(essay ini saya tulis dalam memenuhi tugas mata kuliah Politik Islam)
Pemikiran Politik Islam Taqiyuddin An-Nabhani
Pemikiran Politik Islam Taqiyuddin An-Nabhani
(Partai
Politik Islam Hizbut Tahrir)
Abstrak
Syaikh Taqiyuddin beranggapan bahwa gerakan-gerakan yang selama ini
sudah ada dan gagal dikarenakan hanya berlandaskan semangat dan kesungguhan
saja dan tidak berlandaskan dengan fikrah dan thariqah. Syaikh
Taqiyuddin menjelaskan, bahwa fikrah adalah konsep yang mendasari
politik suatu negara adalah pemikiran yang menjadi asas hubungan negara itu
dengan berbagai bangsa dan negara lain. Dan thariqah adalah suatu metode
atau cara.
Hizbut tahrir adalah partai politik yang berideologi Islam.
Bercita-cita untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam melalui tegaknya Daulah
Islam, yang akan menerapkan sistem Islam serta mengemban dakwah ke seluruh
dunia. Hizbut Tahrir memerangi penjajah dengan peperangan tanpa basa-basi;
tidak hanya menuntut agar penjajah keluar dari negeri-negeri Islam, dan tidak
hanya menuntut kemerdekaan yang semu. Bahkan Hizbut Tahrir menghendaki mencabut
keadaan yang diciptakan oleh penjajah kafir dari akar-akarnya yaitu dengan
membebaskan negeri-negeri Islam, lembaga-lembaga pendidikan, dan pemikiran umat
dari berbagai pengaruh dan bentuk penjajahan: baik itu penjajahan militer,
ideologi, kebudayaan, dan sebagainya.
Dalam perspektifnya, Daulah Islamiyah dikategorikan dalam tiga
perkara penting, yaitu Pertama, Sistem Pemerintahan Islam yang
diwajibkan oleh Tuhan alam semesta adalah sistem Khilafah. Di dalam sistem Khilafah
ini Khalifah diangkat melalui baiat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya
untuk memerintah sesuai dengan wahyu yang Allah turunkan. Dalil-dalil yang menunjukkan
kenyataan ini sangat banyak, diambil dari al-Kitab, as-Sunnah, dan Ijmak
Sahabat. Kedua, Kedua: Sistem Pemerintahan Islam (Khilafah)
berbeda dengan seluruh bentuk pemerintahan yang dikenal di seluruh dunia; baik
dari segi asas yang mendasarinya; dari segi pemikiran, pemahaman, maqayis
(standar), dan hukum-hukumnya untuk mengatur berbagai urusan; dari segi
konstitusi dan undangundangnya yang dilegislasi untuk diimplementasikan dan diterapkan;
ataupun dari segi bentuknya yang mencerminkan Daulah Islam sekaligus yang membedakannya
dari semua bentuk pemerintahan yang ada di dunia ini. Ketiga, Sesungguhnya
struktur negara Khilafah berbeda dengan struktur semua sistem yang dikenal di
dunia saat ini, meski ada kemiripan dalam sebagian penampakannya.
Keywords:
Hizbut Tahrir, Daulah Islamiyah, Khilafah
Kelahiran,
Pertumbuhan, & Perjalanan Pendidikan
Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf
an-Nabhani. Nama an-Nabhani dinisbahkan kepada kabilah Bani Nabhan, salah satu
kabilah Arab penghuni padang sahara di Palestina. Mereka bermukim di daerah Ijzim,
wilayah Haifa, Palestina Utara.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dilahirkan di daerah Ijzim pada tahun 1908.
Dia mendapat didikan ilmu dan agama di rumah ayahnya sendiri, seorang syaikh
yang faqih fiddin. Ayahnya seorang pengajar ilmu-ilmu syariat di Kementrian
Pendidikan Palestina. Ibu beliau juga menguasai beberapa cabang ilmu syariat
yang diperoleh dari ayahnya, Syaikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf al-Nabhani.
Syaikh Yusuf ini adalah seorang qadi (hakim), penyair, sastrawan, dan salah
seorang ulama terkemuka dalam Daulah Utsmaniyah.
Suasana keagamaan yang kental kemudian mempunyai pengaruh besar dalam
pembentukan kepribadian dan pandangan hidup Syaikh Taqiyuddin anNabhani
selanjutnya. Beliau telah hafal al-Qur'an seluruhnya dalam usia yang amat muda,
yaitu di bawah usia 13 tahun.
Syaikh Taqiyyudin an-Nabhani banyak mendapat pengaruh dari kakeknya,
Syaikh Yusuf al-Nabhani, dan menimba ilmu yang luas. Syaikh Taqiyuddin
an-Nabhani juga sudah mulai mengerti masalah-masalah politik yang penting,
mengingat kakeknya mengalami langsung peristiwa-peristiwa penting tersebut
karena mempunyai hubungan erat dengan para penguasa Daulah Usmaniyah saat itu.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani banyak mendapat pelajaran dari majelis-majelis dan
diskusi-diskusi fiqih yang diselenggarakan oleh sang kakek, Syaikh Yusuf
al-Nabhani. Kecerdasan dan kecerdikan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani yang nampak
saat mengikuti majelis-majelis ilmu tersebut telah menarik perhatian kakeknya.
Oleh karenanya, Syaikh Yusuf begitu memperhatikan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani
dan berusaha meyakinkan ayahnya, Syaikh Ibrahim bin Musthafa, mengenai perlunya
mengirim Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani ke al-Azhar untuk melanjutkan pendidikannya
dalam ilmu Syari’ah.[1]
Syaikh Taqiyuddin menerima pendidikan dasar-dasar ilmu syariah dari
ayah dan kakek beliau, yang telah mengajarkan hapalan Al Qur’an sehingga beliau
hapal Al Qur’an seluruhnya sebelum baligh. Di samping itu, beliau juga
mendapatkan pendidikannya di sekolah-sekolah negeri ketika beliau bersekolah di
sekolah dasar di daerah Ijzim. Kemudian beliau berpindah ke sebuah sekolah di
Akka untuk melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah. Sebelum beliau
menamatkan sekolahnya di Akka, beliau telah bertolak ke Kairo untuk meneruskan
pendidikannya di Al-Azhar, guna mewujudkan dorongan kakeknya, Syaikh Yusuf
an-Nabhani. Syaikh Taqiyuddin kemudian meneruskan pendidikannya di Tsanawiyah
Al Azhar pada tahun 1928 dan pada tahun yang sama beliau meraih ijazah dengan
predikat sangat memuaskan. Lalu beliau melanjutkan studinya di Kulliyah Darul
Ulum yang saat itu merupakan cabang Al Azhar. Di samping itu beliau banyak
menghadiri halaqah-halaqah ilmiah di Al Azhar yang diikuti oleh Syaikh-Syaikh
Al Azhar, semisal Syaikh Muhammad alHidhir Husain – rahimahullah – seperti yang
pernah disarankan oleh kakek beliau. Hal itu dimungkinkan karena sistem
pengajaran lama Al Azhar membolehkannya.[2]
Aktivitas
Politik
Sejak remaja Syaikh an-Nabhani sudah memulai aktivitas politiknya
karena pengaruh kakeknya, Syaikh Yusuf an-Nabhani, yang pernah terlibat
diskusi-diskusi dengan orang-orang yang terpengaruh peradaban Barat, seperti
Muhammad Abduh, para pengikut ide pembaharuan (modernisme), tokoh-tokoh
Freemansory, dan pihak-pihak lain yang membangkang terhadap Daulah Utsmaniyah.
