Langsung ke konten utama

Syura, Ahlul Halli wal Aqdi, dan Bay’ah wal Mubayaah

(essay ini saya tulis dalam memenuhi tugas mata kuliah Politik Islam)

Syura, Ahlul Halli wal Aqdi, dan Bay’ah wal Mubayaah
( Irma Ayu Sawitri – 1113015000092 – irma.ayus13@mhs.uinjkt.ac.id )
Syura
            Kata syura memiliki pengertian yang sangat beragam. Sesungguhnya istilah syura berasal dari kata sy-wa-ra, syawir yang berarti berkonsultasi, menasehati, memberi isyarat, petunjuk dan nasehat. Pendapat yang lain mengatakan pula bahwa syura memiiki kata kerja syawara-yusyawiru  yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan untuk mengambil sesuatu. Menurut Imam Syahid Hasan al-Banna Syura adalah suatu proses dalam mencari sebuah keputusan atau kesepakatan yang berdasarkan pada suara terbanyak dan berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan hendaklah setiap urusan itu diserahkan kepada para ahlinya demi mewujudkan suatu hasil yang maksimal dalam rangka menjaga stabilitas antara pemimpin dengan rakyat.[1]
            Secara istilah penggunaan kata  syura mengandung arti menyarikan suatu pendapat berkenaan dengan suatu permasalahan. Seiring dengan hal tersebut, maka syura dapat diartikan tukar menukar fikiran untuk mengetahui dan menetapkan pendapat yang dipandang benar. Syura dapat juga dipahami sebagai suatu forum tukar menukar pikiran, gagasan ataupun ide, termasuk saran-saran yang diajukan dalam memecahkan suatu masalah sebelum tiba pada suatu pengambilan keputusan.[2]
            Rasulullah saw menandasakan bahwa makna penting musyawarah adalah menggali petunjuk yang berkaitan dengan berbagai urusan yang dimusyawarahkan. Mengenai permasalahan pokok, apakah syura sebaiknya diterapkan dalam semua permasalahan atau dijalankannya pada dasar tertentu saja. Sebagian pakar tafsir membatasi masalah permusyawaratan hanya untuk yang berkaitan dengan urusan dunia, bukan persoalan agama. Al-Qurthubi berpendapat bahwa musyawarah mempunyai peran dalam agama maupun soal-soal duniawi, lebih lanjut dia menambahkan bahwa pelaku musyawarah dalam masalah agama harus menguasai ilmu agama. Demikain pula, urusan dunia dimana dibutuhkan suatu nasehat, pemberi nasehat harus bijaksana dan cakap agar dapat memberi nasehat yang masuk akal. Oleh karenanya ruang lingkup musyawarah dapat mencakup persoalan-persoalan agama yang tidak ada petunjuknya dan persoalan-persoalan duniawi yang petunjuknya bersifat global maupun tanpa petunjuk dan yang mengalami perubahan dan perkembangan.[3]


