagai pemimpin Hizbut Tahrir.
2. Dawud Hamdan, sebagai wakil pemimpin merangkap sekretaris.
3. Ghanim Abduh, sebagai bendahara.
4. Dr. Adil an-Nablusi, sebagai anggota.
5. Munir Syaqir, sebagai anggota.[4]
Dalam pandangan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, politik dibagi kedalam tiga kategori yaitu, Islam sebagai salah satu ideologi politik setelah Sosialis dan Kapitalis. Islam dijadikan sebagai aqidah aqliyah (ikatan yang sampai proses berpikir) yang melahirkan peraturan. Ia berpendapat bahwa Islam tidak hanya dipandang sebagai sebuah agama tetapi Islam juga merupakan solusi bagi seluruh persoalan yang ada.[5]
Dalam bukunya yang berjudul Mafahim Hizbut Tahrir, syaikh Taqiyuddin an Nabhani menyatakan bahwa Hizbut Tahrir berusaha untuk melangsungkan kembai kehidupan Islam di kawasan negeri-negeri Arab. Dari sanalah tujuan untuk melangsungkan kehidupan Idlam diseluruh dunia Islam, secara alami, akan tercapai, yaitu dengan jalan mendirikan Daulah Islamiyah di satu atau beberapa wilayah sebagai titik sentral Islam dan sebagai benih berdirinya Daulah Islamiyah yang besar yang akan mengembalikan kehidupan Islam, dengan menerapkan Islam secara sempurna diseuruh negeri-negeri Islam, serta mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.[6]
Kemudian syaikh Taqiyuddin menuturkan bahwa Hizbut Tahrir memerangi penjajah dengan peperangan tanpa basa-basi; tidak hanya menuntut agar penjajah keluar dari negeri-negeri Islam, dan tidak hanya menuntut kemerdekaan yang semu. Bahkan Hizbut Tahrir menghendaki mencabut keadaan yang diciptakan oleh penjajah kafir dari akar-akarnya yaitu dengan membebaskan negeri-negeri Islam, lembaga-lembaga pendidikan, dan pemikiran umat dari berbagai pengaruh dan bentuk penjajahan: baik itu penjajahan militer, ideologi, kebudayaan, dan sebagainya.
Syaikh Taqiyuddin mengatakan bahwa sebenarnya telah banyak terbentuk partai politik yang bertujuan untuk membangkitkan kejayaan Islam, namun hingga saat ini belum terlihat jelas keberhasilannya. Syaikh Taqiyudin menjelaskan beberapa sebab mengapa partai politik Islam atau gerakan-gerakan politik untuk membangkitkan kejayaan Islam kerap gagal, diantaranya :
1.      Gerakan-gerakan tersebut berdiri di atas dasar fikrah (pemikiran) yang masih umum tanpa batasan yang jelas, sehingga muncul kekaburan atau pembiasan. Lebih dari itu, fikrah tersebut tidak cemerlang, tidak jernih, dan tidak murni.
2.      Gerakan-gerakan tersebut tidak mengetahui thariqah (metode) bagi penerapan fikrahnya. Bahkan fikrahnya diterapkan dengan cara-cara yang menunjukkan ketidaksiapan gerakan tersebut dan penuh dengan kesimpangsiuran. Lebih dari itu, thariqah gerakan-gerakan tersebut telah diliputi kekaburan dan ketidakjelasan.
3.      Gerakan-gerakan tersebut bertumpu kepada orang-orang yang belum sepenuhnya mempunyai kesadaran yang benar. Mereka pun belum mempunyai niat yang benar. Bahkan mereka hanyalah orang-orang yang berbekal keinginan dan semangat belaka.
4.      Orang-orang yang menjalankan tugas gerakan-gerakan tersebut tidak mempunyai ikatan yang benar. Ikatan yang ada hanya struktur organisasi itu sendiri, disertai dengan sejumlah deskripsi mengenai tugas-tugas organisasi, dan sejumlah slogan-slogan organisasi.[7]
Syaikh Taqiyuddin beranggapan bahwa gerakan-gerakan yang selama ini sudah ada dan gagal dikarenakan hanya berlandaskan semangat dan kesungguhan saja dan tidak berlandaskan dengan fikrah dan thariqah. Syaikh Taqiyuddin menjelaskan, bahwa fikrah adalah konsep yang mendasari politik suatu negara adalah pemikiran yang menjadi asas hubungan negara itu dengan berbagai bangsa dan negara lain.[8] Dan thariqah adalah suatu metode atau cara.