Perdebatan-perdebatan politik dan aktivitas geraknya di antara para
mahasiswa di Al Azhar dan di Kulliyah Darul Ulum, telah menyingkapkan pula
kepeduliannya akan masalahmasalah politik.
Beberapa sahabatnya menceritakan bagaimana sikap-sikap beliau yang
berani menyerukan seruan yang bersifat menantang, dan mampu memimpin situasi Al
Azhar pada saat itu. Di samping itu, beliau juga melakukan berbagai perdebatan
dengan para ulama Al Azhar mengenai apa yang harus dilakukan dengan serius untuk
membangkitkan umat Islam. Sebenarnya ketika Syaikh an-Nabhani kembali dari
Kairo ke Palestina dan ketika beliau menjalankan tugasnya di Kementerian
Pendidikan Palestina, beliau sudah melakukan kegiatan yang cukup menarik
perhatian, yakni memberikan kesadaran kepada para murid yang diajarnya dan
orang-orang yang ditemuinya, mengenai situasi yang ada saat itu. Beliau juga
membangkitkan perasaan geram dan benci terhadap penjajah Barat dalam jiwa
mereka, di samping memperbaharui semangat mereka untuk berpegang teguh terhadap
Islam. Beliau menyampaikan semua ini melalui khutbah-khutbah, dialog-dialog,
dan perdebatanperdebatan yang beliau lakukan. Pada setiap topik yang beliau
sodorkan, hujjah beliau senantiasa kuat. Beliau memang mempunyai kemampuan yang
tinggi untuk meyakinkan orang lain.
Ketika beliau pindah pekerjaan ke bidang peradilan, beliau pun lalu
mengadakan kontak dengan para ulama yang pernah beliau kenal dan temui di
Mesir. Kepada mereka beliau mengajukan ide untuk membentuk sebuah partai politik
yang berasaskan Islam untuk membangkitkan kaum muslimin dan mengembalikan
kemuliaan dan kejayaan mereka. Untuk tujuan ini pula, beliau berpindah-pindah
dari satu kota ke kota lain di Palestina dan mengajukan ide yang sudah mendarah
daging dalam jiwa beliau itu kepada tokoh-tokoh terkemuka, baik dari kalangan
ulama maupun para pemikir. Kedudukan beliau di Mahkamah Isti’naf di Al Quds
sangat membantu aktivitas beliau tersebut.
Dengan demikian, beliau dapat menyelenggarakan berbagai seminar dan
mengumpulkan para ulama dari berbagai kota di Palestina. Dalam kesempatan itu,
beliau mengadakan dialog dengan mereka mengenai metode kebangkitan yang benar.
Beliau banyak berdebat dengan para pendiri organisasi-organisasi sosial Islam
(Jam’iyat Islamiyah) dan partai-partai politik yang bercorak nasionalis dan
patriotis. Beliau menjelaskan kekeliruan langkah mereka, kesalahan pemikiran
mereka, dan rusaknya kegiatan mereka. Syeikh Taqiyuddin dalam hal ini sangat
menentang sikap nasionalis.
Selain itu, beliau juga sering melontarkan berbagai masalah politik
dalam khutbah-khutbah yang beliau sampaikan pada acara-acara keagamaan di
masjid-masjid, seperti di Al Masjidil Aqsha, masjid Al Ibrahim Al Khalil
(Hebron), dan lain-lain. Dalam kesempatan seperti itu beliau selalu menyerang
sistem-sistem pemerintahan di negeri-negeri Arab, dengan menyatakan bahwa semua
itu merupakan rekayasa penjajah Barat, dan merupakan salah satu sarana penjajah
Barat agar dapat terus mencengkeram negeri-negeri Islam. Beliau juga sering membongkar
strategi-strategi politik negara-negara barat dan membeberkan niat-niat mereka
untuk menghancurkan Islam dan umatnya. Selain itu, beliau berpandangan bahwa
kaum muslimin berkewajiban untuk mendirikan partai politik yang berasaskan
Islam. Semua ini ternyata membuat murka Raja Abdullah bin Al Hussain, lalu
dipanggillah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani untuk menghadap kepadanya, terutama
karena khutbah yang pernah beliau sampaikan di Masjid Raya Nablus.
Beliau disuruh hadir di suatu majelis lalu ditanya oleh Raja
Abdullah mengenai apa yang menyebabkan beliau menyerang sistem-sistem
pemerintahan di negeri-negeri Arab, termasuk juga negeri Yordania. Namun Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani tidak menjawab pertanyaan itu, dan malah berpura-pura
tidak mendengar. Ini mengharuskan Raja Abdullah mengulangi pertanyaannya tiga
kali berturut-turut. Akan tetapi Syaikh Taqiyuddin tetap tidak menjawabnya.
Maka Raja Abdullah pun naik pitam dan berkata kepada beliau,
“Apakah kamu akan menolong dan melindungi orang yang kami tolong dan lindungi,
dan apakah kamu juga akan memusuhi orang yang kami musuhi?” Lalu, Syaikh
Taqiyuddin bangkit dari duduknya seraya berkata, “Aku berjanji kepada Allah,
bahwa aku akan menolong dan melindungi (agama) Allah dan akan memusuhi orang
yang memusuhi (agama) Allah. Dan aku amat membenci sikap nifaq dan orang-orang munafik!”
Maka marahlah Raja Abdullah mendengarkan jawaban itu, sehingga dia
lalu mengeluarkan perintah untuk mengusir Syaikh Taqiyuddin dari majelis
tersebut dan menangkap beliau. Dan kemudian Syaikh Taqiyuddin benar-benar
ditangkap! Namun kemudian Raja Abdullah menerima permintaan maaf dari beberapa
ulama atas sikap Syaikh Taqiyuddin tersebut lalu memerintahkan pembebasannya,
sehingga Syaikh Taqiyuddin tidak sempat bermalam di tahanan.
