Langsung ke konten utama

Abdurrahman Wahid, Bapak Pluralisme Indonesia

Abdurrahman Wahid, Bapak Pluralisme Indonesia
( Irma Ayu Sawitri – 111301500009* – irma.ayus13@mhs.uinjkt.ac.id )

Abstrak
Siapa yang tidak mengenal KH. Abdurrahman Wahid atau yang biasa disapa denan nama Gus Dur. Beliau adalah cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama dan pemilik Pondok Pesantren Tebu Ireng di Jombang, yaitu KH. Hasyim Asya’ri dan beliau adalah anak dari mentri agama RI tahun 1949 KH. Gus Dur tumbuh dilingkungan santri. Kakek-kakeknya adalah Kyai besar, sehingga sangat mungkin jika lingkungan tersebut memberi pengaruh besar dalam pemikiran-pemikirannya.
Berkat sikapnya yang begitu toleran, demokratis, pluralis, dan humanis, Gus Dur juga disebut sebagai Bapak Pluralisme dan Bapak Toleransi di Indonesia. Meski tidak jarang beliau justru mendapatkan perlawanan atas pemikiran-pemikirannya yang dianggap kontroversi. Padahal, yang beliau inginkan hanyalah persatuan dan kesatuan Republik Indonesia, dan memaknai bahwa agama atau perbedaanbukan sebagai alasan pembeda atau pemecah. Terlebih Indonesia merupakan negara sangat majemuk.

Pemikiran Gus Dur yang tidak kalah menonjol selain mengenai toleransi, adalah pemikiran Gus Dur mengenai Demokrasi. Gus Dur menyerukan bahwa Islam memerintahkan untuk mendirikan pemerintahan yang demokrasi, sebagaimana para sahabat Rasul mencontohkan melalui peristiwa Syura. Seperti yang telah kita ketahui, demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, politik, agama dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Dan demokrasi yang dianut di Indonesia, adalah demokrasi yang berdasarkan kepada Pancasila. Gus Dur adalah sosok yang sangat mendukung bahkan memperjuangkan kehidupan Demokrasi di Indonesia.
Salah satu contoh pergerakan Gus Dur dalam memperjuangkan demokrasi di Indonesia adalah dengan mendirikan Forum Demokrasi. Menurut pernyataan Gus Dur sendiri, beliau mendirikan Forum Demokrasi tidak sendiri namun bersama teman-teman yang lain, dengan maksud untuk membuat wadah yang menampung semua pendapat mengenai demokrasi.
            Keywords : Gus Dur, Islam, Negara, Demokrasi, Pluralisme




A.    Kelahiran dan Perjalanan Pendidikan
Siapa yang tidak mengenal KH. Abdurrahman Wahid atau yang biasa dikenal dengan sebutan Gus Dur. Beliau adalah cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama dan pemilik Pondok Pesantren Tebu Ireng di Jombang, yaitu KH. Hasyim Asya’ri dan beliau adalah anak dari mentri agama RI tahun 1949 KH. Wahid Hasyim yang meninggal karena sebuah kecelakaan mobil pada tahun 1953[1], yang pada saat itu Gus Dur kecil ikut dan beliau selamat dari maut. Di Indonesia Gus Dur termasuk tokoh yang cukup fenomenal. Selain dikenal sebagai politisi Islam, Gus Dur juga dikenal sebagai mubalig terutama dikalangan Nahdlatul Ulama.
Gus Dur Lahir di Jombang Jawa Timur, pada tanggal 7 September 1940 Masehi atau 4 Sya’ban 1359 Hijriyah. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara dari keluarga yang sangat terhormat dalam masyarakat muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah KH. Muhammad Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama. Sementara kakek dari pihak Ibu adalah KH. Bisri Syansuri, pendiri pondok pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar Jombang. Ayah Gus Dur KH. Abdul Wahid Hasyim, menteri Agama tahun 1949.[2]
Nama Asli Gus Dur adalah Abdurrahman “Addakhil” yang maknanya berarti “Sang Penakluk”. Namun, nama “Addakhil” tak cukup dikenal kemudian diganti dengan Wahid, sebagaimana nama kakek dan ayahnya, sehingga Abdurrahman Addakhil lebih dikenal dengan Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih akrab disapa dengan sebutan Gus Dur.[3]
Gus Dur tumbuh dilingkungan para Kyai. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa Gus Dur adalah cucu dari KH. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama dari silsilah Ayah, sedangkan dari silsilah Ibu, Gus Dur adalah cucu dari KH. Bisri Syansuri, pendiri Pondok Pesantern Mambaul Ma’arif Denayar Jombang. Sejak kecil, Gus Dur sudah sangat menyukai membaca buku. Hal tersebut juga didorong oleh Ayahnya yang juga kutu buku. Dapat kita bayangkan bagaimana lingkungan tersebut mempengaruhi pemikiran-pemikiran yang dimiliki oleh Gus Dur.
