(essay ini saya tulis dalam memenuhi tugas mata kuliah Politik Islam)
Syura, Ahlul Halli wal Aqdi, dan Bay’ah wal Mubayaah
Syura, Ahlul Halli wal Aqdi, dan Bay’ah wal Mubayaah
Syura
Kata syura memiliki
pengertian yang sangat beragam. Sesungguhnya istilah syura berasal dari
kata sy-wa-ra, syawir yang berarti berkonsultasi, menasehati,
memberi isyarat, petunjuk dan nasehat. Pendapat yang lain mengatakan pula bahwa
syura memiiki kata kerja syawara-yusyawiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau
mengajukan untuk mengambil sesuatu. Menurut Imam Syahid Hasan al-Banna Syura
adalah suatu proses dalam mencari sebuah keputusan atau kesepakatan yang
berdasarkan pada suara terbanyak dan berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan
hendaklah setiap urusan itu diserahkan kepada para ahlinya demi mewujudkan
suatu hasil yang maksimal dalam rangka menjaga stabilitas antara pemimpin
dengan rakyat.[1]
Secara istilah penggunaan kata syura mengandung arti menyarikan suatu
pendapat berkenaan dengan suatu permasalahan. Seiring dengan hal tersebut, maka
syura dapat diartikan tukar menukar fikiran untuk mengetahui dan menetapkan
pendapat yang dipandang benar. Syura dapat juga dipahami sebagai suatu
forum tukar menukar pikiran, gagasan ataupun ide, termasuk saran-saran yang
diajukan dalam memecahkan suatu masalah sebelum tiba pada suatu pengambilan
keputusan.[2]
Rasulullah saw menandasakan bahwa
makna penting musyawarah adalah menggali petunjuk yang berkaitan dengan
berbagai urusan yang dimusyawarahkan. Mengenai permasalahan pokok, apakah syura
sebaiknya diterapkan dalam semua permasalahan atau dijalankannya pada dasar
tertentu saja. Sebagian pakar tafsir membatasi masalah permusyawaratan hanya
untuk yang berkaitan dengan urusan dunia, bukan persoalan agama. Al-Qurthubi
berpendapat bahwa musyawarah mempunyai peran dalam agama maupun soal-soal duniawi,
lebih lanjut dia menambahkan bahwa pelaku musyawarah dalam masalah agama harus
menguasai ilmu agama. Demikain pula, urusan dunia dimana dibutuhkan suatu
nasehat, pemberi nasehat harus bijaksana dan cakap agar dapat memberi nasehat
yang masuk akal. Oleh karenanya ruang lingkup musyawarah dapat mencakup persoalan-persoalan
agama yang tidak ada petunjuknya dan persoalan-persoalan duniawi yang
petunjuknya bersifat global maupun tanpa petunjuk dan yang mengalami perubahan
dan perkembangan.[3]
Syura adalah keseimbangan antara
kemerdekaan individu dan sistem jamaah serta pertalian yang sempurna di antara
keduanya. Syura adalah neraca yang saling menyempurnakan dan saling
membahu antara pribadi dan umat. Syura adalah kesetiakawanan masyarakat
dan persamaan di antara umat manusia dalam kebebasan.[4]
Bagi umat Islam musyawarah itu masih
tidak boleh melanggar hak Tuhan dan Rasul-Nya. Apa yang sudah ditentukan oleh
Tuhan, mutlak harus berlaku dan tidak ada musyawarah. Misalnya, soal
homoseksual dan homobianisme bukan suara mayoritas yang menentukan, tapi Tuhan.
Itulah beda musyawarah dalam Islam dan demokrasi sekular. Kadang-kadang
perbedaan itu dipertajam oleh pertentangan politik.[5]
Salah satu perbedaan antara syura
dan demokrasi adalah pandangan terhadap medan tanggung jawab. Dalam demokrasi medan
tanggung jawab terhadap keputusan dilimpahkan kepada rakyat atau wakil-wakil
rakyat yang diangkat, sehingga medan tanggung jawab terhadap keputusan muncul
dari usaha manusia belaka, yang terlepas dari ikatan-ikatan iman dan
dasar-dasar aqidah. Sedangkan dalam syura medan tanggung jawab terhadap
keputusan menciptakan keselarasan dan keserasian antara orangnya dan medan tanggung
jawabnya, sehingga dengan bagitu menumbuhkan amanat dan kemajuan yang dalam
untuk melaksanakan tanggung jawab.[6]
Islam mengakui prinsip musyawarah
dan mengharuskan penguasa melaksanakannya, ia melarang sikap otoriter dan
diktator, menyerahkan kepada manusia untuk menentukan bagaimana cara melaksanakan
musyawarah, untuk memberikan keluwesan dan memperhatikan perubahan situasi dan
kondisi, oleh karena itu musyawarah bisa dilakukan dengan berbagai macam bentuk
dan berbagai cara sesuai dengan masa, bangsa dan tradisi, yang penting pelaksanaan
pemerintahan dimulai dari pemilihan presiden kemudian membuat garis-garis besar
haluan negara, dengan menyertakan rakyat dan seluruh umat atau yang mewakili
mereka, yaitu yang dinamakan ahlul halli wal aqdi, dimana kekuasaan pemerintah
dibatasi oleh dua hal, yaitu syari'at dan musyawarah, yakni dengan hukum Allah
dan pendapat umat.[7]
Dari penjabaran yang tersebut
diatas, kesimpulannya, syura adalah tindakan berdiskusi, menyatukan
fikiran, merundingkan suatu permasalahan, berkonsultasi, bermusyawarah, dalam
kepentingan yang benar, baik kepentingan umum, keagamaan, atau kenegaraan,
dengan tujuan untuk mencapai mufakat, atau kesepakatan bersama.