Hizbut tahrir adalah partai politik yang berideologi Islam. Bercita-cita untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam melalui tegaknya Daulah Islam, yang akan menerapkan sistem Islam serta mengemban dakwah ke seluruh dunia.[9]
Proses pembentukan  sebuah partai politik agar ia menjadi sebuah partai politik yang benar menurut Taqiyuddin adalah harusnya mengikuti petunjuk dibawah ini :
1.      Mendapatkan petunjuk untuk memahami ideeologi. Seseorang yang mempunyai kemampuan berpikir tinggi dan perasaan yang peka akan mendapatkan petunjuk untuk memahami ideologi. Kemudian ia akan menggeluti dan mendalami ideologi tersebut, hingga ideologi itu menjadi sangat jelas baginya dan mengkristal dalam dirinya. Pada saat itulah muncul sel pertama dari partai itu. Tidak beberapa lama kemudian muncul orang-orang lain, yang akan membentuk sel-sel (semacam jaringan) yang satu sama lain dihubungkan secara integral oleh ideologi itu. Maka pada saat itulah terbentuklah halqah pertama (halqah ula) bagi kelompok kepartaian ini, yang sekaligus merupakan pimpinan partai (qiyadah hizb).
2.      Anggota halqah pertama ini biasanya berjumlah sedikit dan pada mulanya bergerak lamban. Karena meskipun ia mengungkapkan perasaan masyarakat tempat ia hidup, tetapi pengungkapannya menggunakan lafazh-lafazh dan pengertian-pengertian yang berbeda dengan apa yang biasa didengar masyarakat. Kelompok ini mempunyai presepsi-presepsi baru yang berlawanan dengan presepsi-presepsi masyarakat umum. Oleh karenanya, halqah pertama tersebut seakakn-akan terasing dari masyarakat.
3.      Biasanya pemikiran halqah pertama (atau pimpinan partai) tersebut cukup mendalam dan metode kebangkitannya mendasar, yaitu bermula dari aspek yang mendasar. Oleh sebab itu halqah pertama tersebut akan terangkat dari keadaan yang buruk tempat umat hidup. Oleh sebab itu, ia mampu melihat sesuatu (yang tersembunyi) di balik dinding, pada saat kebanyakan orang hanya bisa melihat luarnya saja. Adapun halqah pertama pemikirannya tidaklah dangkal lagi dan sudah mendekati batas kesempurnaan. Mereka menjadikan realitas sebagai objek pikiran untuk diubah sesuai dengan ideologi, tidak menjadikan realitas sebagai sumber pemikiran dengan cara mencocokkan ideologi dengan kenyataan.
4.      Pemikiran halqah pertama atau pimpinan partai bertumpu pada suatu kaidah yang tetap, yaitu bahwa pemikiran harus  berkaitan dengan aktivitas (amal), dan bahwa pemikiran dan aktivitas harus mempunyai suatu tujuan tertentu yang hendak dicapai.
5.      Karena kewajiban halqah pertama partai adalah menciptakan suasana keimanan yang mengharuskan mereka mengikuti metode berpikir tertentu, maka meeka haruslah melakukan gerak-gerak yang terarah, untuk mengembangkan dirinya secara cepat dan memurnikan suasana keimanannya dengan sempurna sehingga mereka mampu membanhun tubuh partainya dengan baik secepat kilat.
6.      Gerak-gerik terarah tersebut dirancang berdasarkan kajian secara sungguh-sungguh terhadap keadaan masyarakat.
7.      Akidah yang mendalam dan teguh serta tsaqafah partai yang matang wajib menjadi pengikat antara anggota partai, dan wajib menjadi undang-undang yang mengendalikan jamaah partai, bukan undang-undang administrasi yang hanya tertulis diatas kertas.
8.      Pimpinan partai atau halqah pertama dapat diserupakan dengan motor buatan pabrik dari satu segi, tapi berbeda dengan segi yang lainnya.
9.      Partai ideologis akan menempuh tiga tahapan, sampai dia dapat mulai menerapkan ideologinya di tengah masyarakat. Pertama, tahap pengkajian dan belajar untuk mendapatkan tsafaqah partai. Kedua, tahap interaksi dengan masyarakat tempat partai itu hidup, sampai ideologinya menjadi kebiasaan umum. Ketiga, tahap menerima kekuasaan secara menyeluruh melalui dukungan umat, sampai partai tersebut dapat menjadikan pemerintah sebagai metode untuk menerapkan ideologi atas umat.[10]
10.  Adapun tahapan pertama, ia merupakan tahapan pembentukan pondasi gerakan. Tahapan ini ditempuh dengan suatu asumsi bahwa seluruh individu umat kosong dari tsaqafah apa pun. Pada tahapan ini partai mulai membina orang-orang yang bersedia menjadi anggotanya dengan tsaqafahnya. Digunakan pula asumsi bahwa masyarakat secara keseluruhan adalah sekolah bagi partai, sehingga dalam waktu singkat partai mampu mencetak sekelompok orang yang mampu melangsungkan kontak dengan masyarakat untuk berinteraksi dengannya.
11.  Pada tahapan ini, harus tetap disadari bahwa masyarakat secara keseluruhannya adalah sebuah sekolah besar bagi partai. Juga harus tetap disadari bahwa terdapat perbedaan yang besar antara sekolah dan partai dalam hal tsaqafahnya.
