(essay ini saya tulis dalam memenuhi tugas mata kuliah Politik Islam)
Ummah, Khilafah, dan Imamah
Ummah
Menurut Ibn Manzhur (1994) dalam Asrosi (1999), ummah adalah
kata yang berbentuk tunggal. Dan umam adalah bentuk jamaknya. Ia berasal
dari akar kata ammaya’ummu-amman, artinya “menuju”, “menjadi”, “ikutan”,
dan “gerakan”[1].
Kemudian ummah menurut
salah satu pemikir muslim Ali Syari’ati (1989) dalam Asrosi (1999) adalah,
bahwa ummah memiliki keunggulan muatan makna, yakni bermakna kemanusiaan
yang dinamis, bukan entitas beku dan statis. Ummah menurut Syari’ati
berasal dari kata amma, artinya bermaksud (qashada) dan berniat
keras (‘azima). Pengertian ini memuat tiga makna : “gerakan”, “tujuan”,
dan “ketetapan hati yang sadar”.[2]
Istilah tersebut
mengandung beberapa muatan, antara lain: konsep kebersamaan dalam arah dan
tujuan; konsep gerakan menuju arah dan tujuan tersebut; serta konsep keharusan
adanya pemimpin dan petunjuk kolektif. Dengan demikian, ummah bagi
Syari’ati adalah “kumpulan manusia yang para anggotanya memiliki tujuan yang
sama, satu sama lain bahu-membahu, bergerak menuju cita-cita bersama,
berdasarkan kepemimpinan bersama”.[3]
Makna dasar kata ummah
adalah menumpu, meneladani, atau menuju. Dari sisi paradigmatik kata ummah
dalam Al-Qur’an memiliki nilai-nilai religius karena selalu dihubungkan dengan
konsep Allah, rasul, kitab dan ajal. Kata ummah juga memiliki padanan
semantik dengan kata qaum, qabilah, firqah, syu’ub. Namun ummah
sebenarnya memiliki makna yang berbeda. Ummah di dalam Al-Qur’an
memiliki makna yang lebih kompleks. Ummah tidak saja hanya ditujukan
untuk manusia, namun juga untuk binatang. Kemudian ummah juga tidak
hanya ditujukan untuk sebagian kelompok manusia. Namun juga untuk seluruh
manusia yang didasarkan pada prinsip tauhid.[4]
Tauhid adalah
meyakini keesaan Allah, melalui sistem nilai tauhid tersebut kemudian
melahirkan suatu pandangan atau pemikiran atau ideologi yang kemudian terkumpul
menciptakan komunitas atau kumpulan yang disebut jama’ah dan dalam skala
yang lebih besar disebut dengan ummah. Kemudian komunitas atau
perkumpulan tersebut secara intern dan ekstern akan membentuk sistem
kelembagaan dan sistem otoritasnya sendiri.
Dalam surah
al-Baqarah/2:143, umat Islam memiliki predikat lain,yakni ummah wasath
(masyarakat pertegahan atau masarakat berimbang). Ayat tersebut berbunyi :
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً
Dan demikian (pula)
kami telah menjadikan kamu (umat islam), umat yang adil da pilihan agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas (perbuatan) kamu...
Kuntowijoyo (1997) dalam Asrosi (1999), menurut ayat tersebut
keutamaan Ummah Islam adaah pada cirinya yang wasath yaitu
moderat, atau ditengah-tengah.[5]
Ummah bukan semata wujud beku yang tersatukan oleh perekat tertentu,
namun suatu komunitas yang memiliki visi etis, profetik dan transformatif. Dan
Ummah juga mempunyai muatan yang dinamis. Ummah yang dimaksud bisa berupa
sekelompok tertentu dalam masyarakat, organisasi, pemerintah atau negara,
sebagai bagian dari masyarakat.[6]
Ummah menjadi
identitas bersama bagi kerja sama antar kelompok sosial yang berbeda dan syarat
pluralistik. Konsep ummah telah dipraktikkan oleh Rasulullah ketika
beliau hijrah ke Madinah. Konsep ummah tertuang dalam piagam Madinah,
juga menjadi kunci untuk memahami komunitas warga Madinah.
