Setelah menjalani kegiatan kuliah di semester 7 yang luar biasa cukup melelahkan, akhirnya semester 8 pun tiba. Ini berarti tiba pula saat aku harus menjalani PPKT (Praktik Profesi Keguruan Terpadu). Aku harus memilih sekolah yang akan menjadi rumah belajar ku selama 4 bulan kedepan.
Pihak kampus memberikan kelonggaran bagi mahasiswa untuk memilih 3 sekolah dari sekian banyak sekolah yang telah menjalin kerja sama dengan kampus. Sesuai dengan kuota-kuota yang ada, maka kami akan disalurkan oleh kampus ke sekolah-sekolah yang bersedia menerima kami untuk melaksanakan PPKT.
Ada beberapa kendala yang aku alami sebelum mendapatkan sekolah yang bersedia mau menerimaku. Aku kira cerita tersebut cukup menarik, tapi akan aku ceritakan nanti setelah aku selesai menjalani PPKT selama 4 bulan lamanya, terhitung dari tanggal 23 Januari - 15 Mei.
23 Januari kemarin aku melaksanakan pembukaan PPKT di salah satu Madrasah Aliyah yang berlokasi di Jakarta Barat. Sedikit disayangkan, karena kelompok PPKT ku hanya terdiri dari 3 orang saja, aku, Vivi, dan Akbar. Sehingga beban yang kami pikul agak sedikit lebih berat, dari mulai biaya, dan yang lain-lain. Pada acara pembukaan seperti biasa, kami agak repot mempersiapkan segalanya, dari makanan, sampai kata-kata sambutan, namun karena hanya 3 orang dalam satu kelompok acara pembukaan dilaksanakan dengan santai, tidak terlalu formil dengan menggunakan MC, dan rundown acara.
Selesai melaksanakan pembukaan PPKT, aku langsung diajak oleh guru pamongku masuk kelas, untuk melaksanakan kegiatan asistensi. Jadi, setiap mahasiswa PPKT memiliki satu Guru Pamong yang akan membimbing kita selama kita menjalani kegiatan PPKT. Dua minggu pertama kami melakukan kegiatan asistensi, yaitu memperhatikan guru pamong mengajar dikelas. Dengan begini, sedikit banyak kita bisa tau bagaimana karakter anak-anak di kelas yang akan kita masuki.
Dua minggu berlalu begitu cepat. Akhirnya tiba pada saatnya aku memegang kelas sendiri. Aku sudah dapat membaca secara garis besar, bagaimana karakter anak-anak yang ada dikelas XI IPS 1 dan XI IPS 2. Kebetulan aku diamanati dua kelas tersebut. Untuk mata pelajaran Ekonomi masing-masing kelas terdapat 2 kali pertemuan dalam seminggu.
Diawal memulai pertemuan aku sedikit grogi, tapi aku bisa kendalikan diriku sendiri, aku anggap mereka teman-temanku, tidak beda seperti aku melakukan presentasi dikelas saat kuliah. Aku memperkenalkan kembali diriku, kemdian aku meminta pada mereka untuk menuliskan apa yang mereka maksud dengan mata pelajaran ekonomi, mengapa mereka harus belajar mata pelajaran ekonomi dan metode seperti apa yang mereka harapkan dalam mata pelajaran ekonomi. Dan mereka diminta juga untuk menuliskan nama dan kelasnya, agar aku pun dapat sedikit mengenali bagaimana mereka melalui tulisan mereka.
Beragam jawaban yang mereka tulis, tidak sedikit diantaranya mengeluhkan bahwa mereka kurang memahami materi, juga kegiatan belajar yang mereka rasa kurang menarik. Hal tersebut aku tanggapi biasa, aku mereview kembali ketika aku berada diposisi mereka dulu, keluhan tersebut adalah hal biasa, dan yang mereka butuhkan sebenarnya adalah perhatian dan motivasi, karena menurutku, keluhan dalam belajar tetaplah akan ada, karena dalam satu kelas ada banyak kepala yang berbeda-beda.
Tidak hanya keluhan, namun aku pun menemukan pernyataan-pernyataan yang menurutku sangat bagus. Di sisi mereka mengeluhkan kurang bisa mengerti pelajaran, ada beberapa pula yang mengatakan "sebenarnya saya suka mata pelajaran ekonomi...", ketika aku membacanya, aku langsung mengerti, bahwa yang mereka butuhkan adalah perhatian, dan motivasi.
Tempo hari, pada pertemuan kami yang ketiga, aku tidak sengaja curhat dengan anak-anak XI IPS 2 saat penutupan kelas. Di kelas ini anak-anaknya sedikit lebih ramai memang dibanding dengan anak XI IPS 1 yang dirasa lebih kalem. Bukan bermaksud ingin membanding-bandingkan, mereka semua sama-sama luar biasa, dan berbeda itu hal yang wajar.
