Perjalanan ini sebenarnya dimulai
sejak saya masih anak sekolah. Tumbuh menjadi anak introvert, membuat saya
memiliki ketertarikan terhadap anak-anak. Sedikit banyak saya masih dapat
mengingat dengan baik, bagaimana saya berpikir, dan merasa ketika saya masih
anak-anak. Saya sadar tidak ada orang tua yang sempurna, dan saya tau, setiap
orang tua memiliki cara masing-masing untuk mencinta anaknya. Saya alirkan
ketertarikan saya terhadap anak-anak dengan membasahi diri dengan apa yang
selama ini kita sebut ‘Pendidikan’.
Memilih kuliah di fakultas
keguruan bukan tidak ada maksud. Saya sudah sejak lama gelisah, ingin belajar
tentang apa itu ‘mendidik’. Hemat saya kala itu, mungkin belajar di fakultas
keguruan adalah jawaban. Dengan segala kenaifan, saya menjalani kuliah dengan
penuh ketertarikan, menggenggam idealisme dan keyakinan bahwa apa yang saya
jalani adalah yang terbaik, insyaAllah.
Seperti yang kita tau, waktu
berlalu, cepat. Saya masih ingat kala saya pertama kali harus mengajar di
sebuah bimbel. Gugup, kurang percaya diri, khawatir tidak bisa. Saya paksakan
kaki saya tuk pergi kesuatu tempat di daerah Cinere, ketika itu saya meminjam
motor milik senior saya. Pergi sendiri, ke daerah yang sama sekali asing. Waktu
itu saya hanya diminta tuk menggantikan tentor yang tidak bisa hadir. Ketika
saya tiba, tatapan pihak bimbel terpancar menyiratkan keraguan, haha.
Awalnya dulu niat saya mengajar
dibimbel hanya ingin belajar mengajar didepan anak-anak. Waktu itu masih kaku,
masih polos banget. Lambat laun semua terasa biasa, anak SMA/SMK, SMP, SD, TK
pernah saya ajar. Rasa-rasanya saat ini semua itu bisa dikerjakan. Iya, semua
butuh proses.
Kacamata pandang berubah.
Pengalaman sekecil apapun mendidik saya untuk menjadi lebih baik. Tidak terasa,
saya kerjakan sebagai tukang bimbel sejak semester 5 sampai saya lulus, bahkan
sampai sekarang masih jadi tukang bimbel.
Dulu, mungkin saya masih belum
berpikir soal bagaimana nasib guru, masih berpandangan bahwa guru adalah sosok
berpengaruh yang kita hormati. Suka tidak suka dengan mereka, kita dituntut hormat,
hehe. Tapi tetap saja, setidak suka apa pun siswa pada gurunya, sebenarnya
tetap ada rasa kagum dan terimakasih dibenak siswa. Pengalaman saya saat
menjadi siswa, tidak bisa dihindari bahwa guru terkadang menjadi sosok
menyebalkan. Tapi dari lubuk hati terdalam, tersimpan kagum dan rasa
terimakasih kepada mereka, para guru. Mungkin itulah yang dikatakan
‘keberkahan’.
Untuk menjadi guru, sudah pasti
adalah pilihan. Saya yakin sekali, orang-orang yang memilih menjadi guru adalah
orang-orang yang bergerak dari hati. Bukan, bukan karena kami malas cari
pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Tapi kalau saya sendiri, memang merasa
masih ingin tercebur di dunia pendidikan. Masih ada sisa-sisa idealisme, yang
terkadang menyingkirikan soal realita, “ah rezeki gak kemana, aku masih merasa
cukup”. Ya, kita semua tau, memang bukan lagi soal rahasia, tentang bagaimana
guru diberi ‘harga’.
Pengalaman saya ketika lulus,
sulit sekali mendapatkan sekolah untuk bernaung. Pergi kesatu sekolah,
kesekolah lainnya. Hanya disapa manis oleh pak satpam, hasilnya belum ada. Belasan
lamaran yang saya sebar kesekolah-sekolah tidak ada yang memanggil saya.