            Syura adalah keseimbangan antara kemerdekaan individu dan sistem jamaah serta pertalian yang sempurna di antara keduanya. Syura adalah neraca yang saling menyempurnakan dan saling membahu antara pribadi dan umat. Syura adalah kesetiakawanan masyarakat dan persamaan di antara umat manusia dalam kebebasan.[4]
            Bagi umat Islam musyawarah itu masih tidak boleh melanggar hak Tuhan dan Rasul-Nya. Apa yang sudah ditentukan oleh Tuhan, mutlak harus berlaku dan tidak ada musyawarah. Misalnya, soal homoseksual dan homobianisme bukan suara mayoritas yang menentukan, tapi Tuhan. Itulah beda musyawarah dalam Islam dan demokrasi sekular. Kadang-kadang perbedaan itu dipertajam oleh pertentangan politik.[5]
            Salah satu perbedaan antara syura dan demokrasi adalah pandangan terhadap medan tanggung jawab. Dalam demokrasi medan tanggung jawab terhadap keputusan dilimpahkan kepada rakyat atau wakil-wakil rakyat yang diangkat, sehingga medan tanggung jawab terhadap keputusan muncul dari usaha manusia belaka, yang terlepas dari ikatan-ikatan iman dan dasar-dasar aqidah. Sedangkan dalam syura medan tanggung jawab terhadap keputusan menciptakan keselarasan dan keserasian antara orangnya dan medan tanggung jawabnya, sehingga dengan bagitu menumbuhkan amanat dan kemajuan yang dalam untuk melaksanakan tanggung jawab.[6]
            Islam mengakui prinsip musyawarah dan mengharuskan penguasa melaksanakannya, ia melarang sikap otoriter dan diktator, menyerahkan kepada manusia untuk menentukan bagaimana cara melaksanakan musyawarah, untuk memberikan keluwesan dan memperhatikan perubahan situasi dan kondisi, oleh karena itu musyawarah bisa dilakukan dengan berbagai macam bentuk dan berbagai cara sesuai dengan masa, bangsa dan tradisi, yang penting pelaksanaan pemerintahan dimulai dari pemilihan presiden kemudian membuat garis-garis besar haluan negara, dengan menyertakan rakyat dan seluruh umat atau yang mewakili mereka, yaitu yang dinamakan ahlul halli wal aqdi, dimana kekuasaan pemerintah dibatasi oleh dua hal, yaitu syari'at dan musyawarah, yakni dengan hukum Allah dan pendapat umat.[7]
            Dari penjabaran yang tersebut diatas, kesimpulannya, syura adalah tindakan berdiskusi, menyatukan fikiran, merundingkan suatu permasalahan, berkonsultasi, bermusyawarah, dalam kepentingan yang benar, baik kepentingan umum, keagamaan, atau kenegaraan, dengan tujuan untuk mencapai mufakat, atau kesepakatan bersama.
Ahlul Halli wal Aqdi
            Secara bahasa, Ahlul Hilli wal Aqdi berarti “orang yang berwenang melepas dan mengikat. Disebut “mengikat” karena keputusannya mengikat orang-orang yang mengangkat ahlul halli: dan disebut “melepaskan” karena mereka yang berada disana dapat menentukan untuk melepaskan dan tidak memilih orang-orang tertentu yang telah disepakati.[8]
Istilah Ahlul Hilli wal Aqdi mulai timbul dalam kitab-kitab para ahli tafsir dan fikih setelah masa Rasulullah saw. Mereka berada di antara orang-orang yang dinamakan dengan Ash-Shahabah. Abu Bakar –hingga di bidang peradilan- selalu menyelesaikan perkara dengan bermusyawarah. Bila dia dihadapkan dengan suatu permasalahan dan dia tidak menemukan penyelesaiannya di dalam Alquran dan sunah, dia langsung mengumpulkan para sahabat, alu dia bermusyawarah dengan mereka. Jika mereka semua sepakat atas satu keputusan, dia pun memutuskan permasalahan tersebut dengan keputusan itu. Begitu pula pada masa Umar saat dia menjadi khalifah, dia juga melakukan apa yang Abu Bakar lakukan.[9]
            Kaum muslimin saat itu tidak memerlukan terlaksananya pemilihan Ahlul Hili wal Aqdi itu lewat pemilu dengan melihat suara terbanyak dari kaum muslimin atau dengan cara penobatan langsung oleh Rasul atau khalifah. Namun, saat itu dengan cara pemilihan spontan, yang secara alami disaring oleh realita hidup dan sikap masyarakat, yang melihat dari sisi pemahamannya terhadap agama, kecerdasannya, dan keutamaannya. Realitanya, masalah “kelompok Ahlul Hilli wal Aqdi dan pemilu” adalah seperti masalah “kekhalifahan”-sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun yakni termasuk kemaslahatan umum yang semua pengaturannya diserahkan kepada rakyat. Hal tersebut tidak termasuk masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah atau keyakinan, tetapi termasuk dari adat. Kemudian tidak diragukan lagi bahwa kelompok Ahlul Hilli wal Aqdi dalam turats fikih kita sejak awal Islam, yang mereka adalah “Dewan Perwakilan Rakyat” atau Ahlul Ikhtiyar, yang para khilafah selalu merujuk kepada mereka dalam perkara-perkara rakyat juga berkomitmen dengan pendapat mereka, dan mempunyai hak untuk memilih atau menobatkan khilafah juga memberhentikanya, sehingga kekuasaan besar yang dimiliki kelompok Ahlul Hilli wal Aqdi  dan jelas menunjukkan bahwa kelompok ini  merupakan lembaga legislatif.[10]
            Ahlul Hilli wal Aqdi adalah bagian negara yang didalam daulah atau negara Islam identik dengan tugas DPR/MPR (Dewan Pemusyawaratan Rakyat / Majelis Permusyawaratan Rakyat), yang mempunyai tugas membuat undang-undang. Ahlul Halli wal Aqdi harus mencakup dua aspek penting, yaitu: mereka harus terdiri dari beberapa ilmuan, dan alim ulama, mereka semua harus mendapat kepercayaan dari rakyat, artinya kepemimpinan harus berdasarkan demokrasi.[11]
            Di dalam Islam, seorang pemimpin tidak hanya bertanggung jawab kepada Tuhan, tetapi bertanggung jawab pula kepada Ahl al-Hall wa al-`Aqd dan kepada seluruh rakyat. Salah satu contoh tentang pertanggung jawaban seorang khalifah kepada rakytanya ialah ‘Umar bin Khaththâb r.a yang dengan ikhlas menerima tuntutan perhitungan dari seorang nenek, dan menerima protes dari seorang anak laki-laki muslim, karena Umar melihat auratnya ketika ia memasuki rumah anak itu melalui pintu belakang, bukan melalui pintu depan.[12]
            Didalam Alquran dan sunah tidak ada sebutan Ahlul Hilli wal Aqdi, namun dasar sebutan ini di dalam Alquran ada dalam mereka yang disebut dengan “Ulil Amri”. Ibnu Taimiyah berkata : “Ulil amri adalah orang yang memegang perkara dan pemimpin. Mereka adalah orang yang memerintahkan manusia, termasuk di dalamnya orang yang memiliki kekuasaan dan kemampuan, juga orang yang memiliki ilmu pengetahuan teologi. Oleh sebab itu, ulil amri ada dua macam, yaitu ulama dan umara. Apabila mereka bagus, pasti manusia akan bagus. Namun apabila mereka rusak, pasti manusia akan rusak pula.[13]
            Komponen yang terdapat dalam kata ulil amri, sama dengan tiga syarat sah menjadi anggota Ahlul Halil wal Aqdi, yaitu sebagai berikut :
1.      Adil dengan segala syarat-syaratnya.
2.      Kemampuan intelektual yang menjadikannya mampu melihat siapa yang berhak menjadi khalifah dengan adanya kriteria-kriteria legal, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan.
3.      Wawasan dan sikap bijaksana membuat Ahlul Hilli wal Aqdi mampu memilih siapa yang tepat menjadi khalifah dan yang paling efektif, serta ahli dalam mengelola segala kepentingan.[14]
Dari penjabaran yang tersebut diatas, kesimpulannya, Ahlul Halil wal Aqdi adalah perwakilan yang mewakili suara rakyat, atau dapat juga disebut dengan dewan legislatif yang bertugas untuk mewakili kepentingan rakyat dalam merundingkan undang-undang, menunjuk, calon-calon pemimpin, mengesahkan atau juga menurunkannya. Kemudian, orang-orang yang berada didalam Ahlul Hilli wal Aqdi dapat disebut dengan ulil amri.
 Bay’ah wal Mubayaah
            Pengertian bai’at secara terminologi (istilah) banyak sekali pengertian mengenai bai’at, diantaranya adalah : bai’at diambil dari kata ba’a yang berarti membeli sesuatu dengan harga dan kesepakatan dua orang yang sedang melakukan transaksi dagang dengan cara memukulkan tangan yang satu ke tangan yang lainnya sebagai tanda setuju. Bai’at seperti ini telah berjalan menjadi tradisi Arab klasik. Bai’at juga memberikan arti kesepakatan kewajiban menjual (ba’i) dan janji setia. Jadi bai’at berarti pemberian janji orang yang membai’at untuk patuh dan taat kepada pemimpin dalam keadaan susah dan lapang, yang disukai dan yang tidak disukai, tidak menantangnya dan menyerahkan urusan kepadanya.[15]
            Idealnya, pemimpin negara Islam yang juga pemimpin masyarakat adalah seseorang yang terpilih diantara beberapa calon setelah melalui proses pemilihan yang melibatkan konsultasi pendahuluan. Bila nominasi itu ditentukan pada orang tertentu, maka permasalahanyya dikembalikan kepada seluruh jajaran ummah yang berhak memberikan konfirmasi atau ratifikasi terakhir. Proses yang kedua ini disebut bai’ah. Bai’ah adalah sumh setia yang mempertalikan pemimpin dan masyarakat. Bai’ah identik dengan sebuah perjanjian, dan sebagaimana layaknya semua raga perjanjian, bai’ah melibatkan dua kelompok: disatu sisi, pihak pemimpin dan masyarakat; disisi lain, tidak hanya ulama yang berperan penting dalam proses konsultasi sebelum bai’ah terwujud, tetapi seua pihak yang berpengetahuan, berbakat, berpengaruh dan mempunyai kekuasaan juga turut terlibat dalam proses itu.[16]
            Bai’at (Mubaya’ah) juga merupakan suatu pengakuan mematuhi dan menaati imam yang dilakukan oleh ahl al-hall wa al-aqd dan dilaksanakan sesudah permusyawaratan. Dalam bai’at ada kemungkinan tidak seluruh anggota ahl al-hall wa al-aqd membai’at imam, keadaan demikian harus dihindari sedapat mungkin yaitu dengan cara bermusyawarah untuk mencapai kesepakatan. Namun apabila dengan cara tersebut tidak menghasilkan kesepakatan, maka imam dapat dibai’at oleh mayoritas ahlul halli wal aqdi. Apabiala telah diabai’at oleh mayoritas maka golongan minoritas harus tetp mentaati dan membantu imam, tidak boleh berusaha menjatuhkan imam kecuali imam melakukan kekafiran yang nyata.[17]
            Dari penjelasan yang tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa bai’at adalah suatu sumpah, perjanjian, janji setia kepada pemimpin dalam kepentingan yang benar tentunya, atau dapat juga dikatakan sebagai pengukuhan, atau pelantikan yang sering kita dengar apabila terdapat pemimpin baru, atau jajaran pengurus dalam suatu organisasi.