Pondok satu kepondok lainnya Gus Dur singgahi. Saat lulus Sekolah Dasar Gus Dur bersekolah di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan sembari mondok di pesantren Krapyak. Sekolah tersebut sebenarnya dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi berlandaskan kurikulum yang umum. Gus Dur juga dikenal sebagai anak yang jenius, karena kesukaannya membaca buku-buku. Gus Dur sudah terkenal pandai berbahasa Inggris sejak beliau SMP, karena beliau hobi membaca buku berbahasa Inggris, juga mendengarkan siaran radio Amerika dan London.[4]
Setelah lulus jenjang Sekolah Menengah Pertama, Gus Dur melanjutkan pendidikannya dari pondok satu ke pondok lainnya. Diantara pondok yang beliau singgahi adalah Pondok Pesantren Tegalrejo di Magelang yang di asuh oleh KH. Chudhari.[5] Kemudian pada tahum 1959, saat usianya 20, Gus Dur pindah ke pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras, disana Gus Dur tidak hanya menjadi santri saja, namun juga menerima pekerjaan sebagai kepala Madrasah. Lalu kemudian pada tahun 1963, Gus Dur pergi menunaikan ibadah haji dan diteruskan untuk melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar Mesir karena mendapat beasiswa dari pemerintah.[6] Namun Gus Dur cukup kecewa dengan standar berfikir kritis disana, sehingga Gus Dur lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca di perpustakaan Universitas Amerika dan bergabung dengan kelompok diskusi intelektual, atau menonton bola dan film Perancis kesukaannya. Setelah dua tahun lamanya Gus Dur di Kairo, kemudian Gus Dur berpindah ke Bagdad. Gus Dur memutuskan untuk pergi ke Bagdad karena disana adalah salah satu pusat belajar yang paling maju, canggih dan kosmopolitan di dunia Arab. Kemudian empat tahun lamanya Gus Dur belajar kebudayaan dan sastra Arab. Kemudian kembali ke Indonesia pada tahun 1971, dan mengajar selama beberapa tahun di pesantren sebelum akhirnya Gus Dur kembali ke Jakarta.[7]

B.     Sebagai Mubalig Yang Pluralis dan Toleran
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) selain dikenal sebagai politisi Islam, beliau juga dikenal sebagai seorang mubalig. Melalui tulisan-tulisannya, ceramahnya dan aktivitas kehidupan serta pembelaannya terhadap sesama, Gus Dur menyebarkan ajaran-ajaran agama, atau dapat dikatakan bahwa seluruh hidupnya, beliau dedikasikan untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Namun berbeda dengan para muballig konvensional yang cenderung menyebarkan ajaran - ajaran agama sebatas pada dimensi normatif dan simboliknya, Gus Dur selalu menyebarkan inti dari ajaran agama, yaitu ajaran yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta kemanusiaan. Karena yang disebarkan adalah inti ajaran agama, dakwah Gus Dur bersifat terbuka, menyeluruh dan mampu merangkum ajaran-ajaran yang baik dari semua agama dan peradaban. Dakwahnya juga tidak hanya ditujukan kepada dan diterima oleh kelompoknya saja, tetapi juga pemeluk agama lain dan bahkan lintas bangsa.[8]
Muhaimin Iskandar menjelaskan dalam bukunya bahwa terdapat lima aras dakwah Gus Dur sebagai seorang Mubalig.[9]
Pertama, Gus Dur senantiasa mengembangkan pemikiran dan kesadaran bahwa agama diturunkan ke bumi ini adalah untuk kebaikan dan memudahkan kehidupan manusia beserta alam seisinya. Agama hadir bukan untuk memberi beban, menakut-nakuti atau menjadi ancaman bagi agama lain. Agama hadir untuk memudahkan tugas manusia sebagai khalifah di bumi dan mewujudkan kemaslahatan di antara mereka.
Kedua, Gus Dur seringkali menyatakan Islam dan agama-agama yang ada hanya merupakan salah satu bagian saja dari kehidupan masyarakat bangsa, bukan faktor tunggal. Karena itu, posisi dan ajaran agama harus ditempatkan dalam fungsi komplementer bersama nilai-nilai, ideologi atau kelompok yang lain. Menempatkan dan memahami agama sebagai faktor tunggal dan yang paling menentukan hanya akan mendorong lahirnya pemikiran dan tindakan absurd yang bertentangan dengan inti ajaran agama itu sendiri.
Ketiga, Gus Dur juga sering berbicara soal hukum atau dimensi normatif agama. Namun bagi Gus Dur norma-norma agama akan berfungsi efektif jika ia bisa menjadi etika sosial yang menyatu dengan kesadaran masyarakat. Tanpa bisa menjadi etika sosial, norma-norma agama akan kehilangan dimensi moral dan etisnya, sehingga manifestasi keberagamaan menjadi sangat kaku dan hitamputih.
Keempat, dalam berdakwah, Gus Dur senantiasa menyebarkan toleransi di internal dan di antara agama-agama itu sendiri. Tidak pernah merasa paling benar (truth claim). Bagi Gus Dur, toleransi yang sesungguhnya tidak sekadar hidup berdampingan secara damai dalam suasana saling menghormati dan menghargai, tetapi juga adanya kesadaran dan kesediaan untuk menerima ajaran-ajaran luhur dari agama atau keyakinan berbeda. Dengan toleransi itulah, suasana damai dan dimanis bisa dijaga dan kemuliaan ajaran agama menampakkan wujudnya.
Kelima, dalam kehidupan politik, Gus Dur juga mendedikasikan hidupnya untuk mewujudkan demokrasi dan tegaknya hak asasi manusia secara menyeluruh dalam kehidupan masyarakat bangsa. Bagi Gus Dur, demokrasi merupakan manifestasi terbaik dari nilai-nilai luhur agama. Dan dalam sistem demokrasi dimungkinkan umat dari berbagai agama, kepercayaan dan suku bisa bersatu untuk mewujudkan tujuan nasionalnya, serta terlindunginya hak-hak asasi manusia.
            Oleh karena itu, Gus Dur dikenal sebagai sosok yang pluralis, dan juga humanis. Dalam beberapa kasus, Gus Dur justru bersikap berbeda dari orang-orang pada umumnya, seperti pada saat ramai-ramai masyarakat membicarakan pencekalan penyanyi dangdut bernama Inul Daratista karena gerakannya saat bernyanyi dinilai erotis. Justru Gus Dur tampil sebagai sosok yang mendukung penyanyi dangdut Inul Daratista. Juga pada kasus lain yang menjadikan Gus Dur menjadi sosok super hero, yaitu pembebasan bagi masyarakat etnis Tionghoa oleh Gus Dur saat Gus Dur menjabat menjadi presiden RI. Pada masa Orde Lama, dikeluarkan peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1959 yang berisi larangan pada masyarakat Tionghoa melakuan perdagangan eceran di pedesaan dan masa Orde Baru muncul Inspres No. 14 Tahun 1967 yang melarang semua bentuk ekspresi keagamaan etnis Tionghoa di depan umum. Namun saat Gus Dur menjabat presiden,  beliau mencabut Inpres  No. 14 Tahun 1967 dan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2000 dan penetapan Hari Imlek sebagai hari libur Nasional seperti hari raya agama-agama lain yang ada di Indonesia. Dan semenjak saat itulah, etnis Tionghoa bebas dalam melaksanakan ritual, maupun dalam melaksanakan kegiatan ekonomi.