Pada kekuasaan di Madinah, terdapat prinsip timbal balik yang
saling menguntungkan. Rakyat memegang konsekuensi harus menaati pemimpinnya
selama pemerintahan berjalan dengan adil, juga rakyat diberi kewenangan untuk
mengeluarkan suaranya terhadap pemimpin apabila ada kesalahan pada pemimpinnya.
Dan pemimpin memiiki hak atas ketaatan rakyatnya. Keberadaan Nabi Muhammad
sebagai pemimpin kala itu menjadikan posisi kepemimpinannya semakin kokoh dan
juga disegani oleh rakyat. Dan Nabi Muhammad justru tidak berlau otoriter atas
keadaan tersebut. Justru Muhammad menjadikan kesempatan tersebut untuk
mengembangkan politik yang terbuka, dan transparant.
Ummah dan penguasa
bisa bekerja sama secara proporsional dan harmonis namun tetap saling kritis
untuk bersama-sama mewujudkan tatanan yang damai, adil, terbuka demokratis dan berperadaban.[7]
Khilafah
Dalam Islam, konsep politik kenegaraan belum terbentuk secara
jelas, meskipun pada saat itu yang ada hanya komunitas religius (umat). Pada
perkembangan selanjutnya, konsep politik kenegaraan muncul dalam konsep Khilafah
dan Imamah, dan teori tersebut merupakan hasil kerja dari para teolog
Islam dan ahli hukum.[8]
Kata khilafah
dalam gramatika bahasa Arab merupakan bentuk kata benda verbal yang
mensyaratkan adanya subyek atau pelaku yang aktif yang disebut khalifah.
Kata khilafah dengan demikian menunjuk pada serangkaian tindakan yang dilakukan
oleh seseorang, yaitu seseorang yang disebut khalifah.[9]
Dewasa ini
kebanyakan kaum muslim beranggapan bahwa konsep Khilafah memiliki
kedudukan yang sama seperti Rasulullah dihadapan umatnya. Dengan ketaatan yang
menyeluruh dan pemimpin memiliki wewenang untuk mengatur dalam urusan agama dan
hukum serta melaksanakan syari’at untuk mengatur urusan negara. Namun dalam
sejarahnya, saat kepemimpinan Nabi di Madinah hingga beliau meninggal dan diteruskan
oleh para sahabatnya atau yang di sebut dengan Khulafaur Rasyidin, bentuk
pemerintahan yang terjadi adalah republik atau pemimpin dipilih langsung oleh
rakyat.
Sepeninggal
Rasulullah, empat orang pengganti beliau adalah para pemimpin yang adil dan
benar. Mereka menyelamatkan dan mengembangkan dasar-dasar tradisi dari sang
Guru Agung bagi kemajuan Islam dan umatnya.[10]Menurut
Munawir (1993) dalam Riyadi (2008), masa empat Khulafa’ al-Rasyidun masing-masing
menjadi khalifah melalui sistem yang bervariasi. Abu Bakar menjadi khalifah
yang pertama melalui pemilihan di Saqifah Bani Sa’idah dua hari setelah Nabi
wafat melalui majelis musyawarah. Umar bin Khattab mendapat kepercayaan sebagai
khalifah kedua tidak melalui pemilihan dalam forum musyawarah terbuka, tetapi melalui
wasiat pendahulunya, Abu Bakar. Utsman bin Affan menjadi khalifah yang ketiga
melalui pemilihan oleh sekelompok orang-orang yang telah ditetapkan oleh Umar
sebelum wafat. Sementara Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah yang keempat
melalui pemilihan yang penyelenggaraannya jauh dari sempurna.[11]
Abu Bakar
Setelah Abu Bakar diangkat sebagai khalifah, Abu bakar memberikan
pidato yang menunjukkan totalitas kepribadian dan komitmennya terhadap
nilai-nilai Islam dan strategi meraih keberhasilan tertinggi bagi umat Islam
setelah sepeninggalan Rasulullah. Berikut kutipan pidato Abu Bakar yang
terkenal itu yang dikutip dari Ibnu Hisyam (1937) oleh Samsul (2014) :
“ Wahai manusia ! Aku telah diangkat untuk engendalikan urusanmu,
padahal aku bukanlah orang terbaik di antaramu. Maka jikalau aku dapat
menuaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutilah) aku, tetapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah ! Orang yang
kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak dari padanya.