Beliau lalu kembali ke Al Quds dan sebagai akibat kejadian tersebut,
beliau mengajukan pengunduran diri dan menyatakan, “Sesungguhnya orang-orang
seperti saya sebaiknya tidak bekerja untuk melaksanakan tugas apa pun dari
sebuah pemerintahan.” Syaikh Taqiyuddin kemudian mengajukan pencalonan dirinya
untuk menduduki Majelis Perwakilan. Namun karena sikap-sikapnya yang dinilai
menyulitkan, aktivitas politik dan upayanya yang sungguh-sungguh untuk
membentuk sebuah partai politik, dan keteguhannya
berpegang kepada agama, maka akhirnya hasil pemilu menunjukkan bahwa Syaikh
Taqiyuddin dianggap tidak layak untuk duduk dalam Majelis Perwakilan.
Namun demikian, aktivitas politik Syaikh Taqiyuddin tidaklah mandeg
dan tekadnya pun tiada pernah luntur. Beliau terus mengadakan kontak-kontak dan
diskusi-diskusi, sehingga akhirnya beliau berhasil meyakinkan sejumlah ulama
dan qadhi terkemuka serta para tokoh politikus dan pemikir untuk membentuk
sebuah partai politik yang berasaskan Islam.
Beliau lalu menyodorkan kepada mereka kerangka organisasi partai
dan pemikiranpemikiran yang dapat digunakan sebagai bekal tsaqafah bagi partai
tersebut. Ternyata, pemikiran-pemikiran beliau ini dapat diterima dan disetujui
oleh para ulama tersebut. Maka aktivitas beliau pun menjadi semakin padat dengan
terbentuknya Hizbut Tahrir.[3]
Pembentukan
Partai Politik Islam (Hizbut Tahrir)
Publikasi pembentukan Hizbut Tahrir
secara resmi tersiar pada tahun 1953, pada saat Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani
mengajukan permohonan resmi kepada Departemen Dalam Negeri Yordania sesuai
Undang-Undang Organisasi yang diterapkan saat itu. Dalam surat itu terdapat
permohonan izin agar Hizbut Tahrir dibolehkan melakukan aktivitas politiknya. Dalam
surat itu terdapat pula struktur kepengurusan Hizbut Tahrir dengan susunan
sebagai berikut:
1. Taqiyuddin an-Nabhani, sebagai pemimpin Hizbut Tahrir.
2. Dawud Hamdan, sebagai wakil pemimpin merangkap sekretaris.
3. Ghanim Abduh, sebagai bendahara.
4. Dr. Adil an-Nablusi, sebagai anggota.
5. Munir Syaqir, sebagai anggota.[4]
Dalam pandangan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, politik dibagi
kedalam tiga kategori yaitu, Islam sebagai salah satu ideologi politik setelah
Sosialis dan Kapitalis. Islam dijadikan sebagai aqidah aqliyah (ikatan
yang sampai proses berpikir) yang melahirkan peraturan. Ia berpendapat bahwa
Islam tidak hanya dipandang sebagai sebuah agama tetapi Islam juga merupakan
solusi bagi seluruh persoalan yang ada.[5]
Dalam bukunya yang berjudul Mafahim Hizbut Tahrir, syaikh
Taqiyuddin an Nabhani menyatakan bahwa Hizbut Tahrir berusaha untuk
melangsungkan kembai kehidupan Islam di kawasan negeri-negeri Arab. Dari
sanalah tujuan untuk melangsungkan kehidupan Idlam diseluruh dunia Islam,
secara alami, akan tercapai, yaitu dengan jalan mendirikan Daulah Islamiyah di
satu atau beberapa wilayah sebagai titik sentral Islam dan sebagai benih
berdirinya Daulah Islamiyah yang besar yang akan mengembalikan kehidupan Islam,
dengan menerapkan Islam secara sempurna diseuruh negeri-negeri Islam, serta
mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.[6]
Kemudian syaikh Taqiyuddin menuturkan bahwa Hizbut Tahrir memerangi
penjajah dengan peperangan tanpa basa-basi; tidak hanya menuntut agar penjajah
keluar dari negeri-negeri Islam, dan tidak hanya menuntut kemerdekaan yang
semu. Bahkan Hizbut Tahrir menghendaki mencabut keadaan yang diciptakan oleh
penjajah kafir dari akar-akarnya yaitu dengan membebaskan negeri-negeri Islam,
lembaga-lembaga pendidikan, dan pemikiran umat dari berbagai pengaruh dan bentuk
penjajahan: baik itu penjajahan militer, ideologi, kebudayaan, dan sebagainya.
Syaikh Taqiyuddin mengatakan bahwa sebenarnya telah banyak terbentuk
partai politik yang bertujuan untuk membangkitkan kejayaan Islam, namun hingga
saat ini belum terlihat jelas keberhasilannya. Syaikh Taqiyudin menjelaskan
beberapa sebab mengapa partai politik Islam atau gerakan-gerakan politik untuk
membangkitkan kejayaan Islam kerap gagal, diantaranya :
1.
Gerakan-gerakan
tersebut berdiri di atas dasar fikrah (pemikiran) yang masih umum tanpa
batasan yang jelas, sehingga muncul kekaburan atau pembiasan. Lebih dari itu, fikrah
tersebut tidak cemerlang, tidak jernih, dan tidak murni.
2.
Gerakan-gerakan
tersebut tidak mengetahui thariqah (metode) bagi penerapan fikrahnya.
Bahkan fikrahnya diterapkan dengan cara-cara yang menunjukkan ketidaksiapan
gerakan tersebut dan penuh dengan kesimpangsiuran. Lebih dari itu, thariqah
gerakan-gerakan tersebut telah diliputi kekaburan dan ketidakjelasan.
3.
Gerakan-gerakan
tersebut bertumpu kepada orang-orang yang belum sepenuhnya mempunyai kesadaran
yang benar. Mereka pun belum mempunyai niat yang benar. Bahkan mereka hanyalah
orang-orang yang berbekal keinginan dan semangat belaka.
4.
Orang-orang
yang menjalankan tugas gerakan-gerakan tersebut tidak mempunyai ikatan yang
benar. Ikatan yang ada hanya struktur organisasi itu sendiri, disertai dengan sejumlah
deskripsi mengenai tugas-tugas organisasi, dan sejumlah slogan-slogan
organisasi.[7]
Syaikh Taqiyuddin beranggapan bahwa gerakan-gerakan yang selama ini
sudah ada dan gagal dikarenakan hanya berlandaskan semangat dan kesungguhan
saja dan tidak berlandaskan dengan fikrah dan thariqah. Syaikh
Taqiyuddin menjelaskan, bahwa fikrah adalah konsep yang mendasari
politik suatu negara adalah pemikiran yang menjadi asas hubungan negara itu
dengan berbagai bangsa dan negara lain.[8]
Dan thariqah adalah suatu metode atau cara.
