Kadang aku berpikir, buat apa aku menulis disini, apa untuk dicuri orang untuk bahan narasi kontennya, atau berdebu karena toh gak menarik untuk dibaca, atau suatu saat akan membawaku pada kemenangan, iya, sekali waktu aku berandai, andai tulisanku ini bisa dijadikan buku dan bisa menginspirasi banyak orang, terkenal, diundang seminar, ah ya,,, namanya orang berandai...
Kalau sekarang aku ditanya apa cita-citaku, jelas aku tidak tau, dan apa masih layak pada usia saat ini memikirkan cita-cita. Waktu kecil, kalau ditanya cita-cita jawabannya kalau gak guru, ya dokter hehe. Minimnya pengetahuan dunia luar, membuatku sudah bingung menentukan cita-cita, dan hanya terpaku pada hal-hal yang lawas. Hingga pada akhirnya aku benar-benar mewujudkan cita-citaku menjadi seorang guru.
Sosok muda yang naif, idealis, dan berambisi mengantarkanku meraih gelar sarjana. Tapi ternyata, menjadi seorang sarjana pendidikan pun tidak membuatku merasa puas dan menang. Hingga akhirnya aku diberi kesempatan mengajar siswa, berdiri didepan kelas, membawa bahan ajar, menyampaikannya dengan semangat dan segala energi positif, hingga kemudian perlahan mulai belajar mengetahui realistis dunia, aku baru sadar, bahwa menjadi guru bukan lagi mauku, bukan lagi cita-citaku, bahkan aku trauma, dan tidak suka. Bertahun-tahun aku sisikan waktuku untuk memupuk cita-cita itu, menyiraminya dengan doa, namun Tuhan memberiku cerita lain, disisi lain, aku bersyukur dan bangga, aku pernah menggapai cita-citaku, aku pernah berusaha dan aku bersyukur sudah pernah berjuang sejauh itu, meski aku belum menang, tapi aku bangga pernah berjuang.
Sekarang, apa cita-citaku ? Apa aku masih punya ?
Pengalaman kerja yang minim, menjadikan aku bukan seorang yang professional dibidang tertentu. Jujur insecure, tapi buat apa? toh sekarang aku memang bukan lagi ingin mengejar karir dalam dunia korporasi. Meski begitu, masih resah hatiku, masih belum merasa menang. Tiba-tiba aku ingat bahwa hidupku saat ini adalah doa ku yang Allah wujudkan. Dulu, waktu kuliah aku suka sekali melihat konten-konten parenting, bahkan aku suka baca-baca artikel parenting. Aku ingin sekali segera menikah dan menjadi ibu rumah tangga mengasuh anakku, mengajaknya bermain, mengajarinya banyak hal, karena aku tau bahwa ibu adalah madrasatul ula, pendidikan pertama bagi anak-anak. Aku mengikuti para artis yang sedang hamil dan akhirnya punya bayi, aku lihat bagaimana mereka mengasuh anak. Bahkan aku sangat terkagum dengan Retno Hening dan anaknya Kirana, bahkan nama Inara sebenarnya terinspirasi dari nama Kirana.
Mengingat hal tersebut, aku merasa malu, kenapa hari ini aku masih belum merasa menang. Kenapa aku masih mengeluh, dan menuntut lain hal. Hari ini adalah hari yang aku doakan kemarin. Tapi aku sering menyiakan hariku dengan memarahi anakku, bahkan menyubitnya karena aku lelah dan kesal. Kemana ambisiku yang dulu, yang ketika itu aku memupuk hatiku untuk menjadi ibu yang baik untuk anak-anakku.
Dari kedua doaku yang terkabul, ternyata selalu ada konsekuensi yang harus aku tanggung. Hidup didunia tidak pernah membuatku merasa puas dan menang. Setiap pilihan dan cita-cita memiliki kenyataan yang pahit adanya. Mungkin gak ya, Tuhan memang sengaja agar aku tidak pernah berhenti meminta. Mungkin, kalau semua manusia merasa hebat dan kuat, tidak pernah ada orang-orang yang memanjatkan doa. Disisi lain, aku juga sudah durhaka, bukan tidak bersyukur, mungkin sekali waktu aku lupa.