            Dalam tulisan-tulisannya Gus Dur pun terang-terangan menuliskan serta menjelaskan yang menunjukkan bahwa beliau adalah mubalig yang mengajak kepada umat Islam di Indonesia untuk saling menghormati bahkan saling memiliki. Dalam tulisannya yang berjudul Islam dan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia Gus Dur menjelaskan bahwa,
“...masalah pokok dalam hal hubungan antarumat beragama, adalah pengembangan rasa saling pengertian yang tulus dan berkelanjutan. Kita hanya mampu menjadi bangsa yang kukuh, kalau umat agama-agama yang berbefa dapat saling mengerti satu sama lain, bukan hanya sekedar saling menghormati. Yang diperluka adalah rasa saling memiliki (sense of belonging), bukannya hanya saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain."[10]
Menurut Gus Dur, hidupnya pluralisme masyarakat bukan hanya terletak pada pola hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence), karena bila hanya itu saja masih sangat rentan terhadap munculnya kesalahpahaman antar-kelompok masyarakat yang pada saat tertentu  dapat menimbulkan perpecahan. Lebih dari itu penghargaan terhadap pluralisme berarti adanya kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog secara tulus sehingga kelompok yang satu dengan yang lain bisa saling memberi dan menerima (take and give). Toleransi plus yang diajarkan dan dipraktekkan Gus Dur tidak sekadar menghormati dan menghargai keyakinan atau pendirian orang lain dari agama yang berbeda, tetapi juga disertai kesediaan untuk menerima ajaran-ajaran yang baik dari agama dan peradaban lain itu sendiri.[11]
Dalam banyak hal, pemikiran Gus Dur menekankan pada pemikiran yang fleksible dan progresif, yang dapat pula ditemukan pada beberapa ulama NU, termasuk diantaranya pendahulunya, yaitu Kyai Achmad Siddiq. Ulama lain yang dapat diidentifikasi serupa adalah kakek Gus Dur sendiri, Kyai Hasyim Asy’ari, kemudian ayahnya Wahid Hasyim, dll. Terdapat kesamaan antara Gus Dur dengan para Kyai yang tadi, walaupun terdapat pula perbedaan yang mendasar.[12] Greg Barton menuliskan bahwa terdapat lima elemen kunci yang dapa disimpulkan dari pemikiran Gus Dur:
Pertama, pemikirannya progresif dan bervisi jauh ke depan. Baginya, dari pada terlena oleh kemenangan masa lalu, Abdurrahman melihat masa depan dengan harapan yang pasti bahwa, bagi Islam dan masyarakat Muslim, sesuatu yang terbaik pasti akan datang. Kedua, pemikiran Abdurrahman sebagian besar merupakan respons terhadap modernitas; respons dengan penuh percaya diri dan cerdas. Sembari tetap kritis terhadap kegagalan-kegagalan masyarakat Barat modern, Abdurrahman secara umum bersikap positif terhadap nilai-nilai inti pemikiran liberal pasca pencerahan, walaupun dia juga berpendapat hal ini perlu diikatkan pada dasar teistik. Ketiga, dia menegaskan bahwa posisi sekularisme teistik yang ditegaskan dalam pancasila sangat penting bagi kesejahteraan dan kejayaan bangsa. Abdurrahman menegaskan bahwa ruang yang paling cocok untuk Islam adalah ruang sipil (civil sphere), bukan ruang politik peaktis. Keempat, Abdurrahman mengartikulasikan pemahaman Islam liberal dan terbuka yang toleran trhadap perbedaan dan sangat perduli untuk menjaga harmoni dalam masyarakat. Kelima, pemikiran Abdurrahman merepresentasikan sintesis cedas pemikiran Islam tradisional elemen modernisme Islam, dan kesarjanaan Barat modern, yang berusaha menghadapi tantangan modernitas baik dengan kejujuran intelektual yang kuat maupun dengan keimanan yang mendalam terhadap kebenaran utama Islam.[13]
Gus Dur, secara tegas menolak segala bentuk prasangka, intoleransi, dan kekerasan. Tahun-tahun terakhir abad ke-20, Indoesia diwarnai oleh kekerasan baik kekerasan etnik atau kekerasan keagamaan. Babak akhir Soeharto ternyata dihiasi oleh pecahnya kekerasan antar komunitas yang sepertinya mengandung unsur etnik dan agama. Dan tentunya Gus Dur yang pada saat itu menjabat sebagai ketua NU, memiliki respon atas peristiwa-peristiwa tersebut yang tentunya memberikan sumbangsih yang sangat berarti untuk meredakan ketegangan di lapangan dan mendorong masyarakat untuk menyelenggarakan dialog dan penguatan hubungan, sehingga kekerasan yang terjadi dapat dihentikan dan tidak muncul kembali. Misalnya pada kasus pembakaran gereja di Situbondo pada tahun 1996, dan yang lainnya adalah peristiwa pembunuhan besar-besaran di Banyuwangi, Jawa Timur 1998. Sementara berbagai peristiwa kekerasan sebenarnya terjadi secara spontan dan disebabkan atas dasar situasi ekonomi dan sosial yang serba sulit dan bercampur dengan ketegangan. Namun berbeda dengan kasus Banyuwangi, pembunuhan yang terjadi konon dilakukan oleh para ninja berpakaian hitam-hitam dan telah memakan korban sebanyak 200 orang. Bukti-bukti yang menunjukkan menggiring opini bahwa yang melakukan pembunuhan tersebut adalah orang yang memiliki pendidikan militer dan terorganisir dengan baik. Lebih dari itu, terdapat bukti kuat bahwa siapapun yang berada dibalik pembunuhan ini pasti menginginkan kerusuhan sosial di masyarakat. Dan perlu diketahui pula bahwa sebagian besar korbannya adalah para anggota NU, yang memiliki kedudukan sebagai pemimpin atau ulama NU di daerahnya. Kemudian, respon Gus Dur terhadap pembunuhan tersebut adalah dengan mengunjungi Banyuwangi dan mendorong para tokoh agama lokal untuk menahan diri dari godaan untuk membalas kekerasan tersebut dengan kekerasan. “Siapa pun dibalik pembunuhan ini”, kata Gus Dur “agaknya mengharapkan kita merespon mereka dengan kemarahan. Oleh karenanya mereka menggunakan target para ulama. Sadar akan hal ini”, Gus Dur melanjutkan, “kita harus menahan provokasi ini dan tetap mengkampanyekan perdamaian”. Mudah sekali kita bayangkan bahwa pebantaian Banyuwangi tersebut dapat membangkitkan kerusuhan berskala luas, karena peistiwa pembunuhan itu telah melahirkan keresahan, ketakutan, dan tekanan yang sangat besar pada masyarakat. Kemudian masyarakat tidak merespon dengan kekerasan adalah poin utama bagi masyarakat ini dan kepemimpinan NU secara keseluruhan, termasuk otoritas Gus Dur sebagai ketua NU pada saat itu.[14]
            Berkat sikapnya yang begitu toleran, demokratis, pluralis, dan humanis itu, Gus Dur juga disebut sebagai Bapak Pluralisme dan Bapak Toleransi di Indonesia. Meski tidak jarang beliau justru mendapatkan perlawanan. Padahal, yang beliau inginkan hanyalah persatuan dan kesatuan Republik Indonesia, dan memaknai bahwa agama bukan sebagai alasan pembeda atau pemecah. Justru masyarakat Indonesia haruslah bersyukur, sosok seperti Gus Dur pernah menjadi presiden Republik Indonesia.