Referensi
Devina, Rachilda, “Konsep Syura Perspektif Hasan Al Banna”, (Skripsi S1 Fakultas Ushluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007)
Hasyimi, al-Muhammad Ali, Musyawarah Dalam Islam, T.tp : Islamhouse.com, 2009
Irawan, Adang Septi, “Sejarah Bai’at.” Artikel diakses pada 28 September 2016 dari http://chaeossofis.blogspot.co.id/2016/06/sejarah-baiat.html
Jindan, Khalid Ibrahim, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah, Jakarta : PT Rineka Cipta, 1994.
Khaliq, Farid Abdul, Fikih Politik Islam, Jakarta : Amzah, 2005.
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung : Mizan, 1997.
Muamar, “Bai’at Dalam Alqur’an (Kajian Atas Pemaknaan LDII Terhadap Ayat 18 Al-Fatih) ”, (Skripsi S1 Fakultas Ushluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011),
Muhammad, Taufiq, Demokrasi atau Syura, Jakarta : Gema Isnsani, 2013.
Rahmah, Nur, “Ahlul Hilli wal Aqdi dalam Muktamar NU ke-33 Jombang Perspektif Siyasah Dustruriyah”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016)
Zahid, Moh., “Konsep Syura dalam Pandangan Fiqh Siyasah”, al Ihkam IV, no. 1 (Juni 2007)






