Langsung ke konten utama

Ummah, Khilafah, dan Imamah

(essay ini saya tulis dalam memenuhi tugas mata kuliah Politik Islam)

Ummah, Khilafah, dan Imamah
(Irma Ayu Sawitri – 11130150000*2 – irma.ayus13@mhs.uinjkt.ac.id )

Ummah
Menurut Ibn Manzhur (1994) dalam Asrosi (1999), ummah adalah kata yang berbentuk tunggal. Dan umam adalah bentuk jamaknya. Ia berasal dari akar kata ammaya’ummu-amman, artinya “menuju”, “menjadi”, “ikutan”, dan “gerakan”[1].
            Kemudian ummah menurut salah satu pemikir muslim Ali Syari’ati (1989) dalam Asrosi (1999) adalah, bahwa ummah memiliki keunggulan muatan makna, yakni bermakna kemanusiaan yang dinamis, bukan entitas beku dan statis. Ummah menurut Syari’ati berasal dari kata amma, artinya bermaksud (qashada) dan berniat keras (‘azima). Pengertian ini memuat tiga makna : “gerakan”, “tujuan”, dan “ketetapan hati yang sadar”.[2]
            Istilah tersebut mengandung beberapa muatan, antara lain: konsep kebersamaan dalam arah dan tujuan; konsep gerakan menuju arah dan tujuan tersebut; serta konsep keharusan adanya pemimpin dan petunjuk kolektif. Dengan demikian, ummah bagi Syari’ati adalah “kumpulan manusia yang para anggotanya memiliki tujuan yang sama, satu sama lain bahu-membahu, bergerak menuju cita-cita bersama, berdasarkan kepemimpinan bersama”.[3]
            Makna dasar kata ummah adalah menumpu, meneladani, atau menuju. Dari sisi paradigmatik kata ummah dalam Al-Qur’an memiliki nilai-nilai religius karena selalu dihubungkan dengan konsep Allah, rasul, kitab dan ajal. Kata ummah juga memiliki padanan semantik dengan kata qaum, qabilah, firqah, syu’ub. Namun ummah sebenarnya memiliki makna yang berbeda. Ummah di dalam Al-Qur’an memiliki makna yang lebih kompleks. Ummah tidak saja hanya ditujukan untuk manusia, namun juga untuk binatang. Kemudian ummah juga tidak hanya ditujukan untuk sebagian kelompok manusia. Namun juga untuk seluruh manusia yang didasarkan pada prinsip tauhid.[4]
            Tauhid adalah meyakini keesaan Allah, melalui sistem nilai tauhid tersebut kemudian melahirkan suatu pandangan atau pemikiran atau ideologi yang kemudian terkumpul menciptakan komunitas atau kumpulan yang disebut jama’ah dan dalam skala yang lebih besar disebut dengan ummah. Kemudian komunitas atau perkumpulan tersebut secara intern dan ekstern akan membentuk sistem kelembagaan dan sistem otoritasnya sendiri.
            Dalam surah al-Baqarah/2:143, umat Islam memiliki predikat lain,yakni ummah wasath (masyarakat pertegahan atau masarakat berimbang). Ayat tersebut berbunyi :
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً 
            Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat islam), umat yang adil da pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu...
Kuntowijoyo (1997) dalam Asrosi (1999), menurut ayat tersebut keutamaan Ummah Islam adaah pada cirinya yang wasath yaitu moderat, atau ditengah-tengah.[5]
Ummah bukan semata wujud beku yang tersatukan oleh perekat tertentu, namun suatu komunitas yang memiliki visi etis, profetik dan transformatif. Dan Ummah juga mempunyai muatan yang dinamis. Ummah yang dimaksud bisa berupa sekelompok tertentu dalam masyarakat, organisasi, pemerintah atau negara, sebagai bagian dari masyarakat.[6]
Ummah menjadi identitas bersama bagi kerja sama antar kelompok sosial yang berbeda dan syarat pluralistik. Konsep ummah telah dipraktikkan oleh Rasulullah ketika beliau hijrah ke Madinah. Konsep ummah tertuang dalam piagam Madinah, juga menjadi kunci untuk memahami komunitas warga Madinah.
Pada kekuasaan di Madinah, terdapat prinsip timbal balik yang saling menguntungkan. Rakyat memegang konsekuensi harus menaati pemimpinnya selama pemerintahan berjalan dengan adil, juga rakyat diberi kewenangan untuk mengeluarkan suaranya terhadap pemimpin apabila ada kesalahan pada pemimpinnya. Dan pemimpin memiiki hak atas ketaatan rakyatnya. Keberadaan Nabi Muhammad sebagai pemimpin kala itu menjadikan posisi kepemimpinannya semakin kokoh dan juga disegani oleh rakyat. Dan Nabi Muhammad justru tidak berlau otoriter atas keadaan tersebut. Justru Muhammad menjadikan kesempatan tersebut untuk mengembangkan politik yang terbuka, dan transparant.
Ummah dan penguasa bisa bekerja sama secara proporsional dan harmonis namun tetap saling kritis untuk bersama-sama mewujudkan tatanan yang damai, adil, terbuka demokratis dan berperadaban.[7]
Khilafah
            Dalam Islam, konsep politik kenegaraan belum terbentuk secara jelas, meskipun pada saat itu yang ada hanya komunitas religius (umat). Pada perkembangan selanjutnya, konsep politik kenegaraan muncul dalam konsep Khilafah dan Imamah, dan teori tersebut merupakan hasil kerja dari para teolog Islam dan ahli hukum.[8]