Dalam sejarah politik dan gerakan sosial di Indonesia, Gus Dur bukan hanya teladan dalam hal bagaimana menjadi pemimpin politik, tetapi juga bagaimana menjadi pemimpin sosial dengan tujuan perjuangan yang memiliki manfaat dari masa ke masa. Yaitu perjuangan atau dakwah dalam mewujudkan nilai-nilai luhur agama dan kemanusiaan. Tidak heran jika Gus Dur diakui sebagai Bapak Demokrasi, Bapak Pluralisme, Pahlawan HAM, Bapak Toleransi dan berbagai sebutan yang lain. Namun, menjadi mubalig kemanusiaan di tengah masyarakat yang tengah mengalami degradasi tentu tidak mudah. Gus Dur bukan hanya berhadapan dengan pemimpin-pemimpin pro status quo dan kelas ongkang-ongkang, tetapi juga berhadapan dengan kaum fundamentalis agama dan pasar. Namun Gus Dur adalah mubalig sejati, ia terus berjuang mewujudkan tegaknya nila-nilai kemanusiaan sampai akhir hayatnya, karena menjadi mubalig adalah jalan dan panggilan hidupnya.[15]

C.    Pejuang Demokrasi
Pemikiran Gus Dur yang tidak kalah menonjol selain mengenai toleransi, adalah pemikiran Gus Dur mengenai Demokrasi. Gus Dur menyerukan bahwa Islam memerintahkan untuk mendirikan pemerintahan yang demokrasi, sebagaimana para sahabat Rasul mencontohkan melalui peristiwa Syura.[16] Seperti yang telah kita ketahui, demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, politik, agama dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Dan demokrasi yang dianut di Indonesia, adalah demokrasi yang berdasarkan kepada Pancasila. Gus Dur adalah sosok yang sangat mendukung bahkan memperjuangkan kehidupan Demokrasi di Indonesia.
Gus Dur adalah pejuang yang gigih dalam menegakkan demokrasi dan kedamaian di bumi. Hal ini terlihat dari upaya-upayanya untuk mereformasi sistem pemerintahan yang otoriter, mengganti hukum yang diskriminatif, dan melindungi rakyat yang tertindas. Beliau selalu mencari cara agar perjuangannya dalam menegakkan demokrasi tidak memakan korban misalnya, ditengah-tengah banyaknya masyarakat yang mengecam Soeharto agar segera turun, Gus Dur tidak menggerakkan massanya untuk bersama-sama masyarakat yang turun ke jalan menggempur Soeharto. Hal ini ia lakukan dengan alasan untuk mencari jalan damai dan memilih pendekatan persuasif. Bagi Gus Dur, nyawa seorang manusia sangat berharga.[17]
Demokrasi memang erat dengan liberalisme dan kebarat-baratan, namun Gus Dur adalah sosok yang selalu melibatkan keilmuan agamanya dalam segala pemikirannya. Bagi Gus Dur bahwa Islam adalah agama yang toleran, Islam tidak membenarkan perlakuan tidak adil hanya sebab ras, suku, dan agama. Dengan begitu, prinsip-prinsip demokrasi tidak bisa dipermasalahkan hanya karena ia berasal dari barat, karenanya Gus Dur tidak begitu mempermasalahkan hubungan Islam dan Barat.[18]
Gus Dur merupakan perpaduan antara pemikir dan aktivis. Sebagai pemikir, Gus Dur terlibat sangat intensif dalam pergumulan pemikiran Islam berbagai mazhab dan beragam aliran. Basis keislaman Gus Dur berakar pada tradisi keilmuan klasik yang sangat kuat, dengan kombinasi wawasan dan khazanah pemikiran modern yang sangat kaya. Kemudian sebagai aktivis, Gus Dur sudah sejak lama terlibat dalam perjuangan di tanah air. Ia merupakan satu diantara dari sedikit tokoh nasional yang begitu gigih mendorong proses demokratisasi dari akarnya. Sumbangan terpenting Gus Dur adalah kerja-kerja pemberdayaan masyarakat lapisan bawah melalui berbagai instrumen sosial, terutama lembaga pendidikan (pesantren) dan lembaga ekonomi.[19]
Gus Dur sering menekankan bahwa Islam bukan halangan bagi hidupnya demokrasi di Indonesia yang mana masyarakatnya sebagian besar memeluk Islam. Dalam tulisannya yang berjudul Demokratisasi, Profesionalisme, Dan Islam, Gus Dur membahas mengenai orang-orang Islam radikalis yang mana orang-orang Islam mengklaim bahwa Islam memiliki konsep negara, dan klaim-klaim tersebut justru hanya menimbulkan orang-orang Islam yang mudah emosi, kemudian mengharuskan seluruh umat Islam memiliki tingkat kepekaan yang seragam mengenai amalan ibadah, pelaksanaan hukum agama dan kebenaran ajaran-ajaran agama,. Belum lagi jika dihubungkan dengan masyarakat lain yang memiliki perbedaan agama, suku, etnik, dan kaum minoritas yang ada di Indonesia. Kemudian, Gus Dur memberikan saran agar tidak mudah menerima klaim seperti itu, karena dikhawatirkan ekstrimisme terjadi, Gus Dur menyayangkan karena hal tersebut justru hanya akan membuat citra Islam minus.