[1] Rachilda Devina, “Konsep Syura Perspektif Hasan Al Banna”, (Skripsi S1 Fakultas Ushluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), h.23
[2] Moh. Zahid, “Konsep Syura dalam Pandangan Fiqh Siyasah”, al Ihkam IV, no. 1 (Juni 2007), h. 20
[3] Moh. Zahid, “Konsep Syura dalam Pandangan Fiqh Siyasah”, h. 23
[4] Taufiq Muhammad, Demokrasi atau Syura, (Jakarta : Gema Isnsani, 2013), h. 137
[5] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung : Mizan, 1997), h.96-97
[6] Moh. Zahid, “Konsep Syura dalam Pandangan Fiqh Siyasah”, h. 27
[7] Muhammad Ali al-Hasyimi, Musyawarah Dalam Islam, (T.tp : Islamhouse.com, 2009), h. 6
[8] Nur Rahmah, “Ahlul Hilli wal Aqdi dalam Muktamar NU ke-33 Jombang Perspektif Siyasah Dustruriyah”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016), h. 11
[9] Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, (Jakarta : Amzah, 2005), h.78
[10] Khaliq, Fikih Politik Islam, h. 79
[11] Rahmah, “Ahlul Hilli wal Aqdi dalam Muktamar NU ke-33 Jombang Perspektif Siyasah Dustruriyah”, h. 1
[12] Moh. Zahid, “Konsep Syura dalam Pandangan Fiqh Siyasah”, h. 27
[13] Khaliq, Fikih Politik Islam, h. 82-83
[14] Rahmah, “Ahlul Hilli wal Aqdi dalam Muktamar NU ke-33 Jombang Perspektif Siyasah Dustruriyah”, h. 3
[15] Muamar, “Bai’at Dalam Alqur’an (Kajian Atas Pemaknaan LDII Terhadap Ayat 18 Al-Fatih ”, (Skripsi S1 Fakultas Ushluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 43
[16] Khalid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1994), h. 81
[17] Adang Septi Irawan, “Sejarah Bai’at”, artikel diakses pada 28 September 2016 dari http://chaeossofis.blogspot.co.id/2016/06/sejarah-baiat.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cyclo Progynova #part1