12.  Partai adalah kelompok yang berdiri atas dasar fikrah dan thariqah, yaitu atas dasar ideologi yang diimani oleh setiap anggotanya. Partai mengontrol pemikiran dan perasaan masyarakat untuk digerakkan dalam sebuah gerakan yang terus meningkat (kualitas dan kuantitasnya). Partai juga berusaha menghalangi kemerosotan kembali pemikiran dan perasaan masyarakat.
13.  Tahapan kedua adalah tahapan interaksi dengan umat, yang dibarengi dengan perjuangan politik (kifah siyasi). Tahapan ini dianggap sebagai tahapan yang amat genting (krusial). Keberhasilan partai pada tahapan ini merupakan bukti sehatnya pembentukan partai. Kegagalan pada tahapan ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang kurang beres yang wajib diperbaiki. Jadi tahapan kedua ini dibangun di atas landasan tahapan sebelumnya.
Negara Islam (Daulah Islamiyah)
Syaikh Taqiyuddin menggambarkan bagaimana Daulah Islamiyah melalui pendekatan sejarah dalam bukunya yang berjudul Daulah Islam. Beliau menceritakan kembali sejarah Nabi Muhammad saat pertama kali berdakwah menyebarkan Islam, sampai akhirnya berjaya hingga akhirnya kekuasaan negara Islam melemah dan kemudian lenyap.
Dalam pandangannya, syaikh Taqiyuddin menyatakan bahwa Nabi Muhammad sejak awal berdakwah sudah mendirikan Daulah Islamiyah, kemudian Daulah Islam tersebut ada hingga akhirnya bangsa barat meruntuhkan kejayaan Islam. Beliau juga menyebutkan bahwa orang-orang yang merusak Daulah Islam atau para penjajah yang meruntuhkan Daulah Islam adalah kafir. Dan kafir harus diperangi demi tegaknya kembali kejayaan Islam dengan berdirinya Daulah Islamiyah. Baginya, penjajah yang menerapkan sistem baru seperti UUD, adalah suatu tindakan untuk meruntuhkan Daulah Islam, karena UUD yang diterapkan oleh para kafir penjajah tidak ada hubungannya dengan Islam. Maka, segala peraturan, Undang-Undang, hukum, politik, ekonomi di suatu negara, semuanya harus sesuai dengan Islam, begitulah Daulah Islamiyah.
Syaikh Taqiyuddin juga beranggapan bahwa para penjajah kafir juga menyerang melalui pendidikan, ada dua faktor pendidikan ilmu politik yang menyebabkan Negara Islam, atau Daulah Islamiyah menjadi tidak popular atau bahkan sedikit pendukungnya. Politik pengajaran dibangun dan disusun berdasarkan dua dasar. Pertama, memisahkan urusan agama dari kehidupan. Pemisahan ini dengan sendirinya menghasilkan pemisahan agama dari negara. Ini akan mendorong putra-putri kaum Muslim berjuang memerangi pendirian Daulah Islam, dengan alasan bahwa hal itu bertentangan dengan asas pendidikan mereka. Kedua, membentuk kepribadian kafi penjajah yang dijadikan sumber utama pembinaan. Inilah yang mengisi akal kaum Muslim, yaitu pemahaman yang tumbuh dari pengetahuan dan informasi-informasi yang disampaikan kepada mereka. Pembinaan ini mengharuskan murid menghormati dan mengagungkan kafi penjajah, dan berusaha meneladaninya, meskipun yang dicontoh adalah kafi penjajah. Di samping itu, murid juga dituntut merendahkan orang Islam dan menjauhinya, merasa jijik terhadapnya, arogan dan memandangnya rendah, serta meremehkan setiap orang yang merujuk kepada Islam. Tidak mengherankan jika ajaran-ajaran ini melahirkan permusuhan terhadap pembentukan Daulah Islam. Mencapnya sebagai perbuatan terbelakang dan mundur.[11]
Pada abad ke 18, dunia Islam jatuh ke jurang keruntuhan terdalam. Tidak ada lagi keproduktifitasan umat Islam dalam bidang politik, ekonomi, ilmu, seni, dan lain sebagainya layaknya 14 abad masa kejayaannya silam. Kritisme umat Islam atas modernisasi Barat (modernisme) tumbuh dengan pesat dalam bentuk yang beragam, baik berupa gerakan intelektual maupun gerakan social politik. Keberagaman ini menyebabkan sulitnya mencari istilah yang tepat yang mencakup semua gejala itu. Istilah yang dipakai Barat sebagi penggelinding pertama bola kebangkitan Islam antara lain adalah revivalisme (faham untuk mendapatkan kebangkitan kembali), aktivisme (ajaran politik yang menganjurkan tidakan kekerasan untuk mencapai tujuan politik), milienarisme, militansi Islam ( kegiatan yang terpancar dari ketinggian semangat berjuang, kegagah beranian di kalangan umat Islam), meseanisme, resurgence (kemunculan kembali, kebangkitan kembali dengan jumlah yang lebih banyak dari sebelumnya), dan reassertion (penegakan kembali).[12]