Hizbut tahrir adalah partai politik yang berideologi Islam.
Bercita-cita untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam melalui tegaknya Daulah Islam,
yang akan menerapkan sistem Islam serta mengemban dakwah ke seluruh dunia.[9]
Proses pembentukan sebuah
partai politik agar ia menjadi sebuah partai politik yang benar menurut
Taqiyuddin adalah harusnya mengikuti petunjuk dibawah ini :
1.
Mendapatkan
petunjuk untuk memahami ideeologi. Seseorang yang mempunyai kemampuan berpikir
tinggi dan perasaan yang peka akan mendapatkan petunjuk untuk memahami
ideologi. Kemudian ia akan menggeluti dan mendalami ideologi tersebut, hingga
ideologi itu menjadi sangat jelas baginya dan mengkristal dalam dirinya. Pada
saat itulah muncul sel pertama dari partai itu. Tidak beberapa lama kemudian
muncul orang-orang lain, yang akan membentuk sel-sel (semacam jaringan) yang
satu sama lain dihubungkan secara integral oleh ideologi itu. Maka pada saat
itulah terbentuklah halqah pertama (halqah ula) bagi kelompok kepartaian
ini, yang sekaligus merupakan pimpinan partai (qiyadah hizb).
2.
Anggota
halqah pertama ini biasanya berjumlah sedikit dan pada mulanya bergerak
lamban. Karena meskipun ia mengungkapkan perasaan masyarakat tempat ia hidup,
tetapi pengungkapannya menggunakan lafazh-lafazh dan pengertian-pengertian yang
berbeda dengan apa yang biasa didengar masyarakat. Kelompok ini mempunyai
presepsi-presepsi baru yang berlawanan dengan presepsi-presepsi masyarakat
umum. Oleh karenanya, halqah pertama tersebut seakakn-akan terasing dari
masyarakat.
3.
Biasanya
pemikiran halqah pertama (atau pimpinan partai) tersebut cukup mendalam
dan metode kebangkitannya mendasar, yaitu bermula dari aspek yang mendasar.
Oleh sebab itu halqah pertama tersebut akan terangkat dari keadaan yang
buruk tempat umat hidup. Oleh sebab itu, ia mampu melihat sesuatu (yang
tersembunyi) di balik dinding, pada saat kebanyakan orang hanya bisa melihat
luarnya saja. Adapun halqah pertama pemikirannya tidaklah dangkal lagi
dan sudah mendekati batas kesempurnaan. Mereka menjadikan realitas sebagai
objek pikiran untuk diubah sesuai dengan ideologi, tidak menjadikan realitas
sebagai sumber pemikiran dengan cara mencocokkan ideologi dengan kenyataan.
4.
Pemikiran
halqah pertama atau pimpinan partai bertumpu pada suatu kaidah yang
tetap, yaitu bahwa pemikiran harus
berkaitan dengan aktivitas (amal), dan bahwa pemikiran dan aktivitas
harus mempunyai suatu tujuan tertentu yang hendak dicapai.
5.
Karena
kewajiban halqah pertama partai adalah menciptakan suasana keimanan yang
mengharuskan mereka mengikuti metode berpikir tertentu, maka meeka haruslah
melakukan gerak-gerak yang terarah, untuk mengembangkan dirinya secara cepat
dan memurnikan suasana keimanannya dengan sempurna sehingga mereka mampu
membanhun tubuh partainya dengan baik secepat kilat.
6.
Gerak-gerik
terarah tersebut dirancang berdasarkan kajian secara sungguh-sungguh terhadap
keadaan masyarakat.
7.
Akidah
yang mendalam dan teguh serta tsaqafah partai yang matang wajib menjadi
pengikat antara anggota partai, dan wajib menjadi undang-undang yang
mengendalikan jamaah partai, bukan undang-undang administrasi yang hanya
tertulis diatas kertas.
8.
Pimpinan
partai atau halqah pertama dapat diserupakan dengan motor buatan pabrik
dari satu segi, tapi berbeda dengan segi yang lainnya.
9.
Partai
ideologis akan menempuh tiga tahapan, sampai dia dapat mulai menerapkan
ideologinya di tengah masyarakat. Pertama, tahap pengkajian dan belajar
untuk mendapatkan tsafaqah partai. Kedua, tahap interaksi dengan
masyarakat tempat partai itu hidup, sampai ideologinya menjadi kebiasaan umum. Ketiga,
tahap menerima kekuasaan secara menyeluruh melalui dukungan umat, sampai
partai tersebut dapat menjadikan pemerintah sebagai metode untuk menerapkan
ideologi atas umat.[10]
10.
Adapun
tahapan pertama, ia merupakan tahapan pembentukan pondasi gerakan. Tahapan ini
ditempuh dengan suatu asumsi bahwa seluruh individu umat kosong dari tsaqafah
apa pun. Pada tahapan ini partai mulai membina orang-orang yang bersedia
menjadi anggotanya dengan tsaqafahnya. Digunakan pula asumsi bahwa masyarakat
secara keseluruhan adalah sekolah bagi partai, sehingga dalam waktu singkat
partai mampu mencetak sekelompok orang yang mampu melangsungkan kontak dengan
masyarakat untuk berinteraksi dengannya.
11.
Pada
tahapan ini, harus tetap disadari bahwa masyarakat secara keseluruhannya adalah
sebuah sekolah besar bagi partai. Juga harus tetap disadari bahwa terdapat perbedaan
yang besar antara sekolah dan partai dalam hal tsaqafahnya.
12.
Partai
adalah kelompok yang berdiri atas dasar fikrah dan thariqah, yaitu atas dasar
ideologi yang diimani oleh setiap anggotanya. Partai mengontrol pemikiran dan perasaan
masyarakat untuk digerakkan dalam sebuah gerakan yang terus meningkat (kualitas
dan kuantitasnya). Partai juga berusaha menghalangi kemerosotan kembali pemikiran
dan perasaan masyarakat.
13.
Tahapan
kedua adalah tahapan interaksi dengan umat, yang dibarengi dengan perjuangan
politik (kifah siyasi). Tahapan ini dianggap sebagai tahapan yang amat genting
(krusial). Keberhasilan partai pada tahapan ini merupakan bukti sehatnya
pembentukan partai. Kegagalan pada tahapan ini menunjukkan bahwa ada sesuatu
yang kurang beres yang wajib diperbaiki. Jadi tahapan kedua ini dibangun di
atas landasan tahapan sebelumnya.