Ahlul
Halli wal Aqdi
Secara bahasa, Ahlul
Hilli wal Aqdi berarti “orang yang berwenang melepas dan mengikat. Disebut
“mengikat” karena keputusannya mengikat orang-orang yang mengangkat ahlul
halli: dan disebut “melepaskan” karena mereka yang berada disana dapat
menentukan untuk melepaskan dan tidak memilih orang-orang tertentu yang telah
disepakati.[8]
Istilah Ahlul Hilli wal Aqdi mulai timbul dalam kitab-kitab
para ahli tafsir dan fikih setelah masa Rasulullah saw. Mereka berada di antara
orang-orang yang dinamakan dengan Ash-Shahabah. Abu Bakar –hingga di
bidang peradilan- selalu menyelesaikan perkara dengan bermusyawarah. Bila dia
dihadapkan dengan suatu permasalahan dan dia tidak menemukan penyelesaiannya di
dalam Alquran dan sunah, dia langsung mengumpulkan para sahabat, alu dia bermusyawarah
dengan mereka. Jika mereka semua sepakat atas satu keputusan, dia pun
memutuskan permasalahan tersebut dengan keputusan itu. Begitu pula pada masa
Umar saat dia menjadi khalifah, dia juga melakukan apa yang Abu Bakar lakukan.[9]
Kaum muslimin saat itu tidak
memerlukan terlaksananya pemilihan Ahlul Hili wal Aqdi itu lewat pemilu
dengan melihat suara terbanyak dari kaum muslimin atau dengan cara penobatan
langsung oleh Rasul atau khalifah. Namun, saat itu dengan cara pemilihan
spontan, yang secara alami disaring oleh realita hidup dan sikap masyarakat,
yang melihat dari sisi pemahamannya terhadap agama, kecerdasannya, dan
keutamaannya. Realitanya, masalah “kelompok Ahlul Hilli wal Aqdi dan
pemilu” adalah seperti masalah “kekhalifahan”-sebagaimana yang dikatakan oleh
Ibnu Khaldun yakni termasuk kemaslahatan umum yang semua pengaturannya
diserahkan kepada rakyat. Hal tersebut tidak termasuk masalah-masalah yang
berkaitan dengan ibadah atau keyakinan, tetapi termasuk dari adat. Kemudian
tidak diragukan lagi bahwa kelompok Ahlul Hilli wal Aqdi dalam turats
fikih kita sejak awal Islam, yang mereka adalah “Dewan Perwakilan Rakyat” atau Ahlul
Ikhtiyar, yang para khilafah selalu merujuk kepada mereka dalam
perkara-perkara rakyat juga berkomitmen dengan pendapat mereka, dan mempunyai
hak untuk memilih atau menobatkan khilafah juga memberhentikanya, sehingga
kekuasaan besar yang dimiliki kelompok Ahlul Hilli wal Aqdi dan jelas menunjukkan bahwa kelompok ini merupakan lembaga legislatif.[10]
Ahlul Hilli wal Aqdi adalah
bagian negara yang didalam daulah atau negara Islam identik dengan tugas
DPR/MPR (Dewan Pemusyawaratan Rakyat / Majelis Permusyawaratan Rakyat), yang
mempunyai tugas membuat undang-undang. Ahlul Halli wal Aqdi harus
mencakup dua aspek penting, yaitu: mereka harus terdiri dari beberapa ilmuan,
dan alim ulama, mereka semua harus mendapat kepercayaan dari rakyat, artinya
kepemimpinan harus berdasarkan demokrasi.[11]
Di dalam Islam, seorang pemimpin
tidak hanya bertanggung jawab kepada Tuhan, tetapi bertanggung jawab pula kepada
Ahl al-Hall wa al-`Aqd dan kepada seluruh rakyat. Salah satu contoh tentang
pertanggung jawaban seorang khalifah kepada rakytanya ialah ‘Umar bin Khaththâb
r.a yang dengan ikhlas menerima tuntutan perhitungan dari seorang nenek, dan
menerima protes dari seorang anak laki-laki muslim, karena Umar melihat auratnya
ketika ia memasuki rumah anak itu melalui pintu belakang, bukan melalui pintu
depan.[12]
Didalam Alquran dan sunah tidak ada
sebutan Ahlul Hilli wal Aqdi, namun dasar sebutan ini di dalam Alquran
ada dalam mereka yang disebut dengan “Ulil Amri”. Ibnu Taimiyah berkata : “Ulil
amri adalah orang yang memegang perkara dan pemimpin. Mereka adalah orang yang memerintahkan
manusia, termasuk di dalamnya orang yang memiliki kekuasaan dan kemampuan, juga
orang yang memiliki ilmu pengetahuan teologi. Oleh sebab itu, ulil amri ada dua
macam, yaitu ulama dan umara. Apabila mereka bagus, pasti manusia akan bagus.