            Syaikh Taqiyuddin menuliskan tiga perkara penting mengenai Daulah Islamiyah. Pertama, Sistem Pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Tuhan alam semesta adalah sistem Khilafah. Di dalam sistem Khilafah ini Khalifah diangkat melalui baiat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya untuk memerintah sesuai dengan wahyu yang Allah turunkan. Dalil-dalil yang menunjukkan kenyataan ini sangat banyak, diambil dari al-Kitab, as-Sunnah, dan Ijmak Sahabat. Kedua, Kedua: Sistem Pemerintahan Islam (Khilafah) berbeda dengan seluruh bentuk pemerintahan yang dikenal di seluruh dunia; baik dari segi asas yang mendasarinya; dari segi pemikiran, pemahaman, maqayis (standar), dan hukum-hukumnya untuk mengatur berbagai urusan; dari segi konstitusi dan undangundangnya yang dilegislasi untuk diimplementasikan dan diterapkan; ataupun dari segi bentuknya yang mencerminkan Daulah Islam sekaligus yang membedakannya dari semua bentuk pemerintahan yang ada di dunia ini. Hal tersebut dikarenakan : Sistem Pemerintahan Islam bukan sistem kerajaan, sistem Pemerintahan Islam juga bukan sistem imperium (kekaisaran), sistem Pemerintahan Islam bukan sistem federasi, sistem Pemerintahan Islam bukan sistem republik, juga Syeikh Taqiyuddin mengatakan bahwa sistem pemerintahan Islam bukan sistem demokrasi menurut pengertian hakiki demokrasi, baik dari segi bahwa kekuasaan membuat hukum—menetapkan halal dan haram, terpuji dan tercela—ada di tangan rakyat, maupun dari segi tidak adanya keterikatan dengan hukum-hukum syariah dengan dalih kebebasan. Ketiga, Sesungguhnya struktur negara Khilafah berbeda dengan struktur semua sistem yang dikenal di dunia saat ini, meski ada kemiripan dalam sebagian penampakannya. Struktur negara Khilafah diambil (ditetapkan) dari struktur negara yang ditegakkan oleh Rasulullah saw. di Madinah setelah Beliau hijrah ke Madinah dan mendirikan Daulah Islam di sana. Struktur negara Khilafah adalah struktur yang telah dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin setelah Rasulullah saw. wafat. Kemudian dalam pandangannya, Syeikh Taqiyuddin menyimpulkan suatu struktur negara Islam atau Daulah Islamiyah atau Negara Khilafah, sebagai berikut :
1.      Khalifah.
Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan, dan penerapan hukumhukum syariah. Hal itu karena Islam telah menjadikan
pemerintahan dan kekuasaan sebagai milik umat. Untuk itu diangkatlah seseorang yang melaksanakan pemerintahan sebagai wakil dari umat. Allah telah mewajibkan kepada umat untuk menerapkan seluruh hukum syariah. Sesungguhnya Khalifah itu diangkat oleh kaum Muslim. Karena itu, realitasnya Khalifah adalah wakil umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan, dan penerapan hukumhukum syariah. Jadi, seseorang itu tidak menjadi khalifah kecuali jika umat membaiatnya. Baiat umat kepada Khalifah untuk menduduki jabatan Khilafah telah menjadikannya sebagai pihak yang mewakili umat. Penyerahan jabatan Kekhilafahan kepada Khalifah dengan baiat itu telah memberinya kekuasaan dan menjadikan umat wajib menaatinya.
2.      Para Mu’awin at-Tafwidh (Wuzara’ at-Tafwidh).
Mu‘âwin adalah pembantu yang telah diangkat oleh Khalifah untuk membantunya dalam mengemban tanggung jawab dan melaksanakan tugas-tugas kekhilafahan. Karena banyaknya tugas-tugas kekhilafahan, khususnya ketika wilayah negara Khilafah menjadi semakin besar dan bertambah luas, Khalifah akan berat untuk mengembannya seorang diri. Karena itu, ia membutuhkan orang yang dapat membantunya dalam mengemban tanggung jawab kekhilafahan dan melaksanakan tugas-tugas kekhilafahan itu. Penyebutan para Mu‘âwin dengan sebutan Wuzarâ’ tanpa
disertai pembatasan adalah tidak boleh agar pengertian Wazîr (Mu‘âwin) dalam Islam tidak rancu dengan pengertiannya dalam berbagai sistem pemerintahan kontemporer yang berdiri di atas asas demokrasi kapitalis-sekularis atau sistem-sistem lain yang dapat kita saksikan saat ini. Wazîr at-Tafwîdh atau Mu‘âwin at-Tafwîdh adalah Wazîr
yang ditunjuk Khalifah untuk bersama-sama mengemban tanggung jawab pemerintahan dan kekuasaan. Dalam hal ini, Khalifah mendelegasikan kepadanya pengaturan berbagai urusan.