Masyarakat Indonesia memang mayoritas beragama Islam, dan tidak semua umat muslim di Indonesia menerima klaim bahwa Islam memiliki konsep negara, kemudian melakukan tindakan yang katanya untuk kejayaan Islam yang justru jumlahnya lebih sedikit dari pada muslim-muslim yang hanya diam, dan hanya dianggap menerima klaim tersebut. Lalu bagaimana dengan orang-orang Islam yang hanya berdiam ? Gus Dur menyebut mereka sebagai orang-orang Islam moderat. Seharusnya, semakin banyak para Islam moderat, Islam ekstrimis akan terkikis geraknya. Kemudian Gus Dur menjelaskan bagaimana cara mengetahui potensi para Islam Moderat, beliau mengatakan bahwa “...pemilihan umum yang terbuka dan jujur. Kelompok-kelompok moderat akan memenangkan pertarungan politik itu, asalkan  pemilu dijalankan secara jujur dan terbuka. Juga hal itu tampak, kalau ukuran-ukuran profesionalitas digunakan dalam melaksanakan pemerintahan, hingga kaum moderat dapat menunjukkan kemampuan mereka yang sebenarnya.”[20]
Kemudian dalam tulisannya yang lain, Gus Dur mengungkapkan pendapatnya mengenai perintah agama dalam mendirikan Negara Islam. Gus Dur membahas mengenai dalil yang sering digunakan sebagai landasan orang-orang yang mengatakan bahwa ummat Islam harus mendirikan suatu negara, atau Negara Islam harus didirikan sebagai perintah agama. Namun, dalam hal ini Gus Dur memberi tanggapan bahwa dalil tersebut hanyalah merupakan perintah sistemik, yang tidak berdiri sendiri, atau tidak dapat diartikan secara bulat-bulat, namun harus diambil tafsirnya dengan ditunjang dengan perintah-perintah tafsir yang lain.
“Perintah “tidak ada paksaan dalam beragama, karena telah jelas mana yang lurus dan mana yang palsu” (laa ikraha fi ad-dien, qad tabayyana al-rusydu min al-ghayyi). Perintah dalam bentuk pernyataan ini diperkuat oleh pernyataan lain dalam kitab suci “Bagi kalian agama kalian dan bagi-ku agama-ku (lakum dinukum wa liyadien). Jelas , kitab suci tersebut tidak menyatakan lembaga  tertentu  yang harus “menjamin” kelebihan agama itu atas agama lain, melainkan “diserahkan” kepada akal sehat manusia  untuk “mencapai kebenaran”.[21]
 Kesimpulannya, Gus Dur berpandangan bahwa Islam tidak harus memaksakan keadaan atau bersikap emosional untuk mempertahankan pemikiran bahwa Islam mengharuskan ummatnya untuk mendirikan suatu negara. Gus Dur melanjutkan bahwa “Perkembangan sejarah telah menunjukkan tidak ada sistem tunggal maupun menetap dalam Islam. Umpamanya saja, tidak ada cara untuk menetapkan pergantian pemimpin. Dari Abu Bakar ke Umar bin Khattab ke Ustman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib ke para Raja setelah mereka kemudian para Presiden hingga para Amir di masa kini, semuanya menjadi saksi bagi kelangkaaan adanya suksesi dalam Islam, (harus ada suksesi sebagai tuntutan sejarah, tanpa disebut caranya). Begitu juga, ukuran “masyarakat Islam” tidak pernah sama.”[22]
Dengan demikian, “kesempurnaan sistem” Islam sebagai agama, tidak didasarkan pada kekuatan/wewenang lembaga tertentu, melainkan pada kemampuan akal manusia untuk melakukan perbandingan sendiri-sendiri. Dalam pandangan penulis, kesadaran pluralistik seperti inilah yang harus kita pelihara dan bukannya lembaga tertentu seperti negara yang harus kita sandari. Bukankah ini sesuai dengan pernyataan Tuhan –sebagaimana yang disebutkan di atas,  tentang ke-utusan Nabi kita Muhammad SAW, untuk membawakan persaudaraan di antara sesama manusia? Pengertian berangkai yang penulis ajukan ini, tentulah terkait sepenuhnya dengan pernyataan Tuhan: “Barang siapa mengambil selain Islam sebagai agama, tiada diterima (amal)-nya dan ia akan termasuk di akhirat “kelak” sebagai orang yang merugi (man yabtaghi ghaira al-Islama diinan fa lan yuqbala minhu wa hua fi al-akhirati min al-khasirien). Pernyataan ini menunjukkan hak tiap orang  untuk merasa benar, walaupun Islam meyakini kebesarannya sendiri.
