Langsung ke konten utama

Menikah (Part 2) : Malam-Malam Pertama

Hal-hal indah berlangsung. Setiap pagi ingin berangkat kekantor. Saya menyiapkan suami sesuatu untuk dimakan. Ada rasa tak tega meninggalkannya dia sendiri. Dan tidak pernah absen, saya dipeluk sebelum berangkat, "sini aku peluk..., Semangat ya buat hari ini..." Kemudian aku mencium tangannya dan berangkat...

Apasih yang ada dibenak kamu ketika mendengar pernikahan ?
Apa yang membuat kamu merasa kalau kamu ingin menikah ?
"Capek kuliah mau nikah aja"
"Capek kerja mau nikah aja biar ada yang nafkahin"
"Pengen nikah biar hidup kayak princess"
"Ingin menikmati hubungan kisah romansa dan seksualitas"
Coba direnungkan lagi kenapa kamu pengen menikah.

Dimulai dari saya, jujur, saya pernah punya pandangan yang dangkal tentang pernikahan. Hanya sekedar karena rasa ketertarikan sama lawan jenis dan ingin menjalani hubungan dengan 'benar', kemudian hidup bahagia dengan pasangan yang kita cinta. Hellooow, bangun dari mimpideh, menikah tidak semudah itu. Hahaha...

Malam-malam pertama pernikahan saya diisi dengan perasaaan-perasaan dan perdebatan. Bukan, bukan karena saya tidak bahagia. Bagi saya, hidup saya sempurna.

Suami saya sangat baik, dan bertanggung jawab. Selalu berusaha memberikan segala yang terbaik untuk saya. Dimulai dari memilih tempat tinggal misal. Kami memang belum memiliki rumah pribadi. Saya tidak masalah dengan hal itu. Saya  bangga menemani dia dari nol seperti ini. Saya tidak muluk-muluk, saya hanya ingin sewa tempat yang bersih. Tapi suami saya carikan tempat tinggal yang lebih dari ingin saya. Segala yang dia beri, bagi saya lebih dari cukup. Sejauh ini, rasanya saya belum pernah menuntut lebih dari yang dia berikan.

Namun, apa yang membuat perasaan dan perdebatan itu muncul ?
Baiklah, semula saya pikir menikah dengan laki-laki idaman adalah segalanya. Bagi saya, suami saya adalah yang saya inginkan selama ini. Dulu, gak jarang orang bertanya "si Irma cantik kok gak punya pacar ya", gak jarang juga teman bilang, "lu tuh pilih-pilih, udah ada yang mau aja harusnya syukur, apalagi, baik dan perhatian". Hehe.
Sayangnya saat itu saya tidak sesederhana itu dalam menentukan kebahagiaan saya. Kalau orang tanya apa type laki-laki saya. Saya akan jawab yang sempurna. Kalau pun saya gak bisa dapatkan yang sempurna, setidaknya saya bisa dapatkan yang mendekati sempurna.

Kebahagiaan ternyata tidak hadir sendiri dalam perasaan. Galau juga mengiringi. Sebulan, dua bulan pertama saya menikah, kerap sedih tanpa alasan. Menangis biasanya gak bisa saya tahan. Ternyata begini rasanya menikah.

Saya rindu keluarga dan kedua orang tua saya. Padahal saya tinggal tidak jauh dari rumah orang tua saya. Tapi setiap hari saya dirundung rindu. Saya ingin hidup saya yang dulu. Menjadi seorang anak. Mendapatkan kehidupan sebagai seorang anak juga. Diingatkan makan, diingatkan mandi, diingatkan solat, tersedia makanan, tidak perlu memikirkan kas rumah tangga. Hehe.

Saat ini saya menjadi seorang istri. Saya harus atur semuanya. Mengatur makanan apa, mengingatkan suami mandi, memikirkan kas rumah tangga, dll.
Diawal, saya insecure sekali. Ketika pengeluaran yang bagi saya saat itu banyak. Saya menyalahkan diri saya sendiri karena tidak bisa mengatur uang.
Padahal, saya sendiri tidak pernah menghamburkannya. Bahkan suami saya sering menawarkan belanja. Tapi saya gak mau, khawatir akan pengeluaran. Tapi suami saya menenangkan, bahwa saya sudah sangat hemat, dia bilang dia percaya dengan saya soal uang, saya tidak akan menghamburkannya untuk hal-hal yang egois.