3.      Wuzara’ at-Tanfîdz.
Wazir at-Tanfîdz adalah wazir yang ditunjuk oleh Khalifah sebagai pembantunya dalam implementasi kebijakan, dalam menyertai Khalifah, dan dalam menunaikan kebijakan Khalifah. Wazir at-Tanfidz merupakan penghubung Khalifah dengan struktur dan aparatur negara, rakyat, dan pihak luar negeri. Ia bertugas menyampaikan kebijakan-kebijakan Khalifah kepada mereka dan menyampaikan informasi dari mereka kepada Khalifah. Sebab, Wazîr at-Tanfîdz ditunjuk sebagai pembantu Khalifah dalam pelaksanaan berbagai urusan, bukan sebagai penanggung jawab dan bukan pula sebagai orang yang diserahi wewenang atas berbagai urusan tersebut. Tugasnya adalah tugas administrasi, bukan tugas pemerintahan. Departemennya merupakan lembaga pelaksana yang melaksanakan berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Khalifah kepada instansi-instansi dalam negeri dan luar negeri, di samping menyampaikan informasi-informasi dari berbagai instansi itu. Dia merupakan penghubung Khalifah dengan struktur negara dan aparat yang lain; menyampaikan kebijakan dari Khalifah kepada bawahannya dan menyampaikan informasi dari bawahan Khalifah kepada Khalifah.
4.      Para Wali.
Wali adalah orang yang diangkat oleh Khalifah sebagai penguasa (pejabat pemerintah) untuk suatu wilayah (propinsi) serta menjadi amir (pemimpin) wilayah itu. Negeri yang diperintah oleh Negara (Khilafah) dibagi dalam beberapa bagian dan setiap bagian disebut wilayah. Setiap wilayah dibagi dalam beberapa bagian dan setiap bagian disebut ‘imalah. Setiap orang yang memimpin wilayah disebut wali atau amir dan orang yang memimpin ‘imâlah disebut ‘amil atau hâkim. Setiap ‘imalah dibagi dalam beberapa bagian administratif. Setiap bagian itu disebut qashabah (kota). Setiap qashabah dibagi
dalam beberapa bagian administratif yang lebih kecil; masingmasing bagian itu disebut dengan hayyu (kampung/desa). Orang yang mengurusi qashabah atau hayyu masing-masing disebut mudir dan tugasnya adalah tugas administrasi.
5.      Amir al-Jihad.
Jihad adalah perang di jalan Allah untuk meninggikan kalimat Allah. Perang itu sendiri memerlukan adanya pasukan dan apa saja yang menjadi keharusannya, baik berupa persiapan maupun pembentukan formasi kepemimpinannya serta formasi batalion tempur, para komandan, dan tentaranya. Perang juga memerlukan latihan, pembekalan, dan logistik. Pasukan harus memiliki persenjataan. Persenjataan mengharuskan adanya
industri. Karena itu, industri termasuk hal yang dibutuhkan oleh militer maupun jihad. Hal inilah yang mengharuskan agar seluruh industri yang ada di seluruh wilayah negara dibangun berdasarkan asas industri perang/militer. Kepalanya disebut Amîr al-Jihâd dan tidak disebut Mudîr al-Jihâd (Direktur Jihad). Hal itu karena Rasulullah saw. menamakan komandan pasukan sebagai amir.
6.      Keamanan Dalam Negeri,
Departemen Keamanan Dalam Negeri merupakan departemen yang mengurusi segala bentuk gangguan keamanan. Departemen ini juga mengurusi penjagaan keamanan di dalam negeri melalui satuan kepolisian dan ini merupakan sarana utama untuk menjaga keamanan dalam negeri. Departemen Keamanan Dalam Negeri berhak menggunakan satuan kepolisian kapan pun dan seperti yang diinginkannya. Perintah departemen ini harus segera dilaksanakan. Adapun jika keperluan menuntut untuk meminta bantuan pasukan, maka departemen ini wajib menyampaikan perkara tersebut kepada Khalifah. Khalifah berhak memerintahkan pasukan untuk membantu Departemen Keamanan Dalam Negeri, atau dengan menyiapkan kekuatan militer untuk membantu Departemen Keamanan Dalam Negeri untuk menjaga keamanan, atau perkara lain menurut pandangan Khalifah. Khalifah juga berhak menolak permintaan Departemen Keamanan Dalam Negeri itu dan memerintahkannya agar mencukupkan diri dengan satuan kepolisian saja.
7.      Urusan Luar Negeri.
kehidupan politik internasional, juga karena semakin luas dan beragamnya hubungan politik internasional, maka kami mengadopsi (men-tabanni) bahwa Khalifah harus mengangkat struktur negara tersendiri untuk mengurusi hubungan luar negeri. Selanjutnya Khalifah mengontrolnya sebagaimana Khalifah juga mengontrol strukturstruktur negara yang lain; baik struktur pemerintahan maupun administratif, baik Khalifah mengontrolnya sendiri atau melalui Wazîr at-Tanfîdz.