Terlebih lagi banyak sekolah yang menghentikan saya dengan pertanyaan “sudah
ada info dari dalam?”. Wajar, putus asa menghampiri hati saya. Saya juga apply
ke pekerjaan yang lain, tapi setengah hati, beberapa kali dipanggil interview,
hati saya tidak pernah penuh, beberapa kali juga panggilan itu tidak saya
penuhi. Serba salah. Hingga pada akhirnya suatu kebetulan menghampiri,
benar-benar kebetulan, entahlah. Takdir membawa saya kesuatu sekolah. Disana
sangat membutuhkan seorang guru Akuntansi, saya bukan orang akuntansi, saya
sebenarnya Cuma bisa ngajar sampai SMA, mata pelajaran Ekonomi. Tapi pada saat
itu serba salah, saya berat sebenarnya, sempat memandang sekolahnya kalangan
kebawah, ada miris campur kesal, kenapa ada sekolah seperti ini, pekik saya
dalam dada. Akhirnya saya menerima tawaran, mengajar disekolah dimana muslim
adalah minoritas, dengan bayaran yang memang sudah segitu, dan ketika itu saya
tidak ada inisiatif menawar harga, hati saya mengarahkan pikir saya “ah memang
segitu”.
Jalani hari-hari, ya, bukan saja
persoalan uang gaji yang membutuhkan kelapangan hati. Banyak hal yang membuat
saya merasa hati saya sedang ditempa dan uji oleh Tuhan, haha. Masalah
prasarana sekolah yang menurut saya sangat kurang, juga input anak-anak berada
dilevel bawah.
Saya memang memiliki riwayat
sekolah di sekolah negeri sejak sekolah dasar, hingga perguruan tinggi. Yang
ada dipikiran saya, sekolah adalah ya sebagaimana sekolah-sekolah negeri. Saya
banyak belajar disini, membuka pikiran dan hati saya, bahwa masih banyak orang
tua yang penuh harapan akan masa depan menitipkan anak-anaknya disekolah,
meskipun begini.
Menjalani hari-hari disana, jujur
saja, terkadang tidak mood untuk mengajar. Beban materi yang bagi saya agak
berat karena saya mengajar produktif, ditambah beban untuk menjelaskan kepada
mereka membutuhkan usaha berkali-kali lipat, dibanding semua anak yang pernah
saya ajarkan. Tentunya ini tantangan untuk saya.
Jujur saja, awalnya saya kesal
dengan mereka, kalau ditegur mereka tidak langsung menurut, tidak jarang
melawan. Miris memang, moral & etika mereka kurang, terlebih soal
pelajaran, sama-sama kurang. Awalnya, saya mengajar sepenuh hati, berulang-ulang
agar bisa, mereka tetap kurang menangkap, tidak jarang mereka menuntut saya
karena katanya saya tidak menjelaskan, makanya mereka tidak mengerti. Tidak
jarang juga, mereka tidak mengerjakan tugas dari saya. Iya, kalau mau
hitung-hitungan harga, kadang-kadang saya merasa tidak ada harganya disini.
Sebulan berlalu, saya
interospeksi diri. “Ah sepertinya saya egois”. Akhirnya saya memutuskan untuk
banyak bicara dengan mereka, ternyata banyak hal menarik disini. Mereka
rata-rata berasal dari keluarga kalangan bawah, perceraian, yatim piatu, dll.
Beberapa juga mereka sebagai pekerja paruh waktu untuk menutup biaya-biaya
sekolah. Mirisnya, mereka bayar sekolah dengan nominal yang gak murah Rp.425.000/bulan, untuk sekolah begitu bagi
saya terlalu mahal. Ruang kelas yang sempit, beberapa kursi dan meja yang reot,
dinding triplek, pendingin ruangan yang sudah rongsok, keterbatasan ruang
kelas, tidak ada lapangan yang cukup dan layak, juga guru-guru yang kurang
kompeten. Ahhh, sedih saya kenyataan membuka mata saya, bahwa masih ada sekolah
seperti ini di Jakarta.
