Langsung ke konten utama

Kelahiran (Part 1) : Bermula dari Tidak Mungkin

Kira-kira seminggu lebih 2 hari yang lalu sebelum saya melahirkan. Saya datang untuk kontrol mingguan dengan bu bidan Iin. Jarak yang lumayan jauh ditempuh, menggunakan motor, dari rumah orang tua saya menuju tempat klinik bidan Iin. Sampai sana saya menunggu cukup lama. Karena sedang ada pasien melahirkan. Sebenarnya ada banyak bidan jaga disana. Tapi ketika itu saya tetap ingin menunggu bu Iin selesai menangani pasien. Sambil mengelus perut dan berbicara sedikit pada sang jabang bayi, "baby kapan mau keluar nak? Temen-temennya udah pada lahir, nanti lahirnya disini aja ya sama bu bidan", kata saya sembari mengelus perut.

Akhirnya bu Iin selesai. Datang menghampiri saya dan saya diperiksa oleh beliau.

Perasaan saya tidak enak. Melihat ekspresi bu Iin seperti bingung, dan berpikir sambil meraba-raba perut saya. Beliau masih belum bicara dan terus meraba perut saya, lumayan lama tidak seperti biasanya. Pinggul saya beliau tekan sampai nyeri rasanya.

Akhirnya bu Iin bersuara. "Kok saya ga nemu kepalanya ya"

Baiklah, perasaan saya benar. Ada yang kurang beres.

Ketika itu usia kandungan sudah memasuki 38 minggu. Dan saya masih menemui masalah. Posisi bayi masih belum pada tempatnya untuk dilahirkan secara pervaginam. Sedih, galau, setress rasanya. Saya gak punya persispan untuk operasi Caesar. Saya gatau mau operasi dimana. Dan gatau juga kisaran biayanya.

"O ini kepalanya disini, melintang bayinya" kata bu Iin
"Obliq bu?" Saya memastikan kalau ini bukan benar-benar melintang.
"Iya, obliq, jadi kepalanya miring, ibunya pinter bgt si tau istilah obliq" lanjut bu Iin

38 Minggu harusnya sudah masuk panggul, tapi kepala masih miring. Well, pupus kayanya saya gabisa lahir normal. Pikir saya kala itu.

"Seharusnya kapan bu bayi masuk panggul?" Tanya suami saya
"Untuk anak pertama sih harusnya 37 Minggu itu udah masuk panggul. Karena anak pertama itu kepala turunnya pelan-pelan banget. Jadi harusnya 37 Minggu udah masuk panggul ya" jelas bu Iin
"Ibu praktekin gerakan yoga ya. Sini saya ajarin" lanjut bu Iin.

Ibu Iin mengajari beberapa gerakan yoga untuk optimalisasi posisi janin dan membuka panggul. Terbaca sorot putus asa dari mata saya. USG sebelumnya saya dibuat pusing karena dokter bilang berat bayi saya kurang, saya dibuat khawatir takut perkembangan bayi bermasalah. Minggu selanjutnya dibuat galau lagi, posisi bayi masih belum optimal. Kala itu dalam hati saya berkata, "terserah baby mau dilahirkan bagaimana, tapi ya Allah yg penting dia sehat sempurna, tumbuh jadi anak yang kuat, saya pasrah".

Bu Iin membaca kegelisahan saya. Meski pada saat itu saya tidak melontarkan keluhan dari bibir saya. Saya hanya terus memperhatikan masukan dari beliau. Dan sesekali bertanya.
"Ibunya jangan setress dong. Usaha dulu, masih bisa kok. Yoganya setiap hari ya. Power walk juga. Minggu depan USG lagi ya bu. Masih ada waktu kok. Tapi kalau misalnya nanti posisinya gak berubah, gapapa, sc juga kan masih tetep jadi seorang ibu, jangan setress yah, semangat" jelas bu Iin menyemangati.

Banyak yang membebani pundak saya kala itu. Disisi lain juga memikirkan biaya operasi yang enggak murah. Saya kan gak punya asuransi. Bpjs jg gak urus. Ada juga rasa kecewa karena udah selalu berupaya. Giliran mendekati hari H. Ternyata bayi belum menempati posisinya dengan benar. Saya gak boleh marah sama bayi ini.

Saya akhirnya menangis, sesampainya dirumah.