Ehem, kali ini saya akan ceritakan sedikit pengalaman saya mengonsumsi Cyclo Progynova. Saya memiliki masalah dengan hormon. Secara fisik, badan saya tidak ideal memang, tinggi saya sekitar 160cm dan berat badan 42kg. Saya sangat tau bahwa berat badan saya tidak ideal, bisa dibilang sangat kurang. Tapi apalah dikata, saya memang sulit untuk gemuk. Hehe. Saya memiliki masalah dengan siklus haid. Sejak saya sekolah, haid saya sudah tidak teratur. Kadang lancar, kadang engga. Bulan ini haid lancar, bulan depan saya bisa enggak dapat haid. Atau saya pernah mengalami darah Istihadah. Selama sebulan full saya mendapati pendarahan serupa haid, dan hal tersebut sangat meresahkan. Saya galau sekali memikirkan hukum suci saya. Memang sih, kalau lebih dari 15 hari masih ada darah. Saya dikatakan wajib beribadah dan hukumnya sama seperti saya ketika suci. Tapi bagian paling merepotkan adalah ketika saya harus memastikan bahwa saya 'bersih' dan saya harus bersih-bersih sebel

Cyclo Progynova #part2

Yak... Ini lanjutan review yang pernah aku buat tahun lalu, yaitu mengenai Cyclo Progynova. Aku memang sengaja tidak ingin menulis kelanjutannya, tapi karena ada beberapa teman yang menghubungiku untuk menanyakan lanjutan ceritanya, maka baiklah, aku akan melanjutkannya. Well, sebenarnya aku memang malas melanjutkan untuk menulis cerita tentang ini, karena aku mengalami sedikit kekecewaan, aku malah takut orang lain yang membacanya malah ikutan kecewa, wkwk. Padahal kan pengalaman kita bisa berbeda. Jadi sebenarnya aku tidak mengonsumsinya sampai 3 blister. Aku berhenti ketika blister kedua habis, dan ternyata hal tersebut berdampak kurang baik. Aku mengalami flek-flek tidak menentu kadang ada, kadang tidak ada, dengan kurun waktu yang tidak bisa ditebak, seminggu ada, seminggu hilang, dan hal tersebut berlangsung selama sekitar satu semester alias 4 bulan, kira-kira selama aku semester 7. Jadi, aku selesai mengonsumsi blister kedua itu tepat saat setelah liburan lebaran