Salah satu contoh pergerakan Gus Dur dalam memperjuangkan demokrasi di Indonesia adalah dengan mendirikan Forum Demokrasi. Menurut pernyataan Gus Dur sendiri, beliau mendirikan Forum Demokrasi tidak sendiri namun bersama teman-teman yang lain, dengan maksud untuk membuat wadah yang menampung semua pendapat mengenai demokrasi.[23] Didirikannya Forum Demokrasi ini menunjukkan sikap kritis Gus Dur terhadap negara demokrasi (Indonesia) yang belum bisa mengamalkan demokrasi itu sendiri. Ketika diwawancara apa yang melatar belakangi pembentukan Forum Demokrasi ? Beliau menjawab,
“Itu timbull dari keprihatinan akan gejala menguatnya rasa (mementingkan) golongan. Sedang semangat kebersamaan dan demokrasi semakin melemah. Kadang demokrasi dan kepentingan bersa-ma kalah dengan kepentingan golongan atau sektarianisme. Meski baru gejala, ‘kan mengkhawatirkan. Banyak semangat golongan dan sektarian yang berkembang. Maka, saya mengajak teman-teman, gimana sih baiknya, kita bicarakanlah. Lalu terjadi pertemuan di Cottage Cisarua itu, yang melahirkan Forum Demokrasi.”[24]
Bagi Gus Dur, para pemegang kursi pemerintahan Indonesia belum cukup memperhatikan atau belum cukup berpartisipasi aktif dalam menegakkan demokrasi di Indonesia. Gus Dur menyatakan bahwa demokrasi haruslah utuh, tidak cukup hanya dengan adanya lembaga pemerintahan seperti MPR, DPR, dan BPK, namun para anggotanya juga haruslah bersikap demokratis.[25] Begitu pula dengan rakyat Indonesia, haruslah mampu bersikap dan berpartisipasi aktif dalam keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
Gus Dur menggunakan pendekatan cultural politics dalam meretas jalan demokrasi, yang bertumpu pada penguatan lembaga-lembaga sosial non-negara yang ada di masyarakat. Perjuangan yang dilakukan Gus Dur dalam menanamkan demokrasi selama ini diantaranya mengandung unsur-unsur pengakuan hak-hak dasar warga negara da pengakuan pluralisme yang ada di Indonesia. Gus Dur, sebagaimana Nurcholis Madjid, merupakan sosok muslim yang sampai akhir hayatnya memerjuangkan HAM, demokrasi dan pluralisme dalam ranah publik untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih baik. [26]
Dalam pandangan Gus Dur, demokrasi sedemikian penting dalam sebuah negara pluralistik, karena perikehidupan kebangsaan yang utuh hanya bisa tercapai dan tumbuh dalam suasana demokratis. Gus Dur menyatakan bahwa demokrasi (1) merupakan sistem dan nilai yang mendukung peradaban tinggi, karena ia mementingkan dan melindungi hak-hak dasar manusia atas kehidupan, (2) melindungi mereka yang minoritas dan berpendapat berbeda dari kelompok mayoritas, (3) mempersatukan beragam arah kecenderungan kekuatan-kekuatan bangsa, dan (4) mengubah keterceraiberaian arah masing-masing kelompok menjadi berputar bersama menuju kedewasaan, kemajuan dan integritas bangsa.[27]
Dalam tulisannya, yang berjudul “Demokrasi Haruslah Diperjoeangkan” Gus Dur menceritakan mengenai tradisi pembangkangan di Rusia. Di Rusia perlawanan terhadap pemimpin yang lalim menjadi gerakan yang membudaya dalam politik di Rusia. Gus Dur mengatakan bahwa tradisi pembangkangan yang terjadi di Rusia semakin menguat, tidak hanya digerakkan oleh para sastrawan saja tapi juga para ilmiawan.
Gus Dur mengatakan bahwa pengorbanan besar mereka berikan, demi tujuan menegakkan kebebasan dan demokrasi di Rusia. Tentu timbul pertanyaan, apakah artinya perjuangan mereka, bila dihadapkan dengan kelaliman penguasa yang begitu mutlak ?. Jawabannya sebenarnya mudah saja : para pejuang itu sendiri mengetahui prospek gelap yang ada di hadapan mereka. Demokrasi dan kebebasan belum akan tegak untuk waktu yang sangat lama lagi di tanah air mereka, sehingga merupakan impian kosong saja untuk mengharap dapat menyaksikannya sendiri buah perjuangan mereka dalam masa hidup mereka.[28]
Apa yang mendorong mereka untuk terus berkorban sedemikian mahal adalah kesadaran akan perlunya pengorbanan itu sendiri bagi kelanjutan ide demokrasi dari kebebasan di Rusia. Tanpa keberanian memperjuangkannya dengan pengorbanan sebegitu besar di masa kini, demokrasi tidak akan dapat tegak di kemudian hari. Darah dan air mata yang merupakan cucuran kini adalah penyiram yang menghidupkan benih-benih demokrasi dan kebebasan.[29]
Lalu bagaimana dengan demokrasi di Indonesia ? Gus Dur pernah menyatakan pendapatnya bahwa demokrasi di Indonesia pada saat itu belum penuh. Gus Dur menyatakan bahwa “...Semua orang sedikit-sedikit masih harus minta petunjuk keatas. Pembuatan undang-undang juga masih berjalan secara mekanistik saja. Pengambilan pendapat dari masyarakat masih terbatas. Pelaksanaan kedaulatan hukum di depan undang-undang juga (masih sulit), ada mafia pengadilan dan sebagainya yang betul tidaknya diperiksa. Belum lagi meluasnya korupsi. Hukum kita srempet jalannya, sehingga yang menikmati hanya yang posisi kuat.”[30]
Gusdur juga pernah menuliskan pendapatnya mengenai masa depan demokrasi di Indonesia, baginya demokrasi di Indonesia tidak dapat berdiri tegak hanya dengan satu kali periode pemilu. Ada  banyak unsur yang harus bergerak dalam proses demokratisasi di Indonesia, mulai dari partai politik, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), sistem pertahanan negara, sampai kebebasan pers untuk mengkritik pemerintah. Unsur-unsur tersebut tidak dapat mendukung demokratisasi di Indonesia secara cepat, Gus Dur menyatakan bahwa, “...demokratisasi meski keil dan lambat mulai timbul dn bergerakk. Dikatakan demikian karena belum terjadi perpindahan titik berat dari kerja institusi-institusi yang ada.”[31] Lalu bagaimana dengan masa depan demokrasi di Indonesia ? Tentu jawabannya adalah hal tersebut akan terjadi secara perlahan, Indonesia akan mengalami perkembangan demokratisasi seiring berjalannya waktu, karena membangun demokrasi adalah bukan pekerjaan mudah yang membutuhkan waktu sebentar. Ia tidak dapat dicapai dengan membubuhkan tanda tangan saja, karena kepentingan yang saling berbeda akan berlaga di tengah percaturan politik yang ada. Sedangkan pemilu yang berjalan adalah cara untuk memberikan legitimasi bagi upaya demokratisasi yang sulit dicapai itu.[32]
Berhubungan dengan Gus Dur yang lahir dari keluarga besar pendiri Nahdlatul Ulama (NU), kemudian menjadi pemimpin PBNU pada saat itu, ternyata NU memiliki peran dalam hal demokratisasi di Indonesia. Yang pada saat itu NU menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia lebih dekat hubungannya dengan masyarakat.[33]



D.    Kesimpulan
           
Gus Dur tumbuh dilingkungan para Kyai. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa Gus Dur adalah cucu dari KH. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama dari silsilah Ayah, sedangkan dari silsilah Ibu, Gus Dur adalah cucu dari KH. Bisri Syansuri, pendiri Pondok Pesantern Mambaul Ma’arif Denayar Jombang. Sejak kecil, Gus Dur sudah sangat menyukai membaca buku. Hal tersebut juga didorong oleh Ayahnya yang juga kutu buku. Dapat kita bayangkan bagaimana lingkungan tersebut mempengaruhi pemikiran-pemikiran yang dimiliki oleh Gus Dur.