Namun apabila mereka rusak, pasti manusia akan rusak pula.[13]
Komponen yang terdapat dalam kata
ulil amri, sama dengan tiga syarat sah menjadi anggota Ahlul Halil wal Aqdi,
yaitu sebagai berikut :
1.
Adil dengan
segala syarat-syaratnya.
2.
Kemampuan
intelektual yang menjadikannya mampu melihat siapa yang berhak menjadi khalifah
dengan adanya kriteria-kriteria legal, sehingga dapat dijadikan bahan
pertimbangan.
3.
Wawasan dan
sikap bijaksana membuat Ahlul Hilli wal Aqdi mampu memilih siapa yang
tepat menjadi khalifah dan yang paling efektif, serta ahli dalam mengelola
segala kepentingan.[14]
Dari penjabaran yang tersebut diatas, kesimpulannya, Ahlul Halil
wal Aqdi adalah perwakilan yang mewakili suara rakyat, atau dapat juga
disebut dengan dewan legislatif yang bertugas untuk mewakili kepentingan rakyat
dalam merundingkan undang-undang, menunjuk, calon-calon pemimpin, mengesahkan
atau juga menurunkannya. Kemudian, orang-orang yang berada didalam Ahlul
Hilli wal Aqdi dapat disebut dengan ulil amri.
Bay’ah wal Mubayaah
Pengertian
bai’at secara terminologi (istilah) banyak sekali pengertian mengenai bai’at,
diantaranya adalah : bai’at diambil dari kata ba’a yang berarti
membeli sesuatu dengan harga dan kesepakatan dua orang yang sedang melakukan
transaksi dagang dengan cara memukulkan tangan yang satu ke tangan yang lainnya
sebagai tanda setuju. Bai’at seperti ini telah berjalan menjadi tradisi Arab
klasik. Bai’at juga memberikan arti kesepakatan kewajiban menjual (ba’i) dan
janji setia. Jadi bai’at berarti pemberian janji orang yang membai’at untuk
patuh dan taat kepada pemimpin dalam keadaan susah dan lapang, yang disukai dan
yang tidak disukai, tidak menantangnya dan menyerahkan urusan kepadanya.[15]
Idealnya, pemimpin negara Islam yang
juga pemimpin masyarakat adalah seseorang yang terpilih diantara beberapa calon
setelah melalui proses pemilihan yang melibatkan konsultasi pendahuluan. Bila
nominasi itu ditentukan pada orang tertentu, maka permasalahanyya dikembalikan
kepada seluruh jajaran ummah yang berhak memberikan konfirmasi atau ratifikasi
terakhir. Proses yang kedua ini disebut bai’ah. Bai’ah adalah sumh setia yang
mempertalikan pemimpin dan masyarakat. Bai’ah identik dengan sebuah perjanjian,
dan sebagaimana layaknya semua raga perjanjian, bai’ah melibatkan dua kelompok:
disatu sisi, pihak pemimpin dan masyarakat; disisi lain, tidak hanya ulama yang
berperan penting dalam proses konsultasi sebelum bai’ah terwujud, tetapi seua
pihak yang berpengetahuan, berbakat, berpengaruh dan mempunyai kekuasaan juga
turut terlibat dalam proses itu.[16]
Bai’at (Mubaya’ah) juga merupakan
suatu pengakuan mematuhi dan menaati imam yang dilakukan oleh ahl al-hall wa
al-aqd dan dilaksanakan sesudah permusyawaratan. Dalam bai’at ada
kemungkinan tidak seluruh anggota ahl al-hall wa al-aqd membai’at imam,
keadaan demikian harus dihindari sedapat mungkin yaitu dengan cara
bermusyawarah untuk mencapai kesepakatan. Namun apabila dengan cara tersebut
tidak menghasilkan kesepakatan, maka imam dapat dibai’at oleh mayoritas ahlul
halli wal aqdi. Apabiala telah diabai’at oleh mayoritas maka golongan
minoritas harus tetp mentaati dan membantu imam, tidak boleh berusaha
menjatuhkan imam kecuali imam melakukan kekafiran yang nyata.[17]
Dari penjelasan yang tersebut
diatas, dapat disimpulkan bahwa bai’at adalah suatu sumpah, perjanjian, janji
setia kepada pemimpin dalam kepentingan yang benar tentunya, atau dapat juga
dikatakan sebagai pengukuhan, atau pelantikan yang sering kita dengar apabila
terdapat pemimpin baru, atau jajaran pengurus dalam suatu organisasi.