Saya kerap iba dengan keadaan
mereka. Lantas saya mengurangi stress dan ego saya dengan tidak perlu terlalu
memaksakan mereka dapat menerima materi yang saya berikan dengan baik, yah,
satu atau dua orang saja dapat nilai 80 sudah mewah rasanya. Minat belajar
mereka yang kurang juga tidak jarang membuat saya malas. Tapi, kalau teringat
orang tua mereka, saya sedih, membayangkan begitu besar harapan orang tua
mereka membiarkan anaknya bersekolah disini.
Pada suatu ketika, ada masalah
yang mengharuskan orang tua siswa dipanggil kesekolah. Ketika itu, seorang ibu
berbincang seru dengan salah satu guru senior. Kebetulan, saya didekat si ibu,
saya mendengarkan, saya baca binar matanya. Ketika itu si ibu menceritakan
bagaimana pola asuh terhadap anaknya, saya menilai, keluarga si ibu bukan
keluarga yang masa bodo dengan anak. Tapi saya juga kesal, ahhh, ibu, sedih
saya kenapa ibu sekolahkan anak ibu ditempat begini, seharusnya ibu bertanggung
jawab untuk sekolahkan anak ibu ditempat yang lebih baik, anak ibu berhak untuk
mendapatkan yang lebih baik.
Saya sering lupa disana saya
hanya sebagai tenaga pengajar, tidak seharusnya saya terlalu memikirkan tentang
keadaan disana.
Disisi lain, hubungan diantara
guru sering membuat hangat hati saya. Saya bisa perkirakan, berapa penghasilan
mereka, tapi mereka selalu ringan berbagi, kesederhanaan membuat jarak antara
staff guru dengan wakil, dan kepala sekolah tidak ada, kami duduk sama-sama,
bercanda sama-sama. Hampir tidak ada senioritas. Saya banyak belajar soal
kerelaan hati mereka.
Sebagai tenaga pengajar baru,
rasa-rasanya mustahil kalau saya dapat mengerjakan semuanya dengan sempurna. Secara
mental, boleh dikatakan saya masih muda dan masih kerap menuruti ego. Tapi saya
bersyukur, setiap hari jendela pikir saya terbuka, banyak hal lain yang baru
saya ketahui soal realita dimasyarakat kita. Misalnya seperti keterangan “Anak
diluar kawin”. Yaitu mereka orang-orang Cina, termasuk Cina benteng, mereka
menikah secara siri, dan memberikan keterangan “Anak diluar kawin” pada akta
kelahiran anaknya. Kemudian tidak sedikit diantara mereka yang orang tuanya
berbeda keyakinan/agama. Buddha dengan Islam, misalnya. Ada kisah menarik anak
yang muallaf, dari Buddha menjadi Islam. Ibunya Islam, ayahnya Buddha, awalnya
dia mengikuti ayahnya, menjelang remaja, dia mengaku sering galau, tidak tenang,
karena banyak masalah, entah dia tidak cerita apa masalahnya. Dia memperhatikan
ibunya yang mendirikan solat, dia pikir, dengan solat, setidaknya dia dapat
mengadu kepada ‘Tuhan’ setiap hari, kira-kira begitu katanya. Akhirnya dia
memutuskan untuk menjadi muallaf, dan dia mengaku setelah muallaf, hatinya
lebih damai. Saya bergidik mendengarnya.
Setiap hari saya berdoa, saya
tetapkan hati saya bahwa ini untuk belajar. Saat ini sudah berjalan bulan
ke-tiga, sedang muak-muaknya dengan akuntansi keuangan, administrasi pajak SMK,
yang tidak saya kuasai materinya. Saya memang sudah katakan, saya tidak bisa
bertahan disekolah ini lebih lama, mungkin tidak lama lagi saya harus pergi dan
mencari tempat untuk belajar yang lain. Saya butuh melebarkan sayap, mengenal
banyak teman, berdiskusi dengan banyak orang, bertemu dengan berbagai macam
jenis siswa. Meski secara materi memang tidak menguntungkan, tapi saya selalu
yakin, bagaimana pun pengalaman yang saya lalui, pasti ada hikmah. Iya, keyakinan
nomor satu, meski hati lemah, dan penuh keluh.
Tapi, keyakinan gak bisa dimakan,
haha.
Cek
BalasHapus