Gak hanya itu. Saya juga harus sadar. Bahwa keluarga saya kini bukan cuma orang tua saya yang 24 tahun membersamai. Tapi juga keluarga suami. Pernikahan bukan hanya menikahkan kamu dengan pasanganmu. Tapi juga dengan keluarganya. Tentu, saya pun butuh adaptasi untuk menerima semua hal baru ini.

Hal yang paling berat diawal pernikahan bagi saya adalah untuk menerima keadaan saya bukan lagi seorang anak. Tapi juga seorang istri. Saya mulai mengenal suami saya lebih dalam. Juga saya harus menerima segala kekurangannya dan bersama-sama belajar memperbaikinya. Sebagai istri, saya harus bisa menjaga suami saya, menjaga hartanya, juga harga dirinya.
Saya sering nangis ingin pulang kerumah, dan meninggalkan pikiran-pikiran yang membebani saya. Beruntungnya suami saya selalu memakluminya. Dia sangat hangat dan lembut. Dia bilang, "maklum aja, kamu selama ini bareng sama orang tua kamu, butuh waktu untuk berproses".

Dua bulan pertama saya masih bekerja. Namun saat itu pula, pekerjaan saya dikantor tidak berjalan mulus. 2 bulan terakhir saya bekerja, diisi dengan hal-hal yang kurang nyaman. Padahal saya punya niat kelak resign kalau udah hamil besar, semisal saya hamil. Tapi kehendak berkata lain. Mungkin, segelintir orang dikantor saya ingin saya belajar lebih dewasa dan berkembang lebih lagi di tempat lain. Pada saat itu, hampir tiap hari saya pulang dengan tangis. Entah mental saya yang lemah atau memang saya udah gak kuat lagi dengan atmosfer yang toxic. Dan hal tersebut menambah beban saya terasa berat, hehe, selain saya rindu orang tua dan keluarga saya. Akhirnya saya memutuskan untuk keluar dan saya memilih kembali fokus untuk menatap hidup kedepan.
Setelah resign.
Apakah dengan saya resign beban saya berkurang ?
Sebulan pertama saya masih kaget, seperti orang yang libur kerja, bangun siang, tidak tau harus apa, mau apa. Terbiasa berurusan dengan banyak orang, dan mengurus banyak hal membuat saya bingung ketika hanya dirumah.
Beban saya berkurang, stress saya terhadap tekanan berkurang, saya juga lebih lega dapat keluar dari lingkungan yang toxic, tapi ternyata menambah beban psikologis baru. Saya kesepian, sebulan pertama, saat saya tertidur, saya terus-terusan memimpikan saya masih bekerja dan masih bersama dengan teman-teman. Sedih yang baru juga, saya sudah tidak bisa lagi memberi jatah ke mama saya dengan uang hasil kerja saya. Saya juga seketika menahan jajan dan belanja saya. Saya juga masih butuh adaptasi dengan suami saya. Karena saya terus-terusan merasa tidak enak untuk minta. Padahal, dia gak pernah pelit sama saya. Justru dia selalu kasih apa yang saya belum minta. Saking seringnya dia kasih, saya jadi gaenak buat minta yang lain-lain. Dan pikir saya, enak kalau saya kerja, saya gaperlu minta dia terus kalau saya butuh untuk belanja.

Bulan berikutnya, 2 bulan saya menganggur. Saya mulai belajar menerima keadaan saya sekarang sebagai seorang Ibu Rumah Tangga. Bukan seorang karyawan yang sedang libur bekerja. Saya berusaha menata waktu saya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Meski saat itu secara fisik saya masih lemah, karena Alhamdulillah saya sedang hamil muda, dan setiap hari rasanya mual, hehe. Btw 3 Minggu sebelum saya resign, ternyata saya hamil :) (cerita kehamilan akan diceritakan dijudul lain)

Perlahan-lahan saya mulai membuka pintu hati saya agar lebih lapang. Saya tidak mencari pekerjaan baru, karena saya hamil, saya minder dan insecure, "siapa yang mau nerima ibu hamil kerja?" Akhirnya saya kadang diminta untuk bantu pekerjaan suami, meski kadang males haha. Tapi saya akui saya butuh berpikir. Kalau pikiran saya diam, tidak diberi kesibukan. Sering galau, bingung, dan bosan pastinya.