            Kata khilafah dalam gramatika bahasa Arab merupakan bentuk kata benda verbal yang mensyaratkan adanya subyek atau pelaku yang aktif yang disebut khalifah. Kata khilafah dengan demikian menunjuk pada serangkaian tindakan yang dilakukan oleh seseorang, yaitu seseorang yang disebut khalifah.[9]
            Dewasa ini kebanyakan kaum muslim beranggapan bahwa konsep Khilafah memiliki kedudukan yang sama seperti Rasulullah dihadapan umatnya. Dengan ketaatan yang menyeluruh dan pemimpin memiliki wewenang untuk mengatur dalam urusan agama dan hukum serta melaksanakan syari’at untuk mengatur urusan negara. Namun dalam sejarahnya, saat kepemimpinan Nabi di Madinah hingga beliau meninggal dan diteruskan oleh para sahabatnya atau yang di sebut dengan Khulafaur Rasyidin, bentuk pemerintahan yang terjadi adalah republik atau pemimpin dipilih langsung oleh rakyat.
            Sepeninggal Rasulullah, empat orang pengganti beliau adalah para pemimpin yang adil dan benar. Mereka menyelamatkan dan mengembangkan dasar-dasar tradisi dari sang Guru Agung bagi kemajuan Islam dan umatnya.[10]Menurut Munawir (1993) dalam Riyadi (2008), masa empat Khulafa’ al-Rasyidun masing-masing menjadi khalifah melalui sistem yang bervariasi. Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama melalui pemilihan di Saqifah Bani Sa’idah dua hari setelah Nabi wafat melalui majelis musyawarah. Umar bin Khattab mendapat kepercayaan sebagai khalifah kedua tidak melalui pemilihan dalam forum musyawarah terbuka, tetapi melalui wasiat pendahulunya, Abu Bakar. Utsman bin Affan menjadi khalifah yang ketiga melalui pemilihan oleh sekelompok orang-orang yang telah ditetapkan oleh Umar sebelum wafat. Sementara Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah yang keempat melalui pemilihan yang penyelenggaraannya jauh dari sempurna.[11]
            Abu Bakar
            Setelah Abu Bakar diangkat sebagai khalifah, Abu bakar memberikan pidato yang menunjukkan totalitas kepribadian dan komitmennya terhadap nilai-nilai Islam dan strategi meraih keberhasilan tertinggi bagi umat Islam setelah sepeninggalan Rasulullah. Berikut kutipan pidato Abu Bakar yang terkenal itu yang dikutip dari Ibnu Hisyam (1937) oleh Samsul (2014) :
“ Wahai manusia ! Aku telah diangkat untuk engendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang terbaik di antaramu. Maka jikalau aku dapat menuaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutilah) aku, tetapi jika aku  berlaku salah, maka luruskanlah ! Orang yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak dari padanya. Sedangkan orang yang kamu ligat lemah, aku pandang kuat sampai aku dapat mengembalikan haknya kepadanya. Maka hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taak kepada Allah dan Rasul-Nya, namun bilamana aku tiada memauthi Allah dan Rasul-Nya. Kamu tidaklah perlu menaatiku”.[12]
Terpilihnya Abu Bakar kembali membangkitkan semangat umat muslim. Yang pertama kali ingin direalisasikan adalah keinginan Rasulullah yang hampir tidak terlaksana untuk mengiri ekspedisi ke Suriah dan membalas pembbunuhan ayahnya Zaid serta kerugian umat muslim dalam kekahalan di perang Mu’tah. Sebagai sahabat menentang keputusan khalifah ini, namun khalifah tidak perduli dan tetap melaksanakannya. Kemudian ekspedisi tersebut berhasil dan memberikan efek yang sangat positif pada umat muslim.
Kemudian yang dihadapi oleh Khalifah Abu Bakar adalah para kaum muslim yang masih lemah iannya. Tidak sedikit orang islam yang masih lemah imannya justru murtad keluar dari ajaran islam. Mereka berpikir perjanjian yang telah terjadi dengan Nabi Muhammad dianggap telah selesai secara otomatis seiring dengan meninggalnya Nabi Muhammad.
Mereka melakukan gerakan pengingkaran terhadap islam. Secara politis mereka telah melakukan pembangkangan terhadap lembaga khalifah. Khalifah kemudian melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka. Mula-mula hal itu dimaksudkan sebagai tekanan untuk mengajak mereka kembali ke jalan yang benar, lalu berkembang menjadi perang merebut kemenangan. Tindakan pembersihan juga dilakkan untuk menumpas nabi-nabi palsu dan orang-orang yang enggan membayar zakat.[13]
Khalifah Abu Bakar menjadi khalifah sekitar 2 tahun. Beliau meninggal pada usia 63 tahun, setelah sebelumnya 15 hari terbaring sakit.
            Umar bin Khatab
            Sebelum meninggal, khalifah Abu Bakar telah menunjuk Umar sebagai penerusnya. Meskipun proses pengangkatan Umar sebagai khalifah adalah hal baru, namun tetap sebenarnya proses pemilihan Umar dilakukan secara demokratis dan musyawarah, dengan usulan Abu Bakar kemudian diteruskan kepada rakyat.