Negara
Islam (Daulah Islamiyah)
Syaikh Taqiyuddin menggambarkan bagaimana Daulah Islamiyah melalui
pendekatan sejarah dalam bukunya yang berjudul Daulah Islam. Beliau
menceritakan kembali sejarah Nabi Muhammad saat pertama kali berdakwah
menyebarkan Islam, sampai akhirnya berjaya hingga akhirnya kekuasaan negara
Islam melemah dan kemudian lenyap.
Dalam pandangannya, syaikh Taqiyuddin menyatakan bahwa Nabi
Muhammad sejak awal berdakwah sudah mendirikan Daulah Islamiyah, kemudian
Daulah Islam tersebut ada hingga akhirnya bangsa barat meruntuhkan kejayaan
Islam. Beliau juga menyebutkan bahwa orang-orang yang merusak Daulah Islam atau
para penjajah yang meruntuhkan Daulah Islam adalah kafir. Dan kafir harus
diperangi demi tegaknya kembali kejayaan Islam dengan berdirinya Daulah
Islamiyah. Baginya, penjajah yang menerapkan sistem baru seperti UUD, adalah
suatu tindakan untuk meruntuhkan Daulah Islam, karena UUD yang diterapkan oleh
para kafir penjajah tidak ada hubungannya dengan Islam. Maka, segala peraturan,
Undang-Undang, hukum, politik, ekonomi di suatu negara, semuanya harus sesuai
dengan Islam, begitulah Daulah Islamiyah.
Syaikh Taqiyuddin juga beranggapan bahwa para penjajah kafir juga
menyerang melalui pendidikan, ada dua faktor pendidikan ilmu politik yang
menyebabkan Negara Islam, atau Daulah Islamiyah menjadi tidak popular atau
bahkan sedikit pendukungnya. Politik pengajaran dibangun dan disusun
berdasarkan dua dasar. Pertama, memisahkan urusan agama dari kehidupan. Pemisahan
ini dengan sendirinya menghasilkan pemisahan agama dari negara. Ini akan
mendorong putra-putri kaum Muslim berjuang memerangi pendirian Daulah Islam,
dengan alasan bahwa hal itu bertentangan dengan asas pendidikan mereka. Kedua,
membentuk kepribadian kafi penjajah yang dijadikan sumber utama pembinaan. Inilah
yang mengisi akal kaum Muslim, yaitu pemahaman yang tumbuh dari pengetahuan dan
informasi-informasi yang disampaikan kepada mereka. Pembinaan ini mengharuskan
murid menghormati dan mengagungkan kafi penjajah, dan berusaha meneladaninya,
meskipun yang dicontoh adalah kafi penjajah. Di samping itu, murid juga
dituntut merendahkan orang Islam dan menjauhinya, merasa jijik terhadapnya,
arogan dan memandangnya rendah, serta meremehkan setiap orang yang merujuk
kepada Islam. Tidak mengherankan jika ajaran-ajaran ini melahirkan permusuhan
terhadap pembentukan Daulah Islam. Mencapnya sebagai perbuatan terbelakang dan
mundur.[11]
Pada abad ke 18, dunia Islam jatuh ke jurang keruntuhan terdalam.
Tidak ada lagi keproduktifitasan umat Islam dalam bidang politik, ekonomi,
ilmu, seni, dan lain sebagainya layaknya 14 abad masa kejayaannya silam.
Kritisme umat Islam atas modernisasi Barat (modernisme) tumbuh dengan pesat
dalam bentuk yang beragam, baik berupa gerakan intelektual maupun gerakan
social politik. Keberagaman ini menyebabkan sulitnya mencari istilah yang tepat
yang mencakup semua gejala itu. Istilah yang dipakai Barat sebagi penggelinding
pertama bola kebangkitan Islam antara lain adalah revivalisme (faham untuk mendapatkan
kebangkitan kembali), aktivisme (ajaran politik yang menganjurkan tidakan
kekerasan untuk mencapai tujuan politik), milienarisme, militansi Islam (
kegiatan yang terpancar dari ketinggian semangat berjuang, kegagah beranian di kalangan
umat Islam), meseanisme, resurgence (kemunculan kembali, kebangkitan
kembali dengan jumlah yang lebih banyak dari sebelumnya), dan reassertion
(penegakan kembali).[12]
Syaikh Taqiyuddin menuliskan tiga
perkara penting mengenai Daulah Islamiyah. Pertama, Sistem
Pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Tuhan alam semesta adalah sistem
Khilafah. Di dalam sistem Khilafah ini Khalifah diangkat melalui baiat
berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya untuk memerintah sesuai dengan
wahyu yang Allah turunkan. Dalil-dalil yang menunjukkan kenyataan ini sangat
banyak, diambil dari al-Kitab, as-Sunnah, dan Ijmak Sahabat. Kedua, Kedua:
Sistem Pemerintahan Islam (Khilafah) berbeda dengan seluruh bentuk pemerintahan
yang dikenal di seluruh dunia; baik dari segi asas yang mendasarinya; dari segi
pemikiran, pemahaman, maqayis (standar), dan hukum-hukumnya untuk mengatur
berbagai urusan; dari segi konstitusi dan undangundangnya yang dilegislasi
untuk diimplementasikan dan diterapkan; ataupun dari segi bentuknya yang
mencerminkan Daulah Islam sekaligus yang membedakannya dari semua bentuk pemerintahan
yang ada di dunia ini. Hal tersebut dikarenakan : Sistem Pemerintahan Islam
bukan sistem kerajaan, sistem Pemerintahan Islam juga bukan sistem imperium
(kekaisaran), sistem Pemerintahan Islam bukan sistem federasi, sistem Pemerintahan
Islam bukan sistem republik, juga Syeikh Taqiyuddin mengatakan bahwa sistem
pemerintahan Islam bukan sistem demokrasi menurut pengertian hakiki demokrasi,
baik dari segi bahwa kekuasaan membuat hukum—menetapkan halal dan haram, terpuji
dan tercela—ada di tangan rakyat, maupun dari segi tidak adanya keterikatan
dengan hukum-hukum syariah dengan dalih kebebasan. Ketiga, Sesungguhnya
struktur negara Khilafah berbeda dengan struktur semua sistem yang dikenal di
dunia saat ini, meski ada kemiripan dalam sebagian penampakannya. Struktur negara
Khilafah diambil (ditetapkan) dari struktur negara yang ditegakkan oleh
Rasulullah saw. di Madinah setelah Beliau hijrah ke Madinah dan mendirikan
Daulah Islam di sana. Struktur negara Khilafah adalah struktur yang telah
dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin setelah Rasulullah saw. wafat. Kemudian
dalam pandangannya, Syeikh Taqiyuddin menyimpulkan suatu struktur negara Islam
atau Daulah Islamiyah atau Negara Khilafah, sebagai berikut :
1.
Khalifah.
Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam menjalankan
pemerintahan, kekuasaan, dan penerapan hukumhukum syariah. Hal itu karena Islam
telah menjadikan
pemerintahan dan kekuasaan sebagai milik umat. Untuk itu diangkatlah
seseorang yang melaksanakan pemerintahan sebagai wakil dari umat. Allah telah
mewajibkan kepada umat untuk menerapkan seluruh hukum syariah. Sesungguhnya
Khalifah itu diangkat oleh kaum Muslim. Karena itu, realitasnya Khalifah adalah
wakil umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan, dan penerapan hukumhukum
syariah. Jadi, seseorang itu tidak menjadi khalifah kecuali jika umat
membaiatnya. Baiat umat kepada Khalifah untuk menduduki jabatan Khilafah telah
menjadikannya sebagai pihak yang mewakili umat. Penyerahan jabatan Kekhilafahan
kepada Khalifah dengan baiat itu telah memberinya kekuasaan dan menjadikan umat
wajib menaatinya.
2.
Para
Mu’awin at-Tafwidh (Wuzara’ at-Tafwidh).
Mu‘âwin adalah pembantu yang telah diangkat oleh Khalifah untuk membantunya
dalam mengemban tanggung jawab dan melaksanakan tugas-tugas kekhilafahan.
Karena banyaknya tugas-tugas kekhilafahan, khususnya ketika wilayah negara
Khilafah menjadi semakin besar dan bertambah luas, Khalifah akan berat untuk
mengembannya seorang diri. Karena itu, ia membutuhkan orang yang dapat
membantunya dalam mengemban tanggung jawab kekhilafahan dan melaksanakan tugas-tugas
kekhilafahan itu. Penyebutan para Mu‘âwin dengan sebutan Wuzarâ’ tanpa
disertai pembatasan adalah tidak boleh agar pengertian Wazîr (Mu‘âwin)
dalam Islam tidak rancu dengan pengertiannya dalam berbagai sistem pemerintahan
kontemporer yang berdiri di atas asas demokrasi kapitalis-sekularis atau
sistem-sistem lain yang dapat kita saksikan saat ini. Wazîr at-Tafwîdh atau Mu‘âwin
at-Tafwîdh adalah Wazîr
yang ditunjuk Khalifah untuk bersama-sama mengemban tanggung jawab
pemerintahan dan kekuasaan. Dalam hal ini, Khalifah mendelegasikan kepadanya
pengaturan berbagai urusan.
3.
Wuzara’
at-Tanfîdz.
Wazir at-Tanfîdz adalah wazir yang ditunjuk oleh Khalifah sebagai
pembantunya dalam implementasi kebijakan, dalam menyertai Khalifah, dan dalam
menunaikan kebijakan Khalifah. Wazir at-Tanfidz merupakan penghubung Khalifah
dengan struktur dan aparatur negara, rakyat, dan pihak luar negeri. Ia bertugas
menyampaikan kebijakan-kebijakan Khalifah kepada mereka dan menyampaikan
informasi dari mereka kepada Khalifah. Sebab, Wazîr at-Tanfîdz ditunjuk sebagai
pembantu Khalifah dalam pelaksanaan berbagai urusan, bukan sebagai penanggung
jawab dan bukan pula sebagai orang yang diserahi wewenang atas berbagai urusan
tersebut. Tugasnya adalah tugas administrasi, bukan tugas pemerintahan.
Departemennya merupakan lembaga pelaksana yang melaksanakan berbagai kebijakan
yang dikeluarkan oleh Khalifah kepada instansi-instansi dalam negeri dan luar
negeri, di samping menyampaikan informasi-informasi dari berbagai instansi itu.
Dia merupakan penghubung Khalifah dengan struktur negara dan aparat yang lain;
menyampaikan kebijakan dari Khalifah kepada bawahannya dan menyampaikan informasi
dari bawahan Khalifah kepada Khalifah.
4.
Para
Wali.
Wali adalah orang yang diangkat oleh Khalifah sebagai penguasa
(pejabat pemerintah) untuk suatu wilayah (propinsi) serta menjadi amir
(pemimpin) wilayah itu. Negeri yang diperintah oleh Negara (Khilafah) dibagi dalam
beberapa bagian dan setiap bagian disebut wilayah. Setiap wilayah dibagi dalam
beberapa bagian dan setiap bagian disebut ‘imalah. Setiap orang yang memimpin
wilayah disebut wali atau amir dan orang yang memimpin ‘imâlah disebut ‘amil
atau hâkim. Setiap ‘imalah dibagi dalam beberapa bagian administratif. Setiap
bagian itu disebut qashabah (kota). Setiap qashabah dibagi
dalam beberapa bagian administratif yang lebih kecil; masingmasing
bagian itu disebut dengan hayyu (kampung/desa). Orang yang mengurusi qashabah
atau hayyu masing-masing disebut mudir dan tugasnya adalah tugas administrasi.
5.
Amir
al-Jihad.
Jihad adalah perang di jalan Allah untuk meninggikan kalimat Allah.
Perang itu sendiri memerlukan adanya pasukan dan apa saja yang menjadi
keharusannya, baik berupa persiapan maupun pembentukan formasi kepemimpinannya
serta formasi batalion tempur, para komandan, dan tentaranya. Perang juga memerlukan
latihan, pembekalan, dan logistik. Pasukan harus memiliki persenjataan. Persenjataan
mengharuskan adanya
industri. Karena itu, industri termasuk hal yang dibutuhkan oleh militer
maupun jihad. Hal inilah yang mengharuskan agar seluruh industri yang ada di
seluruh wilayah negara dibangun berdasarkan asas industri perang/militer. Kepalanya
disebut Amîr al-Jihâd dan tidak disebut Mudîr al-Jihâd (Direktur Jihad). Hal
itu karena Rasulullah saw. menamakan komandan pasukan sebagai amir.
6.
Keamanan
Dalam Negeri,
Departemen Keamanan Dalam Negeri merupakan departemen yang
mengurusi segala bentuk gangguan keamanan. Departemen ini juga mengurusi
penjagaan keamanan di dalam negeri melalui satuan kepolisian dan ini merupakan
sarana utama untuk menjaga keamanan dalam negeri. Departemen Keamanan Dalam
Negeri berhak menggunakan satuan kepolisian kapan pun dan seperti yang
diinginkannya. Perintah departemen ini harus segera dilaksanakan. Adapun jika
keperluan menuntut untuk meminta bantuan pasukan, maka departemen ini wajib menyampaikan
perkara tersebut kepada Khalifah. Khalifah berhak memerintahkan pasukan untuk
membantu Departemen Keamanan Dalam Negeri, atau dengan menyiapkan kekuatan militer
untuk membantu Departemen Keamanan Dalam Negeri untuk menjaga keamanan, atau
perkara lain menurut pandangan Khalifah. Khalifah juga berhak menolak
permintaan Departemen Keamanan Dalam Negeri itu dan memerintahkannya agar mencukupkan
diri dengan satuan kepolisian saja.