Setiap solat, dalam sujud saya berdoa.
"Ya Allah tunjukkan jalan lahir untuk anak ini. Saya pasrah"

Setress, galau, mengisi hari saya kala itu. 2 - 3 hari kemudian hati saya lumayan lebih lapang. Saya lebih optimis dan berpasrah. Saya mulai mencari referensi rumah sakit untuk operasi. Kadang-kadang saya masih suka sedih dan nangis ketika tau biayanya yang lumayan mahal mulai 15jt - puluhan juta. Saya memohon dalam hati, saya gak mau ngerepotin suami saya untuk biayai saya sebanyak itu. Padahal ini untuk kebaikan anak kami juga. Tapi saya rela, dan ikhlas, berupaya untuk bisa melahirkan normal supaya kita gak harus keluar biaya sebesar itu ditengah-tengah pandemi ini, karena suami lagi gak ada job.

Tarik nafas dalam-dalam, dan timbul lagi perasaan optimis dan pasrah. Percaya, setiap anak ada rejekinya masing-masing.
"Kalau nanti aku harus operasi gapapa ya ?" ucapku pada suami
"Iya gapapalah, demi kebaikan kamu dan baby, kamu gausah byk mikir" balas suami saya.

Mulai optimis. Semangat power walk. Praktekkan gerakan2 yoga. Induksi alami. Makan kurma. Dll

Ketika itu kepala beneran masih miring. Saya bisa raba. Saya tekan dikit perut saya dekat pinggul. Ada bulat2 keras. Gaperlu tekan terlalu dalam itu udah berasa. Sedih, saya udah lakuin saran bu bidan ternyata kepalanya masih juga miring. Kemudian saya mulai benar-benar meyakinkan hati untuk berpasrah. Terserah anak ini mau dilahirkan bagaimana. Karena semua udah tergantung bayinya. Dia sendiri yang nentuin bagaimana posisinya didalam. Ibunya hanya membantu dari luar.

Dipenghujung Minggu, pada hari Sabtu. Saya minta pergi jalan-jalan keluar. Kita pergi jalan ke hutan mangrove di PIK biar saya merasa lebih relaks, melihat suasana baru. Bingung, disini mau pergi kemana yang deket. Gak mau ke mall. Mau ke ruang terbuka.

Kontraksi palsu mulai sering saya rasakan. Perut sering keras dan kencang. Tapi belum berasa apa-apa. Pulang dari hutan mangrove, saya lihat ada banyak keputihan di celana dalam saya. Saya mulai GR apakah ini tanda dia udah masuk panggul ya. Tapi gak mau GR dulu. Tapi semoga saja benar, kalau bayi ini udah masuk panggul. Apalagi beberapa orang yang lihat postingan foto saat saya di Mangrove bilang perut saya sudah turun. Wah seneng banget tapi gak mau GR.

Seninnya kita berniay untuk USG. Niatnya gak mau USG di tempat klinik bu Iin karena disana ramai dan USGnya cepet-cepet. Pengen USG yang lebih santai. Niatnya mau USG sama dokter Arif, dokter yang aku suka di klinik Halobumil. Tapi ternyata pada hari Seninnya, dikabarkan dokter Arif diganti sama dokter lain. Lantas saya mikir gak mau ah kebanyakan ketemu dokter lagi, takut opininya beda-beda. Akhirnya memutuskan untuk USG ketempat klinik ibu Iin.

Alhamdulillah, masih bisa reservasi hiks. Kalau gak bisa reservasi saya terpaksa harus USG dengan dokter lain.

Happynya lagi ternyata saat USG juga didampingi oleh ibu bidan Iin. Bu Iin masih ingat hasil pemeriksaan beliau terhadap saya Minggu lalu. "Minggu lalu kepalanya masih obliq dok" kata bu Iin menginformasikan kepada dokter.

Dokter mulai melakukan pemeriksaan. "Udah bagus ini posisinya, udah masuk panggul ya" kata dokter.
MasyaAllah saya seneng banget dengernya.
"Plasenta masih bagus, ketuban bagus, masih bisa nunggu sampai seminggu, tapi ini ada lilitan ya dileher, sekali" lanjut dokter

Meski senang, tapi agak ngeri juga denger ada lilitan dileher. Padahal USG sebelumnya belum ada.

Bu Iin melanjutkan meraba perut saya. "oh iya Alhamdulillah udah masuk panggul ya bu Irma" jelas bu Iin.

"Dok, apa lilitan tadi bisa jadi penyulit buat saya?" Tanya saya
"Iya lilitan salah satu penyulit" jawab dokter
"Tenang aja bu, bisa kok, anak saya 2 lahir dengan lilitan 2 kali dileher" tambah bu Iin.

"Good job ya bu Irma. Dilanjutin lagi ya PRnya yang kemarin" tambah bu Iin saat saya pemeriksaan pada saya selesai.