Referensi
Devina, Rachilda, “Konsep Syura Perspektif Hasan Al Banna”,
(Skripsi S1 Fakultas Ushluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2007)
Hasyimi, al-Muhammad Ali, Musyawarah Dalam Islam, T.tp : Islamhouse.com,
2009
Irawan,
Adang Septi, “Sejarah Bai’at.” Artikel diakses pada 28 September 2016 dari
http://chaeossofis.blogspot.co.id/2016/06/sejarah-baiat.html
Jindan, Khalid Ibrahim, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu
Taimiyah, Jakarta : PT Rineka Cipta, 1994.
Khaliq, Farid Abdul, Fikih Politik Islam, Jakarta : Amzah, 2005.
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung : Mizan, 1997.
Muamar, “Bai’at Dalam Alqur’an (Kajian Atas Pemaknaan LDII Terhadap
Ayat 18 Al-Fatih) ”, (Skripsi S1 Fakultas Ushluddin, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011),
Muhammad, Taufiq, Demokrasi atau Syura, Jakarta : Gema
Isnsani, 2013.
Rahmah, Nur, “Ahlul Hilli wal Aqdi dalam Muktamar NU ke-33 Jombang
Perspektif Siyasah Dustruriyah”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016)
Zahid, Moh., “Konsep Syura dalam Pandangan Fiqh Siyasah”, al
Ihkam IV, no. 1 (Juni 2007)
[1]
Rachilda Devina, “Konsep Syura Perspektif Hasan Al Banna”, (Skripsi S1 Fakultas
Ushluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2007), h.23
[2]
Moh. Zahid, “Konsep Syura dalam Pandangan Fiqh Siyasah”, al Ihkam IV,
no. 1 (Juni 2007), h. 20
[3]
Moh. Zahid, “Konsep Syura dalam Pandangan Fiqh Siyasah”, h. 23
[4]
Taufiq Muhammad, Demokrasi atau Syura, (Jakarta : Gema Isnsani, 2013),
h. 137
[5]
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung : Mizan, 1997),
h.96-97
[6]
Moh. Zahid, “Konsep Syura dalam Pandangan Fiqh Siyasah”, h. 27
[7]
Muhammad Ali al-Hasyimi, Musyawarah Dalam Islam, (T.tp : Islamhouse.com,
2009), h. 6
[8]
Nur Rahmah, “Ahlul Hilli wal Aqdi dalam Muktamar NU ke-33 Jombang Perspektif
Siyasah Dustruriyah”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016), h. 11
[9]
Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, (Jakarta : Amzah, 2005), h.78
[10]
Khaliq, Fikih Politik Islam, h. 79
[11]
Rahmah, “Ahlul Hilli wal Aqdi dalam Muktamar NU ke-33 Jombang Perspektif
Siyasah Dustruriyah”, h. 1
[12]
Moh. Zahid, “Konsep Syura dalam Pandangan Fiqh Siyasah”, h. 27
[13]
Khaliq, Fikih Politik Islam, h. 82-83
[14]
Rahmah, “Ahlul Hilli wal Aqdi dalam Muktamar NU ke-33 Jombang Perspektif
Siyasah Dustruriyah”, h. 3
[15]
Muamar, “Bai’at Dalam Alqur’an (Kajian Atas Pemaknaan LDII Terhadap Ayat 18
Al-Fatih ”, (Skripsi S1 Fakultas Ushluddin, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 43
[16]
Khalid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah,
(Jakarta : PT Rineka Cipta, 1994), h. 81
[17]
Adang Septi Irawan, “Sejarah Bai’at”, artikel diakses pada 28 September 2016
dari http://chaeossofis.blogspot.co.id/2016/06/sejarah-baiat.html
Komentar
Posting Komentar