            Ketika para pembangkang di dalam negeri telah dikikis habis oleh Khalifah Abu Bakar, dan era penaklukan militer telah dimulai maka Khalifah Umar menganggap bahwa tugas pertamanya adalah mensukseskan ekspedisi yang dirintis oleh pendahulunya. Belum genap satu tahun memerintah, Umar berhasil memperluas wilayah kekuasaan dengan menundukkan Damaskus yang merupakan ibu kota Syiria pada tahun 635 M. Setelah pertempuran hebat di lembah Yarmuk di sebeah timur anak sungai Yordania, pasukan Romawi yang terkenal kua itu tunduk kepada pasukan-pasukan Islam.[14]
            Khalifah Umar berhasil memperluas wilayah kekuasaan ke Syiria dan Mesir dengan pusat kekuasaan Islam di Madinah. Khalifah Umar berhasil membuat dasar-dasar pemerintahan yang handal. Khalifah Umar juga menerapkan prinsip Demokrasi dalam pemerintahannya.
            Khalimah Umar memimpin selama sekitar 6 tahun. Khalifah Umar meninggal dengan cara yang tragis dengan ditikam oleh budak bangsa Persia saat Khalifah Umar ingin menunaikan shalat Subuh di masjid Nabawi. Dari pembaringannya Khalifah Umar mengankat “Syura” (Komisi pemilih) yang akan meneruskan kekhalifahannya. Kemudian Khalifah Umar meniggal 3 hari setelah beliau ditikam.
            Ustman Bin Affan
            Khalifah Umar membentuk sebuah komisi yang terdiri dari enam orang calon, dengan perintah memiih salah seorang dari mereka untuk diangkat menjadi khalifah baru. Diantara calon-calon yang ada, Khalifah Ustman bersaing ketat dengan Ali. Namun kemudian sidang Syura akhirnya memberi mandat kepada Ustman Bin Affan sebagai Khalifah selanjutnya.
            Masa pemerintahan Khalifah Ustman adalah yang terpanjang dari seluruh khalifah di zaman para Khalifah Rasyidah, yaitu 12 tahumn, tetapi sejarah mencatat tidak seluruh masa kekuasaannya menjadi saat yang baik dan sukses baginya. Para penulis sejarah membagi zaman pemerintahan Ustman menjadi dua periode, yaitu enam tahun pertama merupakan masa kejayaan pemerintahannya dan tahun terakhir merupakan masa pemerintahan yang buruk.[15]
            Ali Bin Abi Thalib
            Tugas pertama yang dilakukan oleh Khalifah Ali ialah menghidupkan cita-cita Abu Bakar dan Umar, menarik kembali semua tanah dan hibah yang telah dibagikan oleh Ustman kepada kaum kerabatnya ke dalam kepemilikan negara.[16]
Imamah
            Imamah menurut bahasa berarti “kepemimpinan”. Imam artinya “pemimpin”, seperti “ketua” atau yang lainnya, baik dia memberikan petunjuk ataupun menyesatkan. Imam juga disebut khalifah, yaitu penguasa dan pemimpin tertinggi rakyat. Kata imam juga digunakan untuk orang yang mengatur kemaslahatan sesuatu, untuk pemimpin pasukan, dan untuk orang dengan fungsi lainnya.[17]
            Secara etimologi, kata imam berarti “pemegang kekuasaan atas umat islam”.[18] Menurut al-Mawardi (2000) dalam Muhibbin (2009), yang dimaksud imamah adalah ”suatu lembaga kepala negara dan pemerintahan yang diadakan sebagai pengganti fungsi kenabian dalam rangka menjaga agama dan mengatur dunia.”[19]             
Adapun kata-kata imamah ditakrifkan oleh Al-Maawardi dengan :
الامامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين و سياسة الدنيا
“Imamah adalah suatu kedudukan atau jabatan yang diadakan untuk mengganti tugas kenabian di dalam memelihara agama dan mengendalikan dunia.”
            Defenisi lain dikemukakan oleh Al-Iji sebagai berikut :
            Imamah adalah negara besar yang mengatur urusan-urusan agama dan dunia. Tetapi, lebih tepat lagi apabila dikaitkan bahwa imamah adalah pengganti Nabi di dalam menegakkan agama.”
            Dari defenisi diatas tampak jelas para ulama mendahulukan masalah-masalah agama dan memelihara agama dari pada persoalan duniawi. Hal ini rupanya diperlukan untuk membedakan antara lembaga imamah dengan lembaga lainnya.[20]
Mengingat bahwa dampak menguntungkan eksistensi para iam tidak hanya terbatas pada eksistensi mereka di dalam kekuasaan politik; mereka melaksanakan fungsi-fungsi yang telah ditetapkan bagi mereka dalam berbagai sendi kehidupan lainnya. Seorang imam bertanggung jawab untuk melestarikan kebenaran agama dan menjaga agama agar tidak dikotori oleh penyimpangan.[21]
Salah satu fungsi dan sifat imamah adalah menyebarluaskan bimbingan batin kepada manusia. Ini bukanlah sekedar bimbingan lahir dalam persoalan-persoalan hukum dan syariah; ini adalah posisi (maqam) yang agung dan mulia, yang telah dilimpahkan oleh Tuhan kepada orang-orang pilihan di antara makhluk-Nya.[22]