Sore itu, kontraksi palsu makin berasa. Rasanya kayak orang mules mau BAB. Tapi belum terlalu mengganggu. Saya pulang dengan perasaan haru. Allah benar-benar memberikan kemudahan bagi saya, dan ini nyata. Saya pulang kerumah dengan hati senang. Makan malam dengan lahap, dan malamnya saya mulai sulit tidur. Badan saya pegal-pegal rasanya. Gak seperti biasanya. Punggung, bahu saya pegal-pegal. Saya juga jadi sering BAB. Sehari bisa BAB 2 kali. Gak biasanya. Saya jadi makin GR. Anak ini akan segera lahir.

Ibu saya bertanya pada suami saya, "kata dokter apa?". "Ya semua baik-baik aja, udah masuk panggul, tinggal nunggu, perkiraan sih dalam Minggu ini" jelas suami saya.

Saya agak bergidik mendengarnya. Dalam minggu ini saya akan melahirkan. Saya udah siap belum ya. Pikir saya kala itu.

Next.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cyclo Progynova #part1

Ehem, kali ini saya akan ceritakan sedikit pengalaman saya mengonsumsi Cyclo Progynova. Saya memiliki masalah dengan hormon. Secara fisik, badan saya tidak ideal memang, tinggi saya sekitar 160cm dan berat badan 42kg. Saya sangat tau bahwa berat badan saya tidak ideal, bisa dibilang sangat kurang. Tapi apalah dikata, saya memang sulit untuk gemuk. Hehe. Saya memiliki masalah dengan siklus haid. Sejak saya sekolah, haid saya sudah tidak teratur. Kadang lancar, kadang engga. Bulan ini haid lancar, bulan depan saya bisa enggak dapat haid. Atau saya pernah mengalami darah Istihadah. Selama sebulan full saya mendapati pendarahan serupa haid, dan hal tersebut sangat meresahkan. Saya galau sekali memikirkan hukum suci saya. Memang sih, kalau lebih dari 15 hari masih ada darah. Saya dikatakan wajib beribadah dan hukumnya sama seperti saya ketika suci. Tapi bagian paling merepotkan adalah ketika saya harus memastikan bahwa saya 'bersih' dan saya harus bersih-bersih sebel

Cyclo Progynova #part2

Yak... Ini lanjutan review yang pernah aku buat tahun lalu, yaitu mengenai Cyclo Progynova. Aku memang sengaja tidak ingin menulis kelanjutannya, tapi karena ada beberapa teman yang menghubungiku untuk menanyakan lanjutan ceritanya, maka baiklah, aku akan melanjutkannya. Well, sebenarnya aku memang malas melanjutkan untuk menulis cerita tentang ini, karena aku mengalami sedikit kekecewaan, aku malah takut orang lain yang membacanya malah ikutan kecewa, wkwk. Padahal kan pengalaman kita bisa berbeda. Jadi sebenarnya aku tidak mengonsumsinya sampai 3 blister. Aku berhenti ketika blister kedua habis, dan ternyata hal tersebut berdampak kurang baik. Aku mengalami flek-flek tidak menentu kadang ada, kadang tidak ada, dengan kurun waktu yang tidak bisa ditebak, seminggu ada, seminggu hilang, dan hal tersebut berlangsung selama sekitar satu semester alias 4 bulan, kira-kira selama aku semester 7. Jadi, aku selesai mengonsumsi blister kedua itu tepat saat setelah liburan lebaran

Syura, Ahlul Halli wal Aqdi, dan Bay’ah wal Mubayaah

(essay ini saya tulis dalam memenuhi tugas mata kuliah Politik Islam) Syura, Ahlul Halli wal Aqdi, dan Bay’ah wal Mubayaah ( Irma Ayu Sawitri – 1113015000092 – irma.ayus13@mhs.uinjkt.ac.id ) Syura             Kata syura memiliki pengertian yang sangat beragam. Sesungguhnya istilah syura berasal dari kata sy-wa-ra, syawir yang berarti berkonsultasi, menasehati, memberi isyarat, petunjuk dan nasehat. Pendapat yang lain mengatakan pula bahwa syura memiiki kata kerja syawara-yusyawiru  yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan untuk mengambil sesuatu. Menurut Imam Syahid Hasan al-Banna Syura adalah suatu proses dalam mencari sebuah keputusan atau kesepakatan yang berdasarkan pada suara terbanyak dan berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan hendaklah setiap urusan itu diserahkan kepada para ahlinya demi mewujudkan suatu hasil yang maksimal dalam rangka menjaga stabilitas antara pemimpin dengan rakyat. [1]             Secara istilah penggunaan kata   syura menga