7.
Urusan
Luar Negeri.
kehidupan politik internasional, juga karena semakin luas dan
beragamnya hubungan politik internasional, maka kami mengadopsi (men-tabanni) bahwa
Khalifah harus mengangkat struktur negara tersendiri untuk mengurusi hubungan
luar negeri. Selanjutnya Khalifah mengontrolnya sebagaimana Khalifah juga
mengontrol strukturstruktur negara yang lain; baik struktur pemerintahan maupun
administratif, baik Khalifah mengontrolnya sendiri atau melalui Wazîr
at-Tanfîdz.
8.
Industri.
Mengurusi semua masalah yang berhubungan dengan perindustrian, baik
yang berhubungan dengan industri berat seperti industri mesin dan peralatan,
pembuatan dan perakitan alat transportasi (kapal, pesawat, mobil, dsb),
industri bahan mentah dan industri elektronik, maupun yang berhubungan dengan
industri ringan; baik industri itu berupa pabrik-pabrik yang menjadi milik umum
maupun pabrik-pabrik yang menjadi
milik pribadi, yang memiliki hubungan dengan industri-industri militer
(peperangan). Industri dengan berbagai jenisnya itu semuanya harus dibangun
dengan berpijak pada politik perang. Sebab, jihad dan perang memerlukan
pasukan, sementara pasukan, agar mampu berperang, harus memiliki persenjataan. Agar
persenjataan itu terpenuhi bagi pasukan secara memadai hingga pada tingkat yang
optimal tentu harus ada industri
persenjataan di dalam negeri, khususnya industri perang, karena hubungannya
yang begitu kuat dengan jihad. Peradilan.
9.
Mashalih
an-Nas (Kemaslahatan Umum).
Kepentingan masyarakat ditangani oleh departemen, jawatan, serta
unit-unit yang didirikan untuk menjalankan urusan-urusan negara dan memenuhi
kepentingan-kepentingan masyarakat tersebut. Untuk setiap departemen diangkat
seorang direktur jenderal. Untuk setiap jawatan diangkat seorang direktur yang mengurusi
manajemennya dan ia bertanggung jawab secara langsung terhadap jawatan
tersebut. Para direktur itu bertanggung jawab kepada orang yang memimpin
departemen, jawatan, atau unit mereka yang lebih tinggi dari sisi
pertanggungjawaban pelaksanaan tugas-tugas mereka. Mereka juga bertanggung
jawab kepada wali dan amil dari sisi pertanggungjawaban terhadap keterikatan
mereka dengan hukum-hukum syariah dan peraturanperaturan secara umum.
10. Baitul Mal.
Baitul Mal digunakan untuk menyebut tempat penyimpanan berbagai
pemasukan negara dan sekaligus menjadi tempat pengeluarannya. Baitul Mal juga
digunakan untuk
menyebut lembaga yang bertugas memungut dan membelanjakan harta
yang menjadi milik kaum Muslim.
11. Lembaga Informasi.
Mengurusi kepentingan masyarakat. Akan tetapi, posisinya berhubungan
langsung dengan Khalifah sebagai instansi yang mandiri. Keadaannya sama seperti
keadaaan instansi-instansi yang lain di dalam negara Khilafah.
12. Majelis Umat (Syara dan Muhasabah).
Sebagai tempat merujuk bagi Khalifah untuk meminta masukan/ nasihat
mereka dalam berbagai urusan. Mereka mewakili umat dalam melakukan muhâsabah
(mengontrol dan mengoreksi) para pejabat pemerintahan (al-Hukkam). Keberadaan
majelis ini diambil dari aktivitas Rasul saw. yang sering meminta pendapat/ bermusyawarah
dengan beberapa orang dari kaum Muhajirin dan Anshar yang mewakili kaum mereka.[13]
Daulah Islamiyah wajib ditegakkan,
dan seluruh umat Muslim wajib mendukung atas berdirinya Daulah Islamiyah,
begitu kata Syaikh Taqiyuddin. Baginya, hal tersebut telah ditetapkan berdasarkan
al-Quran, as-Sunah dan Ijma’ Sahabat. Karena kaum Muslim tunduk kepada
kekuasaan kufur di negeri-negeri mereka dan diterapkan kepada mereka
hukum-hukum kufur, maka jadilah negeri mereka sebagai negara kufur setelah
sebelumnya berstatus sebagai Daulah Islam. Dengan kata lain, kewarganegaraan
mereka bukan lagi kewarganegaraan Islam walaupun negeri mereka adalah negeri
Islam. Wajib bagi mereka untuk hidup dalam Daulah Islam dengan memiliki
kewarganegaraan Islam. Hal itu tidak akan mereka peroleh kecuali dengan
menegakkan Daulah Islam. Kaum Muslim akan tetap berdosa, hingga mereka berjuang
untuk menegakkan Daulah Islam dan membai’at seorang khalifah yang akan
menerapkan Islam dan mengemban dakwahnya ke seluruh penjuru dunia.[14]
Kesimpulan
Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf
an-Nabhani. Nama an-Nabhani dinisbahkan kepada kabilah Bani Nabhan, salah satu
kabilah Arab penghuni padang sahara di Palestina. Mereka bermukim di daerah Ijzim,
wilayah Haifa, Palestina Utara.
Beliau adalah pendiri dari partai politik Islam Hizbut Tahrir.
Syakh Taqiyuddin mendirikan partai politik setelah sebelumnya diusir oleh raja Abdullah
bin Al Hussain, karena telah menyerang sistem pemerintahan di negeri-negeri
Arab. Syaikh Taqiyuddin beranggapan bahwa sistem pemerintah saat ini adalah
salah dan keliru, karena tidak berlandaskan hukum-hukum Islam, meski
negara-negara tersebut ada di negeri Islam.
Dalam pandangan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, politik dibagi
kedalam tiga kategori yaitu, Islam sebagai salah satu ideologi politik setelah
Sosialis dan Kapitalis. Islam dijadikan sebagai aqidah aqliyah (ikatan
yang sampai proses berpikir) yang melahirkan peraturan. Ia berpendapat bahwa
Islam tidak hanya dipandang sebagai sebuah agama tetapi Islam juga merupakan
solusi bagi seluruh persoalan yang ada.