Masalah resign selesai... Saya berhasil menerimanya perlahan-lahan. Sekarang saya anggap menjadi Ibu Rumah Tangga adalah pekerjaan saya. Jangan tanya apa kerjaan saya. Yang pasti semua soal pekerjaan rumah. Mencuci baju, nyetrika, bersih-bersih, menyiapkan makan. Disisi lain, suami saya selalu memberi dukungan untuk saya berkarir dan berkarya lagi. Sejujurnya, saya ingin sekali punya karir, saya gakmau cuma jadi perempuan yang dirumah aja. Suami saya selalu excited kalau saya bilang saya mau ini mau itu. Dia juga mau saya punya hal lain selain urusan cuci baju, dan beres-beres. Karena dukungannya, meski saya masih belum yakin apa yang akan saya lakukan. Setidaknya saya menjadi lebih kuat dan optimis. Kelak, saya bisa urus keluarga dan meniti karir kembali. Kelak, saya bisa menjadi perempuan yang lebih berdaya. Aamiin

Kemudian, Meski bagi saya suami saya sempurna. Tetap saja dia manusia biasa yang punya kekurangan. Kekurangan-kekurangannya membuat saya berpikir dan merenung. Kadang-kadang jadi galau. Ya, kalau kamu berekspektasi kehidupan pernikahan itu selalu indah, introspeksi lagi deh, perbaiki niat menikah, apalagi kalau kamu berkhayal menikah bakal jadiin kamu seorang princess 😂 duh...

Coba kalian tengok.
Ketika kamu sekolah tingkat SD menganggap bahwa SMA itu ya lebih sulit, tingkatannya lebih tinggi. Ya memang benar.
Begitu juga dengan hidup. Semakin hari, semakin kedepan, semua tingkatan dan levelnya meningkat.
Kalau kamu berekspektasi menikah itu membuat kamu hidup bahagia aja. Bagaimana dengan tingkatan hidup dan level-level tadi ?

Terlalu banyak urusan dalam pernikahan. Gak cuma soal kamu dicintai dan mencintai, dan saling mencintai. Bukan, bukan cuma soal cinta-cintaan,  kasih hadiah, nongkrong-nongkrong, perayaan, dll, duh, bukan.

Pernikahan itu kamu dan suami adalah pondasi. Harus sama-sama kokoh, sama-sama kuat menopang beban. Beban beratnya juga sama porsi. Jadi bukan cuma suami yang harus kasih nafkah, penuhin semua kebutuhan dan bahagiain istri. Tapi suami istri sama-sama berdarah untuk bisa bertahan, untuk bisa bahagia dan hidup dimasa depan.

Menurutku kisah romantis dengan suami, saling mendukung, saling menolong, gotong royong, adalah bentuk kasih Tuhan. Untuk membersamai kita dalam mengarungi tingkatan hidup dan level-level kehidupan kedepan. Akan berat, pada waktunya, tapi dengan pasangan, berharap berat itu akan terbagi, akan membuat kita terasa lebih ringan dan lebih bersyukur.

Dengan menikah juga, banyak kebaikan hadir. Doa-doa yang diserukan oleh hati seperti matahari yang setiap hari akan bersinar cerah tanpa badai. Menanti anak-anak. Melihatnya tumbuh. Mendoakannya. Akan membuat hidup terasa lebih hidup.

3 bulan pertama, memang dipenuhi dengan kegalauan. Hal-hal baru dalam hidup terlalu banyak porsinya bagi saya. Berharap keadaan memberi saya porsi sedikit-sedikit.

Tapi saya bisa melaluinya.
Malam-malam pertama saya dan suami penuh dengan pelajaran. Sesekali mengeluhkan kekurangan suami. Tapi saya sadar saya juga banyak kurang.
Saya berpikir, mungkin disini Tuhan mau saya belajar.
Meski saya belum sibuk lagi dengan kesibukan kantor/pekerjaan diluar.
Tapi saya disibukkan untuk belajar, berpikir, dan merenung. Terlalu banyak pelajaran diawal. Meski tak jarang nilai saya saat ulangan harian anjlok, tapi saya pastikan saya gak akan tinggal kelas.