Awalnya, aku bertanya pada mereka "menurut kalian sekolah itu capek gak sih? Sekolah berangkat pagi, pulang sore, disuruh hapalan Qur'an, banyak tugas juga" kemudain kata-kataku berlanjut dan sebenarnya hanya ingin menyampaikan bahwa "Hal terpenting dan mendasar dalam proses belajar adalah belajar untuk 'menerima'". Sayangnya, pembicaraan tersebut melebar tanpa aku sadari. Spontan, aku menceritakan bagaimana saat dulu aku gagal masuk jurusan IPA, kemudian terpuruk. Aku ceritakan bagaimana aku sangat berambisi ingin masuk jurusan IPA. Aku katakan pada mereka, aku kesulitan luar biasa pada mata pelajaran Fisika, karena ambisiku, aku tetap berjuang menerima pelajaran yang diberikan oleh guru. Namun, hasilnya nihil, karena aku ternyata dipilihkan kedalam Jurusan IPS oleh sekolah. Aku menangis tanpa malu ketika itu, ada bapak dan teman-teman. Dan benar saja, saat masuk sekolah tiba, ternyata aku menjadi pembicaraan, hingga ada seorang teman dari jurusan IPA mengatakan ingin bertukar denganku, namun saat itu aku mengatakan bahwa aku ingin menjalani yang sudah dipilihkan untukku, yaitu jurusan IPS. Lantas aku katakan pada mereka, "Apa kalian pikir awalnya saya mau di IPS ? Enggak. Tapi saya berusaha menerimanya, dan menjalaninya sebaik mungkin. Dan akhirnya saya sadar, passion saya memang di IPS"
Aku tidak mengerti apa ceritaku seru ? Tapi mereka semua menyimak ceritaku. Kelas yang berisik dan agak sulit ditenangkan seketika diam menyimak aku bercerita.
Ceritaku berlanjut panjang lebar, kutatapi mata mereka satu persatu dari setiap sudut arah, hingga sampai pada cerita saat aku lulus sekolah dengan predikat Siswa Berprestasi namun gagal dalam SNMPTN dan SMBPTN dan terpaksa kuliah di UIN Jakarta. Kemudian aku katakan lagi pada mereka, "Saya lulus dengan predikat siswa berprestasi. Apa hal tersebut menjamin saya lulus SNMPTN ? Engga ! Saya berusaha keras lagi untuk ikut tes SBMPTN, tapi apa saya lulus ? Enggak ! Tiga tahun saya sekolah SMA punya nilai sekolah yang bagus, tapi pada intinya apa ? Tuhan mau saya belajar untuk menerima. Apa menurut kalian saya mau kuliah di UIN ? Enggak ! Tapi saya berusaha menerimanya. Apa kalian pikir saya mudah menjalaninya ? Enggak ! Saya lulusan SMA saya harus memulai semuanya dari nol, menghafal Al Qur'an (juz 30), surat-surat, doa-doa. Bagi kalian saat ini mungkin hal tersebut mudah, tapi untuk saya saat itu, itu sulit. Saya juga harus ikut mata kuliah Bahasa Arab, Alqur'an Hadist, sama seperti kalian. Apa saya mau ? Awalnya enggak, saya banyak mengeluh. Tapi saya belajar untuk menerima semua itu, dan saya jalani sebaik mungkin, dan saya bisa lalui, hingga saya bisa sampai pada tahap yang sekarang ini"
Aku juga spontan katakan pada mereka "Hingga akhirnya saya sadar, ternyata Tuhan kabulkan doa saya, saya ingat ketika itu, saya berdoa hanya ingin masuk perguruan tinggi negeri, gak perduli lagi deh, mau dimanapun, yang penting murah iuran semesternya, biar saya bisa meringankan beban orang tua saya. Ternyata benar, akhirnya saya sadar, iuran semester saya paling murah dibandingkan dengan teman-teman saya yang lain yang juga berkuliah di perguruan tinggi negeri, ketika saya bayar semester sejumlah Rp. 1.240.000, teman saya yang lain paling murah lebih kurang kisaran Rp. 3.000.000. Dan saya bersyukur"
"Saya tau kalian capek, pusing, dll. Apapun itu, belajarlah untuk menerima, kalau kalian kesulitan enggak ngerti pelajaran, coba terima saja dulu, kalau kalian ada yang gak suka sama guru, cobalah kalian terima dulu, pasang senyum manis, coba ikuti mata pelajarannya, kalau sudah berusaha untuk menerimanya, InsyaAllah kalian pasti akan diberi kemudahan nantinya"
"Saya tau kalian capek, pusing, dll. Apapun itu, belajarlah untuk menerima, kalau kalian kesulitan enggak ngerti pelajaran, coba terima saja dulu, kalau kalian ada yang gak suka sama guru, cobalah kalian terima dulu, pasang senyum manis, coba ikuti mata pelajarannya, kalau sudah berusaha untuk menerimanya, InsyaAllah kalian pasti akan diberi kemudahan nantinya"
Kemudian saat perjalanan pulang kerumah pikiranku mereview kembali apa yang sudah aku bicarakan sebelumnya, terutama pada kalimat "Apa kalian fikir saya mau ? Enggak, tapi saya belajar menerima"
Aku hampir tidak mengerti dari mana kalimat itu keluar dari lisanku, dan kenapa kalimat itu keluar. Seolah kalimat tersebut keluar begitu saja dari dalam, dari bagian terdalam yang ada pada diriku, entah dari mana.
Aku kembali mengoreksi, benarkah aku bisa menerima semuanya ?
Semoga aku benar-benar bisa menerima.
Kalau belum bisa, paling tidak aku memang sedang belajar untuk menerima.
Jadi terharu yaa hehe tetep semangat Bu ayu, tetap menjadi motivator yang membangunkan negara
BalasHapusYa Ampun Nandaaaaaaaaa... Saya mah apa atuhhhhhh cuma anak kuper, culun, jelek, gak banyak pengalamaan, belum bisa ngebagi motivasi,,, Justru saya yang banyak belajar dari kalian...
Hapus