Referensi
Alghofiqi, Adlul, “Konsep Imamah, Khilafah, Imarah, Sulthan, Diwan, Wazir, Hijab, Katib”, diakses pada 21 September 2016 dari file:///C:/Users/IRMA/Downloads/Konsep%20Imamah,%20Khilafah,%20Imarah,%20Sulthan,%20Diwan,%20Wazir,%20Hijab,%20Katib%20_%20Tugas%20Kuliah.html.
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : AMZAH, 2014.
As-Salus, Ali Ahmad, Imamah & Khilafah dalam Tinjauan Syar’i, Jakarta : Gema Insani Press, 1997.
Fitria, Vita dan Sri Agustin, “Civil Society, Konsep Ummah Dan Masyarakat Madani”, MKU-UNY, h.18
Karni, Asrori. S, Civil Society dan Ummah; Sintesa Diskursif “Rumah” Demokrasi, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.
Lari, Sayid Mujtaba Musawi,  Imam Penerus Nabi Muhammad SAW : Kajian Historis, teologis, dan filosofis, Jakarta : Lentera, 2004.
Mukti, Nanang Abdul, “Khilafah Dalam Perspektif Abu Al-A’la Al-Maududi dan Hasan Al-Banna”, (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2009).
Riyadi, Dedy Slamet, “Analisis Terhadap Konsep Khilafah Menurut Hizbut Tahrir”, Skripsi S1 Fakultas Syari’ah, Institut Agama Islam Negeri Walisongo, 2008.
Shadiq, Akhmad Fajarus, “Konsep Ummah dalam Alqur’an; Sebuah Analisis Semantik Toshihiko Izutsu”, Skripsi S1 Fakultas Ushluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2016.
Sudrajat, Ajat, “Khilafah Islamiyah dalam Perspektif Sejarah”, Ilmu Sejarah FISE UNY, h.3