Sedangkan orang yang kamu ligat lemah, aku pandang kuat sampai aku dapat
mengembalikan haknya kepadanya. Maka hendaklah kamu taat kepadaku selama aku
taak kepada Allah dan Rasul-Nya, namun bilamana aku tiada memauthi Allah dan
Rasul-Nya. Kamu tidaklah perlu menaatiku”.[12]
Terpilihnya Abu Bakar kembali membangkitkan semangat umat muslim.
Yang pertama kali ingin direalisasikan adalah keinginan Rasulullah yang hampir
tidak terlaksana untuk mengiri ekspedisi ke Suriah dan membalas pembbunuhan
ayahnya Zaid serta kerugian umat muslim dalam kekahalan di perang Mu’tah.
Sebagai sahabat menentang keputusan khalifah ini, namun khalifah tidak perduli
dan tetap melaksanakannya. Kemudian ekspedisi tersebut berhasil dan memberikan
efek yang sangat positif pada umat muslim.
Kemudian yang dihadapi oleh Khalifah Abu Bakar adalah para kaum
muslim yang masih lemah iannya. Tidak sedikit orang islam yang masih lemah
imannya justru murtad keluar dari ajaran islam. Mereka berpikir perjanjian yang
telah terjadi dengan Nabi Muhammad dianggap telah selesai secara otomatis
seiring dengan meninggalnya Nabi Muhammad.
Mereka melakukan gerakan pengingkaran terhadap islam. Secara
politis mereka telah melakukan pembangkangan terhadap lembaga khalifah.
Khalifah kemudian melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka. Mula-mula
hal itu dimaksudkan sebagai tekanan untuk mengajak mereka kembali ke jalan yang
benar, lalu berkembang menjadi perang merebut kemenangan. Tindakan pembersihan
juga dilakkan untuk menumpas nabi-nabi palsu dan orang-orang yang enggan
membayar zakat.[13]
Khalifah Abu Bakar menjadi khalifah sekitar 2 tahun. Beliau
meninggal pada usia 63 tahun, setelah sebelumnya 15 hari terbaring sakit.
Umar bin
Khatab
Sebelum meninggal,
khalifah Abu Bakar telah menunjuk Umar sebagai penerusnya. Meskipun proses
pengangkatan Umar sebagai khalifah adalah hal baru, namun tetap sebenarnya
proses pemilihan Umar dilakukan secara demokratis dan musyawarah, dengan usulan
Abu Bakar kemudian diteruskan kepada rakyat.
Ketika para
pembangkang di dalam negeri telah dikikis habis oleh Khalifah Abu Bakar, dan
era penaklukan militer telah dimulai maka Khalifah Umar menganggap bahwa tugas
pertamanya adalah mensukseskan ekspedisi yang dirintis oleh pendahulunya. Belum
genap satu tahun memerintah, Umar berhasil memperluas wilayah kekuasaan dengan
menundukkan Damaskus yang merupakan ibu kota Syiria pada tahun 635 M. Setelah
pertempuran hebat di lembah Yarmuk di sebeah timur anak sungai Yordania,
pasukan Romawi yang terkenal kua itu tunduk kepada pasukan-pasukan Islam.[14]
Khalifah Umar
berhasil memperluas wilayah kekuasaan ke Syiria dan Mesir dengan pusat
kekuasaan Islam di Madinah. Khalifah Umar berhasil membuat dasar-dasar
pemerintahan yang handal. Khalifah Umar juga menerapkan prinsip Demokrasi dalam
pemerintahannya.
Khalimah Umar
memimpin selama sekitar 6 tahun. Khalifah Umar meninggal dengan cara yang
tragis dengan ditikam oleh budak bangsa Persia saat Khalifah Umar ingin
menunaikan shalat Subuh di masjid Nabawi. Dari pembaringannya Khalifah Umar
mengankat “Syura” (Komisi pemilih) yang akan meneruskan kekhalifahannya.
Kemudian Khalifah Umar meniggal 3 hari setelah beliau ditikam.
Ustman Bin
Affan
Khalifah Umar membentuk sebuah komisi yang terdiri dari enam orang
calon, dengan perintah memiih salah seorang dari mereka untuk diangkat menjadi
khalifah baru. Diantara calon-calon yang ada, Khalifah Ustman bersaing ketat
dengan Ali. Namun kemudian sidang Syura akhirnya memberi mandat kepada Ustman
Bin Affan sebagai Khalifah selanjutnya.