8.      Industri.
Mengurusi semua masalah yang berhubungan dengan perindustrian, baik yang berhubungan dengan industri berat seperti industri mesin dan peralatan, pembuatan dan perakitan alat transportasi (kapal, pesawat, mobil, dsb), industri bahan mentah dan industri elektronik, maupun yang berhubungan dengan industri ringan; baik industri itu berupa pabrik-pabrik yang menjadi milik umum maupun pabrik-pabrik yang menjadi
milik pribadi, yang memiliki hubungan dengan industri-industri militer (peperangan). Industri dengan berbagai jenisnya itu semuanya harus dibangun dengan berpijak pada politik perang. Sebab, jihad dan perang memerlukan pasukan, sementara pasukan, agar mampu berperang, harus memiliki persenjataan. Agar persenjataan itu terpenuhi bagi pasukan secara memadai hingga pada tingkat yang optimal tentu harus ada industri
persenjataan di dalam negeri, khususnya industri perang, karena hubungannya yang begitu kuat dengan jihad. Peradilan.
9.      Mashalih an-Nas (Kemaslahatan Umum).
Kepentingan masyarakat ditangani oleh departemen, jawatan, serta unit-unit yang didirikan untuk menjalankan urusan-urusan negara dan memenuhi kepentingan-kepentingan masyarakat tersebut. Untuk setiap departemen diangkat seorang direktur jenderal. Untuk setiap jawatan diangkat seorang direktur yang mengurusi manajemennya dan ia bertanggung jawab secara langsung terhadap jawatan tersebut. Para direktur itu bertanggung jawab kepada orang yang memimpin departemen, jawatan, atau unit mereka yang lebih tinggi dari sisi pertanggungjawaban pelaksanaan tugas-tugas mereka. Mereka juga bertanggung jawab kepada wali dan amil dari sisi pertanggungjawaban terhadap keterikatan mereka dengan hukum-hukum syariah dan peraturanperaturan secara umum.
10.  Baitul Mal.
Baitul Mal digunakan untuk menyebut tempat penyimpanan berbagai pemasukan negara dan sekaligus menjadi tempat pengeluarannya. Baitul Mal juga digunakan untuk
menyebut lembaga yang bertugas memungut dan membelanjakan harta yang menjadi  milik kaum Muslim.
11.  Lembaga Informasi.
Mengurusi kepentingan masyarakat. Akan tetapi, posisinya berhubungan langsung dengan Khalifah sebagai instansi yang mandiri. Keadaannya sama seperti keadaaan instansi-instansi yang lain di dalam negara Khilafah.
12.  Majelis Umat (Syara dan Muhasabah).
Sebagai tempat merujuk bagi Khalifah untuk meminta masukan/ nasihat mereka dalam berbagai urusan. Mereka mewakili umat dalam melakukan muhâsabah (mengontrol dan mengoreksi) para pejabat pemerintahan (al-Hukkam). Keberadaan majelis ini diambil dari aktivitas Rasul saw. yang sering meminta pendapat/ bermusyawarah dengan beberapa orang dari kaum Muhajirin dan Anshar yang mewakili kaum mereka.[13]
            Daulah Islamiyah wajib ditegakkan, dan seluruh umat Muslim wajib mendukung atas berdirinya Daulah Islamiyah, begitu kata Syaikh Taqiyuddin. Baginya, hal tersebut telah ditetapkan berdasarkan al-Quran, as-Sunah dan Ijma’ Sahabat. Karena kaum Muslim tunduk kepada kekuasaan kufur di negeri-negeri mereka dan diterapkan kepada mereka hukum-hukum kufur, maka jadilah negeri mereka sebagai negara kufur setelah sebelumnya berstatus sebagai Daulah Islam. Dengan kata lain, kewarganegaraan mereka bukan lagi kewarganegaraan Islam walaupun negeri mereka adalah negeri Islam. Wajib bagi mereka untuk hidup dalam Daulah Islam dengan memiliki kewarganegaraan Islam. Hal itu tidak akan mereka peroleh kecuali dengan menegakkan Daulah Islam. Kaum Muslim akan tetap berdosa, hingga mereka berjuang untuk menegakkan Daulah Islam dan membai’at seorang khalifah yang akan menerapkan Islam dan mengemban dakwahnya ke seluruh penjuru dunia.[14]
Kesimpulan
Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf an-Nabhani. Nama an-Nabhani dinisbahkan kepada kabilah Bani Nabhan, salah satu kabilah Arab penghuni padang sahara di Palestina. Mereka bermukim di daerah Ijzim, wilayah Haifa, Palestina Utara.
Beliau adalah pendiri dari partai politik Islam Hizbut Tahrir. Syakh Taqiyuddin mendirikan partai politik setelah sebelumnya diusir oleh raja Abdullah bin Al Hussain, karena telah menyerang sistem pemerintahan di negeri-negeri Arab. Syaikh Taqiyuddin beranggapan bahwa sistem pemerintah saat ini adalah salah dan keliru, karena tidak berlandaskan hukum-hukum Islam, meski negara-negara tersebut ada di negeri Islam.
