Rasa yang mana yang akan kusebut nestapa.
Sebenarnya aku malu menyebutnya begitu.
Malam-malam yang diam, menghukumku dengan kesendirian.
Bercanda ria dengan air mata, namun masih tanpa kata-kata.
Dengan bernafsu, kuteguk air itu tak bersisa,
haus rasanya, dan masih dengan malam yang tanpa suara.
Aku masih berpikir lebih dalam tentang rasa dan kata-kata.
Kini, biarkan aku menari dengan para nestapa.
Akhirnya payah membuatku mengakui bahwa ini nestapa.
Menertawakan setiap air mata yang pernah jatuh dipangkuan sajadah.
Melapangkan relung-relung yang sempit jauh didalam dada.
Sering dilanda rindu pada bahu yang tepat.
Bersusah payah membuka celah-celah gerbang jiwa yang berkarat.
Tersadar, hitamnya jiwaku ikut membantu menutupi terang Cahaya-Nya.
Seketika pandangan gelap menegur perasaanku yang buram.
Sedetik kemudian aku terbangun dengan hela napas yang lebih dalam.
Lalu kusudahi nestapa ini, bersamaan dengan kedua salam dan istighfar.
Komentar
Posting Komentar