Hari-hari berlalu terlalu cepat dan hari-hari terasa sangat sibuk. Aku melewati banyak hal sejak tulisan terakhir aku buat, dan aku merasa butuh untuk kembali kesini untuk menulis dan merasa berteman.
Iya, berteman, karena sejauh ini aku merasa sedikit memiliki teman, sedangkan aku butuh untuk bercerita, menuangkan hasil pikiran, merasa didengar dan diterima. Aku tidak berharap orang lain atau siapapun membaca isi hati dan pikir yang aku simpan disini, namun aku yakin dengan aku ada disini aku akan merasa lebih baik.
Bingung, ingin mulai dari mana, mungkin aku akan ceritakan perasaan aku hari ini. Suami ku sering pulang malam karena banyak pekerjaan, dia sudah tidak menjadi seorang freelancer lagi, kini dia menjalani karirnya sebagai seorang Script Doctor di sebuah Production House besar di Jakarta. Dulu, saat kami terdampak covid, aku pernah berdoa, meminta agar suamiku dapat pekerjaan dan punya penghasilan yang stabil, supaya kami bisa menata masa depan. Januari 2021, suamiku positif covid, sedih banget, waktu itu covid masih jadi momok dan ya gitu deh, agak males nyeritainnya. Tapi ada hikmah disana, suami ku tiba-tiba dapat tawaran pekerjaan. Singkat cerita, akhirnya kami bangkit, dan memulainya semua dari nol.
Hari-hari berlalu, aku yang terbiasa bersama suamiku 24/7 agak kaget dan kecewa karena suamiku terkadang pulang tengah malam, aku sering marah-marah, niat hati gak mau marah sama suami yang lelah pulang kerja, tapi perasaan ketidak puasan dan kecewaku karena dia pulang tengah malam gak bisa aku pendam lagi. Aku hampa dan kesepian, dikontrakan hanya berdua dengan Inara yang saat itu usianya kira-kira 6 bulan.
Sedih, hampa, dan kesepian, aku rasakan hampir setiap hari, tapi aku idak bisa banyak berbuat. Perasaan paling bahagia kalau suamiku pulang lebih awal, dan saat kebersamaan kami dihari Sabtu dan Minggu. Suamiku yang baik hatinya tidak pernah membalas marah ku saat aku marah meski dia lelah. Dia tau apa yang aku rasa, terlihat sepele tapi tidak mudah.
Suamiku menjadi satu-satunya teman dan sahabat, aku sering menagih cerita, meminta dia untuk menceritakan keseruan harinya bersama teman-temannya di kantor. Keseruan dia dikantor melipur rasa sepiku, melipur perasaan hampa dan hilangku atas pergaulan dan pertemanan. Aku ikut tertawa atas hal-hal lucu yang suamiku ceritakan tentang dia dan teman-temannya.
Aku juga sangat ingin cerita, namun ceritaku terbatas. Hari-hariku yang sibuk, dipadati dengan pekerjaan rumah dan mengasuh Inara. Tidak banyak cerita seru, tapi aku tetap ingin bercerita, dan yang terlisan dari bibirku hanyalah keluhan, lelah dengan pekerjaan rumah, lelah mendengar tangis Inara, bosan dan kesepian, sedih menunggu papa pulang kerja. Tapi ini adalah yang aku pilih, meski aku mengeluh, aku tetap tidak ingin mengubah pilihanku.
Hari-hariku yang sibuk dan padat menyisakan rasa hampa didada, ada rasa ketidak puasan dan perdebatan, meski aku tau aku bersi keras memilih pilihanku. Suamiku menawarkan beberapa solusi, dia memberiku solusi untuk mengikuti pelatihan, menambah skill, dll. Suamiku bilang, dia hanya ingin aku bahagia, dia akan bantu aku menemukan pintunya.
Hingga waktu kemudian berlalu, aku mulai belajar beradaptasi dan menerima. Tapi aku tetap tidak pernah puas. Aku ungkapkan pada satu-satunya sahabat karibku, suamiku, aku ingin pekerjaan yang bisa aku kerjakan dirumah, aku gak mau keluar rumah meninggalkan Inara, semua yang aku mau aku ingin mengasuh Inara sendiri, mungkin gak ya aku bisa gapai cita-citaku meski aku hanya seorang ibu dirumah ?
Suamiku yang baik selalu mendukung, dia tidak pernah menuntut apa-apa. Yang dia mau hanya istrinya bahagia, apapun pilihannya, suamiku bilang "kerjakan apapun yang bisa kamu kerjakan saat ini, pasti akan ada hasilnya suatu saat nanti".
Komentar
Posting Komentar