Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2018

Tanah Abang

Sebenarnya, ini cerita sederhana dan sudah lama, tapi menjadi perenungan panjang untukku. Berawal dari kisahku memulai bergabung dengan temanku berdagang kerudung, tidak berlangsung lama memang, tapi saat itu rasanya setiap proses yang ada menjadi berarti. Awal mula, aku akui aku memang anak yang galau, entahlah, kenapa aku bisa-bisanya galau berkepanjangan. Sahabatku Karina, berinisiatif mengajakku bergabung di bisnis kecil-kecilannya, "May, jualan kerudung yuk sama gue, dari pada luh galau melulu" Yups, ajakannya aku sambut baik, sebelumnya aku pernah bantu-bantu sedikit dibisnis aksesories milik seniorku, aku pernah temani seniorku berbelanja berbagai macam mute dan perlengkapan untuk keperluan bisnisnya di Pasar Asemka. Setelah itu aku belajar meronce mute-mute tersebut menjadi aksesories cantik yang kemudian siap untuk dijual. Dari sana, aku  belajar perjuangan seseorang yang bercita-cita ingin menjadi pengusaha. Asyik memang, tapi lelah minta ampun. Lanj

Nestapa

Rasa yang mana yang akan kusebut nestapa. Sebenarnya aku malu menyebutnya begitu. Malam-malam yang diam, menghukumku dengan kesendirian. Bercanda ria dengan air mata, namun masih tanpa kata-kata. Dengan bernafsu, kuteguk air itu tak bersisa, haus rasanya, dan masih dengan malam yang tanpa suara. Aku masih berpikir lebih dalam tentang rasa dan kata-kata. Kini, biarkan aku menari dengan para nestapa. Akhirnya payah membuatku mengakui bahwa ini nestapa. Menertawakan setiap air mata yang pernah jatuh dipangkuan sajadah. Melapangkan relung-relung yang sempit jauh didalam dada. Sering dilanda rindu pada bahu yang tepat. Bersusah payah membuka celah-celah gerbang jiwa yang berkarat. Tersadar, hitamnya jiwaku ikut membantu menutupi terang Cahaya-Nya. Seketika pandangan gelap menegur perasaanku yang buram. Sedetik kemudian aku terbangun dengan hela napas yang lebih dalam. Lalu kusudahi nestapa ini, bersamaan dengan kedua salam dan istighfar.