Dalam bukunya yang berjudul Mafahim Hizbut Tahrir, syaikh
Taqiyuddin an Nabhani menyatakan bahwa Hizbut Tahrir berusaha untuk
melangsungkan kembai kehidupan Islam di kawasan negeri-negeri Arab. Dari
sanalah tujuan untuk melangsungkan kehidupan Idlam diseluruh dunia Islam,
secara alami, akan tercapai, yaitu dengan jalan mendirikan Daulah Islamiyah di
satu atau beberapa wilayah sebagai titik sentral Islam dan sebagai benih
berdirinya Daulah Islamiyah yang besar yang akan mengembalikan kehidupan Islam,
dengan menerapkan Islam secara sempurna diseuruh negeri-negeri Islam, serta
mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.
Kemudian syaikh Taqiyuddin menuturkan bahwa Hizbut Tahrir memerangi
penjajah dengan peperangan tanpa basa-basi; tidak hanya menuntut agar penjajah
keluar dari negeri-negeri Islam, dan tidak hanya menuntut kemerdekaan yang
semu. Bahkan Hizbut Tahrir menghendaki mencabut keadaan yang diciptakan oleh
penjajah kafir dari akar-akarnya yaitu dengan membebaskan negeri-negeri Islam,
lembaga-lembaga pendidikan, dan pemikiran umat dari berbagai pengaruh dan bentuk
penjajahan: baik itu penjajahan militer, ideologi, kebudayaan, dan sebagainya.
Syeikh
Taqiyuddin menyimpulkan suatu struktur negara Islam atau Daulah Islamiyah atau
Negara Khilafah, sebagai berikut :
1.
Khalifah.
2.
Para
Mu’awin at-Tafwidh (Wuzara’ at-Tafwidh).
3.
Wuzara’
at-Tanfîdz.
4.
Para
Wali.
5.
Amir
al-Jihad.
6.
Keamanan
Dalam Negeri,
7.
Urusan
Luar Negeri.
8.
Industri.
9.
Mashalih
an-Nas (Kemaslahatan Umum).
10. Baitul Mal.
11. Lembaga Informasi.
12. Majelis Umat (Syara dan Muhasabah).
Daulah Islamiyah wajib ditegakkan, dan seluruh umat Muslim wajib
mendukung atas berdirinya Daulah Islamiyah, begitu kata Syaikh Taqiyuddin.
Baginya, hal tersebut telah ditetapkan berdasarkan al-Quran, as-Sunah dan Ijma’
Sahabat. Karena kaum Muslim tunduk kepada kekuasaan kufur di negeri-negeri
mereka dan diterapkan kepada mereka hukum-hukum kufur, maka jadilah negeri
mereka sebagai negara kufur setelah sebelumnya berstatus sebagai Daulah Islam.
Dengan kata lain, kewarganegaraan mereka bukan lagi kewarganegaraan Islam
walaupun negeri mereka adalah negeri Islam. Wajib bagi mereka untuk hidup dalam
Daulah Islam dengan memiliki kewarganegaraan Islam. Hal itu tidak akan mereka
peroleh kecuali dengan menegakkan Daulah Islam. Kaum Muslim akan tetap berdosa,
hingga mereka berjuang untuk menegakkan Daulah Islam dan membai’at seorang
khalifah yang akan menerapkan Islam dan mengemban dakwahnya ke seluruh penjuru
dunia.
Referensi
al-Jal-Jawi, Muhammad Shiddiq, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani: Meneropong Perjalanan Spiritual dan Dakwahnya, (Bogor : Al Azhar Press, 2003).
an-Nabhani, Taqiyuddin, Daulah Islam, (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2012).
an-Nabhani, Taqiyuddin, Konsepsi Politik Hizbut Tahrir, (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2009).
an-Nabhani, Taqiyuddin, Mafahim Hizbut Tahrir, (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2008).
an-Nabhani, Taqiyuddin, Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan Administrasi), (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2008).
an-Nabhani, Taqqiyuddin, Pembentukan Partai Politik Islam, (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2013).
Zahroh, Fathimatuz, “Kebangkitan Islam (Studi Kritis Pemikiran Syeikh Taqiyuddin An Nabhani)”, (Skirpsi S1 Fakultas Ushluddin, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya).
Zulaichah, Siti, “Pemikiran Politik Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani”, (Skripsi S1 Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008).
an-Nabhani, Taqiyuddin, Daulah Islam, (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2012).
an-Nabhani, Taqiyuddin, Konsepsi Politik Hizbut Tahrir, (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2009).
an-Nabhani, Taqiyuddin, Mafahim Hizbut Tahrir, (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2008).
an-Nabhani, Taqiyuddin, Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan Administrasi), (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2008).
an-Nabhani, Taqqiyuddin, Pembentukan Partai Politik Islam, (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2013).
Zahroh, Fathimatuz, “Kebangkitan Islam (Studi Kritis Pemikiran Syeikh Taqiyuddin An Nabhani)”, (Skirpsi S1 Fakultas Ushluddin, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya).
Zulaichah, Siti, “Pemikiran Politik Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani”, (Skripsi S1 Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008).
[1]
Fathimatuz Zahroh, “Kebangkitan Islam (Studi Kritis Pemikiran Syeikh Taqiyuddin
An Nabhani)”, (Skirpsi S1 Fakultas Ushluddin, Institut Agama Islam Negeri Sunan
Ampel Surabaya), h. 50-51
[2] Muhammad
Shiddiq al-Jawi, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani: Meneropong Perjalanan
Spiritual dan Dakwahnya, (Bogor : Al Azhar Press, 2003), h. 5-6
[3] Muhammad
Shiddiq al-Jawi, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani: Meneropong Perjalanan
Spiritual dan Dakwahnya, h. 11-15
[4] Shiddiq
al-Jawi, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani: Meneropong Perjalanan Spiritual dan
Dakwahnya, h. 5-11
[5] Siti
Zulaichah, “Pemikiran Politik Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani”, (Skripsi S1
Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008)
[6]
Taqiyuddin an Nabhani, Mafahim Hizbut Tahrir, (Jakarta : Hizbut Tahrir
Indonesia, 2008), h.21
[7]
Taqqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, (Jakarta :
Hizbut Tahrir Indonesia, 2013), h.5-6
[8]
Taqiyuddin an-Nabhani, Konsepsi Politik Hizbut Tahrir, (Jakarta : Hizbut
Tahrir Indonesia, 2009), h.11
[9] Nabhani,
Mafahim Hizbut Tahrir, h. 126-127
[10]
Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, (Jakarta :
Hizbut Tahrir Indonesia, 2014), h.42-50
[11]Taqiyuddin
an-Nabhani, Daulah Islam, (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2012),
h.307-308
[12]
Fathimatuz Zahroh, “Kebangkitan Islam (Studi Kritis Pemikiran Syeikh Taqiyuddin
An Nabhani)” , h. 20
[13] Taqiyuddin
an-Nabhani, Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan Administrasi),
(Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2008), h.16-247
[14] an-Nabhani,
Daulah Islam, h.318
Komentar
Posting Komentar