Masa pemerintahan
Khalifah Ustman adalah yang terpanjang dari seluruh khalifah di zaman para
Khalifah Rasyidah, yaitu 12 tahumn, tetapi sejarah mencatat tidak seluruh masa
kekuasaannya menjadi saat yang baik dan sukses baginya. Para penulis sejarah
membagi zaman pemerintahan Ustman menjadi dua periode, yaitu enam tahun pertama
merupakan masa kejayaan pemerintahannya dan tahun terakhir merupakan masa
pemerintahan yang buruk.[15]
Ali Bin Abi
Thalib
Tugas pertama yang
dilakukan oleh Khalifah Ali ialah menghidupkan cita-cita Abu Bakar dan Umar,
menarik kembali semua tanah dan hibah yang telah dibagikan oleh Ustman kepada
kaum kerabatnya ke dalam kepemilikan negara.[16]
Imamah
Imamah menurut bahasa
berarti “kepemimpinan”. Imam artinya “pemimpin”, seperti “ketua” atau yang
lainnya, baik dia memberikan petunjuk ataupun menyesatkan. Imam juga
disebut khalifah, yaitu penguasa dan pemimpin tertinggi rakyat. Kata imam
juga digunakan untuk orang yang mengatur kemaslahatan sesuatu, untuk pemimpin
pasukan, dan untuk orang dengan fungsi lainnya.[17]
Secara etimologi,
kata imam berarti “pemegang kekuasaan atas umat islam”.[18]
Menurut al-Mawardi (2000) dalam Muhibbin (2009), yang dimaksud imamah
adalah ”suatu lembaga kepala negara dan pemerintahan yang diadakan sebagai
pengganti fungsi kenabian dalam rangka menjaga agama dan mengatur dunia.”[19]
Adapun kata-kata imamah ditakrifkan oleh Al-Maawardi dengan :
الامامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة
الدين و سياسة الدنيا
“Imamah
adalah suatu kedudukan atau jabatan yang diadakan untuk mengganti tugas
kenabian di dalam memelihara agama dan mengendalikan dunia.”
Defenisi lain dikemukakan oleh Al-Iji sebagai berikut :
Imamah adalah negara besar yang mengatur urusan-urusan agama dan dunia. Tetapi,
lebih tepat lagi apabila dikaitkan bahwa imamah adalah pengganti Nabi di dalam
menegakkan agama.”
Dari defenisi diatas tampak jelas para ulama mendahulukan masalah-masalah agama
dan memelihara agama dari pada persoalan duniawi. Hal ini rupanya diperlukan
untuk membedakan antara lembaga imamah dengan
lembaga lainnya.[20]
Mengingat bahwa dampak menguntungkan eksistensi para iam tidak
hanya terbatas pada eksistensi mereka di dalam kekuasaan politik; mereka
melaksanakan fungsi-fungsi yang telah ditetapkan bagi mereka dalam berbagai
sendi kehidupan lainnya. Seorang imam bertanggung jawab untuk melestarikan
kebenaran agama dan menjaga agama agar tidak dikotori oleh penyimpangan.[21]
Salah satu fungsi dan sifat imamah adalah menyebarluaskan bimbingan
batin kepada manusia. Ini bukanlah sekedar bimbingan lahir dalam
persoalan-persoalan hukum dan syariah; ini adalah posisi (maqam) yang agung dan
mulia, yang telah dilimpahkan oleh Tuhan kepada orang-orang pilihan di antara
makhluk-Nya.[22]
Referensi
Alghofiqi, Adlul,
“Konsep Imamah, Khilafah, Imarah, Sulthan, Diwan, Wazir, Hijab, Katib”, diakses
pada 21 September 2016 dari
file:///C:/Users/IRMA/Downloads/Konsep%20Imamah,%20Khilafah,%20Imarah,%20Sulthan,%20Diwan,%20Wazir,%20Hijab,%20Katib%20_%20Tugas%20Kuliah.html.
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : AMZAH,
2014.
As-Salus, Ali
Ahmad, Imamah & Khilafah dalam Tinjauan Syar’i, Jakarta : Gema Insani
Press, 1997.
