Akhir-akhir ini waktu terasa lambat, aku rindu sekali bangun subuh dan bergegas memasak bekal untuk suamiku pergi kerja. Aku rindu, memeluk suamiku saat berangkat dan pulang kerja.
Belum lupa rasanya ketika hari pertama suamiku masuk kerja, aku menunggunya dirumah bersama Inara yang ketika itu baru bisa tengkurap. Aku menunggunya dengan rindu ingin segera berkumpul dan makan malam bersama. Dengan penuh kesyukuran dan rasa terimakasih, aku menjalani hari-hari baruku dengan semangat dan penuh rasa optimis.
Hari itu, suamiku menerima gaji pertamanya, "Alhamdulillah gajian", isi chatnya pada ku dengan gambar screenshot layar Hpnya yang berisi mutasi rekening. Bahagianya aku kala itu, akhirnya suamiku menerima gaji tiap bulan, setelah setahun lebih tidak menerima pemasukan karena wabah c0v1d. Rasanya bahagia banget, akhirnya hidup terasa cerah, setelah melewati hari-hari yang sulit.
Akhirnya, kami bisa melalui ujian ekonomi. Lelah perasaan karena setiap hari menunggu kapan wabah ini mati kemudian sirna, berganti dengan rasa optimis menyongsong hari-hari cerah.
Kembali pada hari ini, aku menjadi mudah menangis. Hatiku sesak, dan sakit, batinku terasa tidak baik-baik saja. Aku tidak sanggup memendamnya sendiri, namun bila aku berbagi cerita, saran mereka sama., dan aku masih bersikukuh dengan rasa sesak yang penuh di dada. Aku memang keras kepala untuk tidak mau menerima yang terjadi, aku marah tapi tidak tau ingin ditujukan pada siapa.
Suamiku dipecat dengan cara yang tidak baik menurutku. Dan bagiku wajar jika aku sulit menerimanya, entah, mungkinaku selalu memaklumi keegoisanku. Hari-hari terakhir suamiku disana, dia sering pulang pukul 2 pagi, aku sering tidak terima, dan aku merasa hal tersebut tidak adil untukku. Hingga hari tersebut tiba, suamiku diminta mengundurkan diri hari itu juga, aku menerima pesan whatsapp suamiku dan menangis sejadinya. Aku bersimpuh dan berkata "ya Allah, kan aku udah bilang, jangan ambil pekerjaan suamiku, dia tulang punggung keluarga kami, gimana nanti kalau Inara sakit, gimana nanti kami bayar cicilan, kami juga masih harus mengurus pindahan, ya Allah suamiku orang baik, kenapa dia harus menerima ini ? dia kerja untuk anak istrinya, kenapa harus dengan begini ? akukan udah bilang ya Allah. jangan ambil pekerjaan suamiku ! "
Aku marah, namun bingung ingin marah pada siapa. Aku kecewa namun masih berusaha untuk menerima. Sakit sekali hatiku, rasanya baru kemarin aku bernapas lega, keluar dari jurang covid dan hari ini aku harus merasakannya lagi, "kenapa ya Allah?"
Aku sibuk dengan mengurus rumah, diperjalanan kami pindahan, aku menangis dibonceng suamiku, "Ya Allah aku sedih dan terharu banget akhirnya bisa pindah kerumah. aku sedih banget keinget dulu kita tinggal dirumah orang tua, kita tinggal dikontrakan petak, kita menghemat sehemat-hematnya supaya bisa nabung, aku berdoa semoga rumah ini rejeki kita" hari itu aku masih mampu berpikir positif dan berprasangka baik. Hingga tiba hari ini aku merasa lelah dengan semua ketidak pastian.
Aku marah, namun bingung ingin marah pada siapa. Aku kecewa namun masih berusaha untuk menerima. Sakit sekali hatiku, rasanya baru kemarin aku bernapas lega, keluar dari jurang covid dan hari ini aku harus merasakannya lagi, "kenapa ya Allah?"
Aku sibuk dengan mengurus rumah, diperjalanan kami pindahan, aku menangis dibonceng suamiku, "Ya Allah aku sedih dan terharu banget akhirnya bisa pindah kerumah. aku sedih banget keinget dulu kita tinggal dirumah orang tua, kita tinggal dikontrakan petak, kita menghemat sehemat-hematnya supaya bisa nabung, aku berdoa semoga rumah ini rejeki kita" hari itu aku masih mampu berpikir positif dan berprasangka baik. Hingga tiba hari ini aku merasa lelah dengan semua ketidak pastian.
Kemarin, aku menangis 3 kali dalam sehari, menangis dengan rasa sesak didada. Aku ingin menulisnya disini bukan karena aku ingin mengeluh di media sosial, tapi mungkin ini caraku untuk meyalurkan emosi. Aku menangis terisak dipelukan suamiku, "beban pikiranku rasanya berat sekali, kapan ini semua berlalu ?" Aku mulai merasa gangguan kecemasanku semakin mengganggu. Bangun pagi terasa menyiksa bagiku, aku selalu menyesali pagi hari, karena aku masih ingin tidur, aku tidak ingin bangun di dunia yang penuh dengan kecemasan.
Sebulan.. dua bulan,, berlalu,, dan hari ini masuk di 3 bulan suamiku tidak punya pekerjaan.
Aku mulai mudah menangisi hal-hal yang tidak perlu kutangisi. Aku marah, kecewa namun tidak tau kepada siapa. Suamiku sudah berusaha, namun sepertinya Tuhan belum mau memberi. Aku terasa buntu, aku tidak bisa mencari uang sebanyak yang suamiku bisa. Aku hanya bisa menangis, dan menangis.
Hidup semakin terasa tidak adil, ketika kulihat orang jahat itu liburan bersama keluarganya, sedangkan suamiku kesulitan dibuatnya.
Terlepas campur tangan manusia. Aku sadar ini memang ujian yang datangnya dari Tuhan. tapi aku menjadi manusia yang gusar hati, aku mulai hilang sadar dan sabar, ya Allah kapan ini berlalu.
Aku tau, aku bisa melaluinya, berkali-kali ditengah tangisku aku berkata, "aku gak mau putus asa ya Allah" dan hari ini aku hampir putus asa.
Bulan ini, bulan terakhir ikatan NDA suamiku dengan perusahaan tersebut berakhir.
Aku tau, aku bisa melaluinya, berkali-kali ditengah tangisku aku berkata, "aku gak mau putus asa ya Allah" dan hari ini aku hampir putus asa.
Bulan ini, bulan terakhir ikatan NDA suamiku dengan perusahaan tersebut berakhir.
Hanya doa terbaik yang bisa aku panjatkan.
Aku berterimakasih pada kak Wiwit yang baik hati mau mempekerjakan aku. Aku terbantu karena dia, aku bisa beli beras dan susu. Tadi pagi, aku belanja kebutuhan dapur, beras, telur, lauk pauk. Dengan menahan tangis, aku bersyukur sekaligus sedih, apa jadinya kalau kak Wit tidak mempekerjakan aku, memang Allah Maha Pengasih, bisikku dalam hati.
Aku yakin, suatu saat kita bisa lebih dari ini, kita bisa bayarkan rasa sakit kita hari ini.
ya Allah, aku ingin hari itu segera tiba,
ya Allah, kumohon, buang rasa cemasku, dan sembuhkan luka-luka batinku.
Komentar
Posting Komentar