Dalam pandangan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, politik dibagi kedalam tiga kategori yaitu, Islam sebagai salah satu ideologi politik setelah Sosialis dan Kapitalis. Islam dijadikan sebagai aqidah aqliyah (ikatan yang sampai proses berpikir) yang melahirkan peraturan. Ia berpendapat bahwa Islam tidak hanya dipandang sebagai sebuah agama tetapi Islam juga merupakan solusi bagi seluruh persoalan yang ada.
Dalam bukunya yang berjudul Mafahim Hizbut Tahrir, syaikh Taqiyuddin an Nabhani menyatakan bahwa Hizbut Tahrir berusaha untuk melangsungkan kembai kehidupan Islam di kawasan negeri-negeri Arab. Dari sanalah tujuan untuk melangsungkan kehidupan Idlam diseluruh dunia Islam, secara alami, akan tercapai, yaitu dengan jalan mendirikan Daulah Islamiyah di satu atau beberapa wilayah sebagai titik sentral Islam dan sebagai benih berdirinya Daulah Islamiyah yang besar yang akan mengembalikan kehidupan Islam, dengan menerapkan Islam secara sempurna diseuruh negeri-negeri Islam, serta mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.
Kemudian syaikh Taqiyuddin menuturkan bahwa Hizbut Tahrir memerangi penjajah dengan peperangan tanpa basa-basi; tidak hanya menuntut agar penjajah keluar dari negeri-negeri Islam, dan tidak hanya menuntut kemerdekaan yang semu. Bahkan Hizbut Tahrir menghendaki mencabut keadaan yang diciptakan oleh penjajah kafir dari akar-akarnya yaitu dengan membebaskan negeri-negeri Islam, lembaga-lembaga pendidikan, dan pemikiran umat dari berbagai pengaruh dan bentuk penjajahan: baik itu penjajahan militer, ideologi, kebudayaan, dan sebagainya.
Syeikh Taqiyuddin menyimpulkan suatu struktur negara Islam atau Daulah Islamiyah atau Negara Khilafah, sebagai berikut :
1.      Khalifah.
2.      Para Mu’awin at-Tafwidh (Wuzara’ at-Tafwidh).
3.      Wuzara’ at-Tanfîdz.
4.      Para Wali.
5.      Amir al-Jihad.
6.      Keamanan Dalam Negeri,
7.      Urusan Luar Negeri.
8.      Industri.
9.      Mashalih an-Nas (Kemaslahatan Umum).
10.  Baitul Mal.
11.  Lembaga Informasi.
12.  Majelis Umat (Syara dan Muhasabah).
Daulah Islamiyah wajib ditegakkan, dan seluruh umat Muslim wajib mendukung atas berdirinya Daulah Islamiyah, begitu kata Syaikh Taqiyuddin. Baginya, hal tersebut telah ditetapkan berdasarkan al-Quran, as-Sunah dan Ijma’ Sahabat. Karena kaum Muslim tunduk kepada kekuasaan kufur di negeri-negeri mereka dan diterapkan kepada mereka hukum-hukum kufur, maka jadilah negeri mereka sebagai negara kufur setelah sebelumnya berstatus sebagai Daulah Islam. Dengan kata lain, kewarganegaraan mereka bukan lagi kewarganegaraan Islam walaupun negeri mereka adalah negeri Islam. Wajib bagi mereka untuk hidup dalam Daulah Islam dengan memiliki kewarganegaraan Islam. Hal itu tidak akan mereka peroleh kecuali dengan menegakkan Daulah Islam. Kaum Muslim akan tetap berdosa, hingga mereka berjuang untuk menegakkan Daulah Islam dan membai’at seorang khalifah yang akan menerapkan Islam dan mengemban dakwahnya ke seluruh penjuru dunia.

Referensi
al-Jal-Jawi, Muhammad Shiddiq, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani: Meneropong Perjalanan Spiritual dan Dakwahnya, (Bogor : Al Azhar Press, 2003).
an-Nabhani, Taqiyuddin, Daulah Islam, (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2012).
an-Nabhani, Taqiyuddin, Konsepsi Politik Hizbut Tahrir, (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2009).
an-Nabhani, Taqiyuddin, Mafahim Hizbut Tahrir, (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2008).
an-Nabhani, Taqiyuddin, Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan Administrasi), (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2008).
an-Nabhani, Taqqiyuddin, Pembentukan Partai Politik Islam, (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2013).
Zahroh, Fathimatuz, “Kebangkitan Islam (Studi Kritis Pemikiran Syeikh Taqiyuddin An Nabhani)”, (Skirpsi S1 Fakultas Ushluddin, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya).
Zulaichah, Siti, “Pemikiran Politik Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani”, (Skripsi S1 Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008).





