"aku kangen sama kamu, pengen dipeluk""aa sini dikamar aku pengen ditemenin, jangan jauh-jauh""aku sedih banget, perasaan aku sedih banget""sesak banget dada aku, aku rasanya sedih banget, aku maunya nangis terus-terusan"
Begitu kata-kata yang keluar dari mulutku setiap hari selama 2 minggu berturut-turut setelah aku melahirkan. Nyeri yang bersisa di area vaginaku setiap hari rasanya membuatku semakin sedih. Belum lagi terlalu banyak aturan-aturan mitos ala jaman dulu yang membuat aku tambah tertekan.
Gak boleh menekuk kaki. Gak boleh jongkok. Harus begini, harus begitu, membuatku benci pada diriku sendiri. Aku benci karena aku merasa kenapa aku harus melakukan semua itu, yang tidak masuk pada logikaku. Aku menjadi cemburu pada bayiku, aku merasa dunia tidak adil, dunia lebih peduli pada bayiku dari pada aku yang sakit setelah melahirkannya.
Aku menjadi benci pada banyak hal, bahkan hari-hari pertamaku sebagai ibu. Aku benci saat aku harus bangun mengganti popok kain anakku, karena orang tuaku minta aku untuk tidak menggunakan diaper sekali pakai dulu. Aku benci saat harus menyusui anakku, karena rasanya sakit sekali, puting susu serasa di silet. Aku bahkan tidak mau menggendong anakku, dan aku merasa lebih nyaman kalau anakku digendong orang lain.
Perasaanku setiap hari terasa semakin buruk, sesimpel beli popok aja membuatku menangis tersedu-sedu, "aku takut gabisa beliin Inara popok", "kamu kapan ya dapet kerja?, aku takut uang kita habis", begitu terus-terusan terucap dari mulutku, serasa dunia kiamat hari itu. Padahal kami masih punya tabungan kira-kira sekian puluh juta dan itu masih cukup untuk bertahan, apalagi kita tinggal dirumah orang tua.
Entah apa yang ada dipikiran suamiku, dia sesekali kesal namun akhirnya dengan lembut memelukku, dan mengusap punggungku, gak banyak yang bisa dia katakan, aku tau dia pun bingung, tapi aku merasa dia tau kesedihanku, "aku kayanya kena baby blues syndrom" kataku, aku orang yang kritis, dan punya rasa ingin tau yang tinggi, aku juga selalu berpikir analitis, mencari data, kemudian menganalisanya. Dengan sadar aku mengaku bahwa aku mengalami baby blues syndrom.
Banyak sekali hal yang membebani pikiranku saat itu, terutama suamiku yang masih belum kerja, dan aku yang kesepian, aku rindu kehidupanku yang dulu, dan aku merasa kehilangan jiwa ragaku. Tubuhku hancur setelah melahirkan, vagina sakit, perut dengan diastasis recti, penuh dengan strecthmark dan kulit perut gosong, payudaraku bengkak, dll. Aku benar-benar merasa kehilangan semua yang aku miliki. Yang aku tau hanya rasa sakit, dan sedih.
Belum selesai dengan baby blues syndrom, untuk yang pertama kalinya aku merasakan yang namanya mastitis, iya payudaraku bengkak, keras, sakit, aku demam, pusing, dan menggigil. Semua membuat aku merasa bahwa hidup gak berpihak dengan ku, aku sangat ingin merasa di mengerti oleh seluruh dunia, sedikit saja perkataan orang lain tidak sesuai, aku langsung kesal, tersinggung, dan marah.
Beruntung, suamiku selalu ada untukku, orang tuaku juga selalu ada membantuku mengurus bayi, menenangkan bayi sebelum tidur, memandikan bayiku saat pagi, memasak sarapan pagi bergizi untukku, semua serasa sempurna tapi batinku terasa hampa, dan gelap. Baby Blues benar-benar membuatku merasa gelap, dan aku bersumpah aku gak mau lagi merasakannya. Aku gak mau waktuku terbuang untuk menangis, merasa sedih, dan marah.
Semua itu mendatangi aku yang sedang belajar menjadi ibu baru, yang aku pikir bahwa kelahiran anakku akan membawa kebahagiaan yang meriah ternyata ekspektasiku salah, aku justru kehilangan diri, aku lupa siapa aku, bahkan aku tidak mengenali diriku sendiri. Aku berangsur membaik setelah 2 minggu, terutama setelah teman-temanku datang menjengukku, aku sangat senang mereka datang. Aku gak peduli kado mereka, bagiku itu nomor sekian, banyak sekali hadiah yang mereka bawa untukku, tapi aku lebih bahagia akan kedatangan mereka, aku lebih berterimakasih atas kedatangan mereka, mengobrol dan bercanda dengan mereka membawaku kembali mengenali diriku.
Aku, si ekstrovert yang mendadak baby blues, merindukan kehidupan dan jati diriku yang sempat hilang entah kemana, dan kedatangan teman-temanku mendatangkan lagi cahaya dalam batinku, aku mendadak lupa kesedihanku, aku mendadak lupa rasa sakit yang ada ditubuhku, aku mulai bernyanyi dan menimang bayiku, aku mulai menciumnya dan mendadak ketakutanku tidak bisa beli popok hilang.
Ketahuilah, menjadi ibu tidak pernah mudah, dan tidak ada habisnya. Aku tau melahirkan sakit, aku juga masih terbayang rasanya, tapi satu hal yang benar-benar tidak ingin aku rasakan lagi adalah baby blues syndrom. Aku belum pernah merasa segelap itu, sesedih itu, dan aku tidak ingin waktuku dengan bayiku terbuang karena harus mengalami baby blues.
Aku tidak membenarkan ibu-ibu yang tega membunuh anaknya karena depresi, tapi aku tau gimana rasanya. Percayalah, sebelum kamu memutuskan untuk hamil dan melahirkan, pikirkan dulu matang-matang, ekonomi, biaya-biaya, keadaan sosial, mental, dll. Kalau boleh aku menganalogi, masuk bidang seperti kepolisian, kerja di BUMN, atau Pegawai aja banyak kualifikasinya, mulai dari psikologi sampai kecerdasan, dll. Masa kamu mau jadi ibu yang akan melahirkan manusia baru gak punya persiapan ?
Anak itu bukan akibat dari seks, anak-anak yang lahir bahkan gak minta kita lahirkan, mereka ada karena kita yang mau. Mereka layak mendapatkan yang terbaik, bahkan yang paling baik dari yang kita bisa, mereka berhak punya ibu yang bahagia, yang tidak lupa mengenali dirinya.
Komentar
Posting Komentar