[1] Asrori. S Karni, Civil Society dan Ummah; Sintesa Diskursif “Rumah” Demokrasi, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), h.47
[2] Asrosi, Civil Society dan Ummah, h.48
[3] Asrosi, Civil Society dan Ummah, h.49
[4] Akhmad Fajarus Shadiq, “Konsep Ummah dalam Alqur’an; Sebuah Analisis Semantik Toshihiko Izutsu”, (Skripsi S1 Fakultas Ushluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2016), h.77
[5] Asrosi, Civil Society dan Ummah, h.61
[6] Vita Fitria dan Sri Agustin, “Civil Society, Konsep Ummah Dan Masyarakat Madani”, MKU-UNY, h.18
[7] Fitria dan Agustin, “Civil Society, Konsep Ummah Dan Masyarakat Madani”, h.19
[8] Nanang Abdul Mukti, “Khilafah Dalam Perspektif Abu Al-A’la Al-Maududi dan Hasan Al-Banna”, (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2009).
[9] Ajat Sudrajat, “Khilafah Islamiyah dalam Perspektif Sejarah”, Ilmu Sejarah FISE UNY, h.3
[10] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : AMZAH, 2014), h.93
[11] Dedy Slamet Riyadi, “Analisis Terhadap Konsep Khilafah Menurut Hizbut Tahrir”, (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah, Institut Agama Islam Negeri Walisongo, 2008).
[12] Samsul, Sejarah Peradaban Islam, h.93
[13] Samsul, Sejarah Peradaban Islam, h.95
[14] Samsul, Sejarah Peradaban Islam, h.99
[15] Samsul, Sejarah Peradaban Islam, h.105
[16] Samsul, Sejarah Peradaban Islam, h.110
[17] Ali Ahmad As-Salus, Imamah & Khilafah dalam Tinjauan Syar’i, (Jakarta : Gema Insani Press, 1997), h.15
[18] Ahmad As-Salus, Imamah & Khilafah dalam Tinjauan Syar’i, h.16
[20] Adlul Alghofiqi, “Konsep Imamah, Khilafah, Imarah, Sulthan, Diwan, Wazir, Hijab, Katib”, diakses pada 21 September 2016 dari file:///C:/Users/IRMA/Downloads/Konsep%20Imamah,%20Khilafah,%20Imarah,%20Sulthan,%20Diwan,%20Wazir,%20Hijab,%20Katib%20_%20Tugas%20Kuliah.html.
[21] Sayid Mujtaba Musawi Lari,  Imam Penerus Nabi Muhammad SAW : Kajian Historis, teologis, dan filosofis, (Jakarta : Lentera, 2004), h.166
[22] Musawi Lari,  Imam Penerus Nabi Muhammad SA, h.179