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) selain dikenal sebagai politisi Islam, beliau juga dikenal sebagai seorang mubalig. Melalui tulisan-tulisannya, ceramahnya dan aktivitas kehidupan serta pembelaannya terhadap sesama, Gus Dur menyebarkan ajaran-ajaran agama, atau dapat dikatakan bahwa seluruh hidupnya, beliau dedikasikan untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Namun berbeda dengan para muballig konvensional yang cenderung menyebarkan ajaran - ajaran agama sebatas pada dimensi normatif dan simboliknya, Gus Dur selalu menyebarkan inti dari ajaran agama, yaitu ajaran yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta kemanusiaan. Karena yang disebarkan adalah inti ajaran agama, dakwah Gus Dur bersifat terbuka, menyeluruh dan mampu merangkum ajaran-ajaran yang baik dari semua agama dan peradaban. Dakwahnya juga tidak hanya ditujukan kepada dan diterima oleh kelompoknya saja, tetapi juga pemeluk agama lain dan bahkan lintas bangsa.
Dalam banyak hal, pemikiran Gus Dur menekankan pada pemikiran yang fleksible dan progresif, yang dapat pula ditemukan pada beberapa ulama NU, termasuk diantaranya pendahulunya, yaitu Kyai Achmad Siddiq. Ulama lain yang dapat diidentifikasi serupa adalah kakek Gus Dur sendiri, Kyai Hasyim Asy’ari, kemudian ayahnya Wahid Hasyim, dll. Terdapat kesamaan antara Gus Dur dengan para Kyai yang tadi, walaupun terdapat pula perbedaan yang mendasar.
Berkat sikapnya yang begitu toleran, demokratis, pluralis, dan humanis itu, Gus Dur juga disebut sebagai Bapak Pluralisme dan Bapak Toleransi di Indonesia. Meski tidak jarang beliau justru mendapatkan perlawanan. Padahal, yang beliau inginkan hanyalah persatuan dan kesatuan Republik Indonesia, dan memaknai bahwa agama bukan sebagai alasan pembeda atau pemecah. Justru masyarakat Indonesia haruslah bersyukur, sosok seperti Gus Dur pernah menjadi presiden Republik Indonesia.
Dalam sejarah politik dan gerakan sosial di Indonesia, Gus Dur bukan hanya teladan dalam hal bagaimana menjadi pemimpin politik, tetapi juga bagaimana menjadi pemimpin sosial dengan tujuan perjuangan yang memiliki manfaat dari masa ke masa. Yaitu perjuangan atau dakwah dalam mewujudkan nilai-nilai luhur agama dan kemanusiaan. Tidak heran jika Gus Dur diakui sebagai Bapak Demokrasi, Bapak Pluralisme, Pahlawan HAM, Bapak Toleransi dan berbagai sebutan yang lain. Namun, menjadi mubalig kemanusiaan di tengah masyarakat yang tengah mengalami degradasi tentu tidak mudah.
Gus Dur berpandangan bahwa Islam tidak harus memaksakan keadaan atau bersikap emosional untuk mempertahankan pemikiran bahwa Islam mengharuskan ummatnya untuk mendirikan suatu negara. Gus Dur melanjutkan bahwa “Perkembangan sejarah telah menunjukkan tidak ada sistem tunggal maupun menetap dalam Islam. Umpamanya saja, tidak ada cara untuk menetapkan pergantian pemimpin. Dari Abu Bakar ke Umar bin Khattab ke Ustman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib ke para Raja setelah mereka kemudian para Presiden hingga para Amir di masa kini, semuanya menjadi saksi bagi kelangkaaan adanya suksesi dalam Islam, (harus ada suksesi sebagai tuntutan sejarah, tanpa disebut caranya). Begitu juga, ukuran “masyarakat Islam” tidak pernah sama.”
Dalam pandangan Gus Dur, demokrasi sedemikian penting dalam sebuah negara pluralistik, karena perikehidupan kebangsaan yang utuh hanya bisa tercapai dan tumbuh dalam suasana demokratis. Gus Dur menyatakan bahwa demokrasi (1) merupakan sistem dan nilai yang mendukung peradaban tinggi, karena ia mementingkan dan melindungi hak-hak dasar manusia atas kehidupan, (2) melindungi mereka yang minoritas dan berpendapat berbeda dari kelompok mayoritas, (3) mempersatukan beragam arah kecenderungan kekuatan-kekuatan bangsa, dan (4) mengubah keterceraiberaian arah masing-masing kelompok menjadi berputar bersama menuju kedewasaan, kemajuan dan integritas bangsa.

E.     Referensi
Febrianti,Fatra Yeni, “Pemikiran Abdurahman Wahid Tentang Demokrasi”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjung Piang 2016).
Iskandar, A Muhaimin, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur, (Yogyakarta : LkiS Yogyakarta, 2010).