Aku memang jarang puas dengan diriku sendiri. Sedari kecil, aku selalu merasa diriku tidak cukup. Dan aku selalu memaksa diri untuk mencapai suatu standar yang melebihi batasku. Aku sering merasa kurang cantik, merasa kurang kaya, merasa kurang beruntung, merasa kurang pintar, merasa kurang hebat, dan segala yang kurang lainnya Aku memang tumbuh menjadi perempuan yang penuh kehawatiran dan tidak percaya diri. Pencapaian apapun dalam hidupku, bagiku selalu kurang. Mungkin itu yang membuatku haus akan rasa menang. Sampai saat ini, masih belum tau bagaimana caranya meredam innerchild yang itu. Kurangnya apresiasi dan selalu dibandingkan dengan orang lain sedari kecil, membuatku kurang mengenal diriku sendiri, dan selalu menjadikan orang lain sebagai standar. Padahal, aku dan diriku adalah lebih dari cukup.
Aku memang ibu rumah tangga, tapi ternyata aku rajin dan pintar. Sebelum menikah aku tidak bisa masak, setelah menikah aku bisa masak, aku bisa belajar cepat, bahkan aku bisa masak makanan kesukaan anakku. Aku sekarang memang ibu rumah tangga, dan aku pintar mengatur keuangan, aku juga rajin bekerja, bisa mengerjakan banyak pekerjaan rumah sambil mengasuh anak. Aku memang ibu rumah tangga, tapi aku masih bisa bikin konten, bahkan kemarin aku sempat freelance membuat konten marketing untuk usaha Spa milik teman suamiku. Aku memang ibu rumah tangga, tapi aku masih punya banyak cita-cita, dan aku yakin masa depanku cerah, meski hanya ibu rumah tangga dirumah.
Pada akhirnya, yang aku inginkan kembali bukan lagi cita-cita dan rasa menang, tapi perasaan damai pada diri sendiri. Aku yakin, sekecil apapun hal baik yang aku kerjakan hari ini akan ada balasannya, biar Allah yang membalasnya. Aku selalu berdoa, apapun yang aku kerjakan hari ini semoga Allah berkahi dan dibalas dengan kebaikan apapun bentuknya. Pada akhirnya sebenarnya aku paham, bahwa didunia ini yang kita cari bukan hanya materi, tapi juga kebaikan-kebaikan Ilahi.
Dear Irma yang kecil, dulu, dan sekarang. Berdamailah sayang, terimakasih sudah banyak berjuang, sekolah dengan baik, lulus kuliah dengan nilai yang baik, bisa kerja dan menabung, menjadi istri dan ibu yang selalu ada untuk keluarga, berdamailah... Waktu terasa sangat singkat bukan ? meski begitu, kita selalu telat menyadari kebaikan-kebaikan Tuhan dalam kehidupan.
Dear Irma,,, terimakasih sudah banyak belajar, membaca banyak informasi, mulai dari informasi ibu hamil, soal reproduksi, kesehatan anak, keuangan, inflasi, saham, hingga parenting. Terimakasih sudah rajin bekerja, mengurus semua urusan rumah tangga, terimakasih sudah jadi istri dan ibu yang bertanggung jawab, mengatur keuangan dengan baik, memastikan kebutuhan anak dan suami, tidak mendahulukan ego. Terimakasih, sudah belajar menjadi sabar, kita tau, perjalanan ini pada setiap masanya tidak pernah mudah. Tapi kamu selalu bisa mencapai akhir yang baik, percayalah Tuhan selalu membalas kebaikan yang kamu kerjakan.
Sekali lagi,
Dear Irma...
Kita tau hidup tidak selalu manis, tidak pula selalu pahit...
Tapi pada akhirnya, Tuhan selalu mengabulkan doa dan cita-cita kita...
Komentar
Posting Komentar