[1] Fathimatuz Zahroh, “Kebangkitan Islam (Studi Kritis Pemikiran Syeikh Taqiyuddin An Nabhani)”, (Skirpsi S1 Fakultas Ushluddin, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya), h. 50-51
[2] Muhammad Shiddiq al-Jawi, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani: Meneropong Perjalanan Spiritual dan Dakwahnya, (Bogor : Al Azhar Press, 2003), h. 5-6
[3] Muhammad Shiddiq al-Jawi, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani: Meneropong Perjalanan Spiritual dan Dakwahnya, h. 11-15
[4] Shiddiq al-Jawi, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani: Meneropong Perjalanan Spiritual dan Dakwahnya, h. 5-11
[5] Siti Zulaichah, “Pemikiran Politik Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani”, (Skripsi S1 Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008)
[6] Taqiyuddin an Nabhani, Mafahim Hizbut Tahrir, (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2008), h.21
[7] Taqqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2013), h.5-6
[8] Taqiyuddin an-Nabhani, Konsepsi Politik Hizbut Tahrir, (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2009), h.11
[9] Nabhani, Mafahim Hizbut Tahrir, h. 126-127
[10] Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2014), h.42-50
[11]Taqiyuddin an-Nabhani, Daulah Islam, (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2012), h.307-308
[12] Fathimatuz Zahroh, “Kebangkitan Islam (Studi Kritis Pemikiran Syeikh Taqiyuddin An Nabhani)” , h. 20
[13] Taqiyuddin an-Nabhani, Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan Administrasi), (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2008), h.16-247
[14] an-Nabhani, Daulah Islam, h.318

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cyclo Progynova #part1

Ehem, kali ini saya akan ceritakan sedikit pengalaman saya mengonsumsi Cyclo Progynova. Saya memiliki masalah dengan hormon. Secara fisik, badan saya tidak ideal memang, tinggi saya sekitar 160cm dan berat badan 42kg. Saya sangat tau bahwa berat badan saya tidak ideal, bisa dibilang sangat kurang. Tapi apalah dikata, saya memang sulit untuk gemuk. Hehe. Saya memiliki masalah dengan siklus haid. Sejak saya sekolah, haid saya sudah tidak teratur. Kadang lancar, kadang engga. Bulan ini haid lancar, bulan depan saya bisa enggak dapat haid. Atau saya pernah mengalami darah Istihadah. Selama sebulan full saya mendapati pendarahan serupa haid, dan hal tersebut sangat meresahkan. Saya galau sekali memikirkan hukum suci saya. Memang sih, kalau lebih dari 15 hari masih ada darah. Saya dikatakan wajib beribadah dan hukumnya sama seperti saya ketika suci. Tapi bagian paling merepotkan adalah ketika saya harus memastikan bahwa saya 'bersih' dan saya harus bersih-bersih sebel

Cyclo Progynova #part2

Yak... Ini lanjutan review yang pernah aku buat tahun lalu, yaitu mengenai Cyclo Progynova. Aku memang sengaja tidak ingin menulis kelanjutannya, tapi karena ada beberapa teman yang menghubungiku untuk menanyakan lanjutan ceritanya, maka baiklah, aku akan melanjutkannya. Well, sebenarnya aku memang malas melanjutkan untuk menulis cerita tentang ini, karena aku mengalami sedikit kekecewaan, aku malah takut orang lain yang membacanya malah ikutan kecewa, wkwk. Padahal kan pengalaman kita bisa berbeda. Jadi sebenarnya aku tidak mengonsumsinya sampai 3 blister. Aku berhenti ketika blister kedua habis, dan ternyata hal tersebut berdampak kurang baik. Aku mengalami flek-flek tidak menentu kadang ada, kadang tidak ada, dengan kurun waktu yang tidak bisa ditebak, seminggu ada, seminggu hilang, dan hal tersebut berlangsung selama sekitar satu semester alias 4 bulan, kira-kira selama aku semester 7. Jadi, aku selesai mengonsumsi blister kedua itu tepat saat setelah liburan lebaran

Syura, Ahlul Halli wal Aqdi, dan Bay’ah wal Mubayaah

(essay ini saya tulis dalam memenuhi tugas mata kuliah Politik Islam) Syura, Ahlul Halli wal Aqdi, dan Bay’ah wal Mubayaah ( Irma Ayu Sawitri – 1113015000092 – irma.ayus13@mhs.uinjkt.ac.id ) Syura             Kata syura memiliki pengertian yang sangat beragam. Sesungguhnya istilah syura berasal dari kata sy-wa-ra, syawir yang berarti berkonsultasi, menasehati, memberi isyarat, petunjuk dan nasehat. Pendapat yang lain mengatakan pula bahwa syura memiiki kata kerja syawara-yusyawiru  yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan untuk mengambil sesuatu. Menurut Imam Syahid Hasan al-Banna Syura adalah suatu proses dalam mencari sebuah keputusan atau kesepakatan yang berdasarkan pada suara terbanyak dan berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan hendaklah setiap urusan itu diserahkan kepada para ahlinya demi mewujudkan suatu hasil yang maksimal dalam rangka menjaga stabilitas antara pemimpin dengan rakyat. [1]             Secara istilah penggunaan kata   syura menga