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cyclo Progynova #part1

Ehem, kali ini saya akan ceritakan sedikit pengalaman saya mengonsumsi Cyclo Progynova. Saya memiliki masalah dengan hormon. Secara fisik, badan saya tidak ideal memang, tinggi saya sekitar 160cm dan berat badan 42kg. Saya sangat tau bahwa berat badan saya tidak ideal, bisa dibilang sangat kurang. Tapi apalah dikata, saya memang sulit untuk gemuk. Hehe. Saya memiliki masalah dengan siklus haid. Sejak saya sekolah, haid saya sudah tidak teratur. Kadang lancar, kadang engga. Bulan ini haid lancar, bulan depan saya bisa enggak dapat haid. Atau saya pernah mengalami darah Istihadah. Selama sebulan full saya mendapati pendarahan serupa haid, dan hal tersebut sangat meresahkan. Saya galau sekali memikirkan hukum suci saya. Memang sih, kalau lebih dari 15 hari masih ada darah. Saya dikatakan wajib beribadah dan hukumnya sama seperti saya ketika suci. Tapi bagian paling merepotkan adalah ketika saya harus memastikan bahwa saya 'bersih' dan saya harus bersih-bersih sebel

Cyclo Progynova #part2

Yak... Ini lanjutan review yang pernah aku buat tahun lalu, yaitu mengenai Cyclo Progynova. Aku memang sengaja tidak ingin menulis kelanjutannya, tapi karena ada beberapa teman yang menghubungiku untuk menanyakan lanjutan ceritanya, maka baiklah, aku akan melanjutkannya. Well, sebenarnya aku memang malas melanjutkan untuk menulis cerita tentang ini, karena aku mengalami sedikit kekecewaan, aku malah takut orang lain yang membacanya malah ikutan kecewa, wkwk. Padahal kan pengalaman kita bisa berbeda. Jadi sebenarnya aku tidak mengonsumsinya sampai 3 blister. Aku berhenti ketika blister kedua habis, dan ternyata hal tersebut berdampak kurang baik. Aku mengalami flek-flek tidak menentu kadang ada, kadang tidak ada, dengan kurun waktu yang tidak bisa ditebak, seminggu ada, seminggu hilang, dan hal tersebut berlangsung selama sekitar satu semester alias 4 bulan, kira-kira selama aku semester 7. Jadi, aku selesai mengonsumsi blister kedua itu tepat saat setelah liburan lebaran

Syura, Ahlul Halli wal Aqdi, dan Bay’ah wal Mubayaah

(essay ini saya tulis dalam memenuhi tugas mata kuliah Politik Islam) Syura, Ahlul Halli wal Aqdi, dan Bay’ah wal Mubayaah ( Irma Ayu Sawitri – 1113015000092 – irma.ayus13@mhs.uinjkt.ac.id ) Syura             Kata syura memiliki pengertian yang sangat beragam. Sesungguhnya istilah syura berasal dari kata sy-wa-ra, syawir yang berarti berkonsultasi, menasehati, memberi isyarat, petunjuk dan nasehat. Pendapat yang lain mengatakan pula bahwa syura memiiki kata kerja syawara-yusyawiru  yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan untuk mengambil sesuatu. Menurut Imam Syahid Hasan al-Banna Syura adalah suatu proses dalam mencari sebuah keputusan atau kesepakatan yang berdasarkan pada suara terbanyak dan berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan hendaklah setiap urusan itu diserahkan kepada para ahlinya demi mewujudkan suatu hasil yang maksimal dalam rangka menjaga stabilitas antara pemimpin dengan rakyat. [1]             Secara istilah penggunaan kata   syura menga