Komentar

  1. Keren.. baca tulisanmu berasa jadi istri. Haha

    Semoga pernikahanmu berkah ya Mae. Aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha 'terlalu jujur' tulisannya. Btw makasih udah dibaca. Aamiin untuk doanya,,, 😊😊😊

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cyclo Progynova #part1

Ehem, kali ini saya akan ceritakan sedikit pengalaman saya mengonsumsi Cyclo Progynova. Saya memiliki masalah dengan hormon. Secara fisik, badan saya tidak ideal memang, tinggi saya sekitar 160cm dan berat badan 42kg. Saya sangat tau bahwa berat badan saya tidak ideal, bisa dibilang sangat kurang. Tapi apalah dikata, saya memang sulit untuk gemuk. Hehe. Saya memiliki masalah dengan siklus haid. Sejak saya sekolah, haid saya sudah tidak teratur. Kadang lancar, kadang engga. Bulan ini haid lancar, bulan depan saya bisa enggak dapat haid. Atau saya pernah mengalami darah Istihadah. Selama sebulan full saya mendapati pendarahan serupa haid, dan hal tersebut sangat meresahkan. Saya galau sekali memikirkan hukum suci saya. Memang sih, kalau lebih dari 15 hari masih ada darah. Saya dikatakan wajib beribadah dan hukumnya sama seperti saya ketika suci. Tapi bagian paling merepotkan adalah ketika saya harus memastikan bahwa saya 'bersih' dan saya harus bersih-bersih sebel

Cyclo Progynova #part2

Yak... Ini lanjutan review yang pernah aku buat tahun lalu, yaitu mengenai Cyclo Progynova. Aku memang sengaja tidak ingin menulis kelanjutannya, tapi karena ada beberapa teman yang menghubungiku untuk menanyakan lanjutan ceritanya, maka baiklah, aku akan melanjutkannya. Well, sebenarnya aku memang malas melanjutkan untuk menulis cerita tentang ini, karena aku mengalami sedikit kekecewaan, aku malah takut orang lain yang membacanya malah ikutan kecewa, wkwk. Padahal kan pengalaman kita bisa berbeda. Jadi sebenarnya aku tidak mengonsumsinya sampai 3 blister. Aku berhenti ketika blister kedua habis, dan ternyata hal tersebut berdampak kurang baik. Aku mengalami flek-flek tidak menentu kadang ada, kadang tidak ada, dengan kurun waktu yang tidak bisa ditebak, seminggu ada, seminggu hilang, dan hal tersebut berlangsung selama sekitar satu semester alias 4 bulan, kira-kira selama aku semester 7. Jadi, aku selesai mengonsumsi blister kedua itu tepat saat setelah liburan lebaran

Syura, Ahlul Halli wal Aqdi, dan Bay’ah wal Mubayaah

(essay ini saya tulis dalam memenuhi tugas mata kuliah Politik Islam) Syura, Ahlul Halli wal Aqdi, dan Bay’ah wal Mubayaah ( Irma Ayu Sawitri – 1113015000092 – irma.ayus13@mhs.uinjkt.ac.id ) Syura             Kata syura memiliki pengertian yang sangat beragam. Sesungguhnya istilah syura berasal dari kata sy-wa-ra, syawir yang berarti berkonsultasi, menasehati, memberi isyarat, petunjuk dan nasehat. Pendapat yang lain mengatakan pula bahwa syura memiiki kata kerja syawara-yusyawiru  yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan untuk mengambil sesuatu. Menurut Imam Syahid Hasan al-Banna Syura adalah suatu proses dalam mencari sebuah keputusan atau kesepakatan yang berdasarkan pada suara terbanyak dan berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan hendaklah setiap urusan itu diserahkan kepada para ahlinya demi mewujudkan suatu hasil yang maksimal dalam rangka menjaga stabilitas antara pemimpin dengan rakyat. [1]             Secara istilah penggunaan kata   syura menga