Fitria, Vita
dan Sri Agustin, “Civil Society, Konsep Ummah Dan Masyarakat Madani”, MKU-UNY,
h.18
Karni, Asrori.
S, Civil Society dan Ummah; Sintesa Diskursif “Rumah” Demokrasi, Jakarta :
Logos Wacana Ilmu, 1999.
Lari, Sayid
Mujtaba Musawi, Imam Penerus Nabi
Muhammad SAW : Kajian Historis, teologis, dan filosofis, Jakarta :
Lentera, 2004.
Mukti, Nanang
Abdul, “Khilafah Dalam Perspektif Abu Al-A’la Al-Maududi dan Hasan Al-Banna”,
(Skripsi S1 Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2009).
Riyadi, Dedy
Slamet, “Analisis Terhadap Konsep Khilafah Menurut Hizbut Tahrir”, Skripsi
S1 Fakultas Syari’ah, Institut Agama Islam Negeri Walisongo, 2008.
Shadiq, Akhmad
Fajarus, “Konsep Ummah dalam Alqur’an; Sebuah Analisis Semantik Toshihiko
Izutsu”, Skripsi S1 Fakultas Ushluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga, 2016.
Sudrajat, Ajat,
“Khilafah Islamiyah dalam Perspektif Sejarah”, Ilmu Sejarah FISE UNY, h.3
[1] Asrori.
S Karni, Civil Society dan Ummah; Sintesa Diskursif “Rumah” Demokrasi, (Jakarta
: Logos Wacana Ilmu, 1999), h.47
[2] Asrosi, Civil
Society dan Ummah, h.48
[3] Asrosi, Civil
Society dan Ummah, h.49
[4] Akhmad
Fajarus Shadiq, “Konsep Ummah dalam Alqur’an; Sebuah Analisis Semantik
Toshihiko Izutsu”, (Skripsi S1 Fakultas Ushluddin dan Pemikiran Islam,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2016), h.77
[5] Asrosi, Civil
Society dan Ummah, h.61
[6] Vita
Fitria dan Sri Agustin, “Civil Society, Konsep Ummah Dan Masyarakat Madani”,
MKU-UNY, h.18
[7] Fitria
dan Agustin, “Civil Society, Konsep Ummah Dan Masyarakat Madani”, h.19
[8] Nanang
Abdul Mukti, “Khilafah Dalam Perspektif Abu Al-A’la Al-Maududi dan Hasan
Al-Banna”, (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga, 2009).
[9] Ajat
Sudrajat, “Khilafah Islamiyah dalam Perspektif Sejarah”, Ilmu Sejarah FISE UNY,
h.3
[10] Samsul
Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : AMZAH, 2014), h.93
[11] Dedy
Slamet Riyadi, “Analisis Terhadap Konsep Khilafah Menurut Hizbut
Tahrir”, (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah, Institut Agama Islam Negeri Walisongo,
2008).
[12] Samsul,
Sejarah Peradaban Islam, h.93
[13] Samsul,
Sejarah Peradaban Islam, h.95
[14] Samsul,
Sejarah Peradaban Islam, h.99
[15] Samsul,
Sejarah Peradaban Islam, h.105
[16] Samsul,
Sejarah Peradaban Islam, h.110
[17] Ali
Ahmad As-Salus, Imamah & Khilafah dalam Tinjauan Syar’i, (Jakarta : Gema
Insani Press, 1997), h.15
[18] Ahmad
As-Salus, Imamah & Khilafah dalam Tinjauan Syar’i, h.16
[20] Adlul
Alghofiqi, “Konsep Imamah, Khilafah, Imarah, Sulthan, Diwan, Wazir, Hijab,
Katib”, diakses pada 21 September 2016 dari file:///C:/Users/IRMA/Downloads/Konsep%20Imamah,%20Khilafah,%20Imarah,%20Sulthan,%20Diwan,%20Wazir,%20Hijab,%20Katib%20_%20Tugas%20Kuliah.html.
[21] Sayid
Mujtaba Musawi Lari, Imam Penerus
Nabi Muhammad SAW : Kajian Historis, teologis, dan filosofis, (Jakarta : Lentera,
2004), h.166
[22] Musawi
Lari, Imam Penerus Nabi Muhammad SA, h.179
Istilah Imamah lebih akrab dikenal dikalangan Syi'ah,
BalasHapus