Maarif, Ahmad Syafi’i, dkk, Gila Gusdur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta : LkiS Yogyakarta)
Mirza, Muhammad, Gus Dur Sang Penakluk, (Jombang : Pustaka Warisan Islam).
Pramana, Aditya, “Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Pollitik”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, 2007).
Ubaidillah, Achmad, “Gus Dur : Muslim Humanis, Pejuang Demokrasi”, artikel diakses pada 19 Desember 2016 dari http://www.thereadinggroup.sg/Articles/Gus%20Dur%20-%20Muslim%20Humanis,%20Pejuang%20Demokrasi.pdf.
Wahid, Abdurrahman, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Kumpulan Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 Republik Indonesia, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 1999)
Wahid, Abdurrahman, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta : LkiS Yogyakarta, 1999).
Wahid, Abdurrahman, “Demokratisasi, Profesinalisme, dan Islam”, artikel diakses melalui http://www.gusdur.net/id/gagasan/gagasan-gus-dur/demokratisasi-profesionalisme-dan-islam, pada 19 Desember 2016.
Wahid, Abdurrahman, “Islam : Pokok dan Rincian”, artikel diakses melalui http://www.gusdur.net/id/gagasan/gagasan-gus-dur/islam-pokok-dan-rincian, pada 19 Desember 2016.
Wahid, Abdurrahman, Tabayun Gusdur : Probumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural,  (Yogyakarta : LkiS Yogyakarta, 1998)











[1]Ahmad Syafi’i Maarif, dkk, Gila Gusdur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta : LkiS Yogyakarta), h.88
[2] Muhammad Mirza, Gus Dur Sang Penakluk, (Jombang : Pustaka Warisan Islam), h.1
[3] Mirza, Gus Dur Sang Penakluk, h.2
[4] Mirza, Gus Dur Sang Penakluk, h.8
[5] Mirza, Gus Dur Sang Penakluk, h.8
[6] Mirza, Gus Dur Sang Penakluk, h.10
[7] Syafi’i Maarif, dkk, Gila Gusdur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid,  h.88
[8] A Muhaimin Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur, (Yogyakarta : LkiS Yogyakarta, 2010), h.2
[9] Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur, h. 3-5
[10] Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Kumpulan Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 Republik Indonesia, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 1999), h.16
[11] Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur, h. 16
[12] Ahmad Syafi’i Maarif, dkk, Gila Gusdur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta : LkiS Yogyakarta), h.87
[13] Ahmad Syafi’i Maarif, dkk, Gila Gusdur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid, h.89
[14] Ahmad Syafi’i Maarif, dkk, Gila Gusdur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid, h.96-97
[15] Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur, h.6
[16]Syura mengandung arti menyarikan suatu pendapat berkenaan dengan suatu permasalahan. Seiring dengan hal tersebut, maka syura dapat diartikan tukar menukar fikiran untuk mengetahui dan menetapkan pendapat yang dipandang benar. Syura dapat juga dipahami sebagai suatu forum tukar menukar pikiran, gagasan ataupun ide, termasuk saran-saran yang diajukan dalam memecahkan suatu masalah sebelum tiba pada suatu pengambilan keputusan.
[17]Fatra Yeni Febrianti, “Pemikiran Abdurahman Wahid Tentang Demokrasi”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjung Piang 2016), h.27-28
[18] Aditya Pramana, “Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Pollitik”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, 2007), h.16
[19] Achmad Ubaidillah, “Gus Dur : Muslim Humanis, Pejuang Demokrasi”, artikel diakses pada 19 Desember 2016 dari http://www.thereadinggroup.sg/Articles/Gus%20Dur%20-%20Muslim%20Humanis,%20Pejuang%20Demokrasi.pdf, h.1
[20]KH. Abdurrahman Wahid, “Demokratisasi, Profesinalisme, dan Islam”, artikel diakses melalui http://www.gusdur.net/id/gagasan/gagasan-gus-dur/demokratisasi-profesionalisme-dan-islam, pada 19 Desember 16.
[21]KH. Abdurrahman Wahid, “Islam : Pokok dan Rincian”, artikel diakses melalui http://www.gusdur.net/id/gagasan/gagasan-gus-dur/islam-pokok-dan-rincian, pada 19 Desember 16.
[22]Wahid, “Islam : Pokok dan Rincian”, artikel diakses melalui http://www.gusdur.net/id/gagasan/gagasan-gus-dur/islam-pokok-dan-rincian, pada 19 Desember 16. 
[23]KH. Abdurrahman Wahid, Tabayun Gusdur : Probumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural,  (Yogyakarta : LkiS Yogyakarta, 1998), h. 10
[24] Wahid, Tabayun Gusdur : Probumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural, h. 73
[25] Wahid, Tabayun Gusdur : Probumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural, h. 10
[26] Ubaidillah, “Gus Dur : Muslim Humanis, Pejuang Demokrasi”, h.2
[27] Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur, h.56
[28] Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta : LkiS Yogyakarta, 1999), h.188
[29] Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, h.189
[30] Wahid, Tabayun Gusdur : Probumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural, h. 74
[31] Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Kumpulan Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 Republik Indonesia, h. 156
[32] Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, h. 156
[33] Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur, h.136

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cyclo Progynova #part1

Ehem, kali ini saya akan ceritakan sedikit pengalaman saya mengonsumsi Cyclo Progynova. Saya memiliki masalah dengan hormon. Secara fisik, badan saya tidak ideal memang, tinggi saya sekitar 160cm dan berat badan 42kg. Saya sangat tau bahwa berat badan saya tidak ideal, bisa dibilang sangat kurang. Tapi apalah dikata, saya memang sulit untuk gemuk. Hehe. Saya memiliki masalah dengan siklus haid. Sejak saya sekolah, haid saya sudah tidak teratur. Kadang lancar, kadang engga. Bulan ini haid lancar, bulan depan saya bisa enggak dapat haid. Atau saya pernah mengalami darah Istihadah. Selama sebulan full saya mendapati pendarahan serupa haid, dan hal tersebut sangat meresahkan. Saya galau sekali memikirkan hukum suci saya. Memang sih, kalau lebih dari 15 hari masih ada darah. Saya dikatakan wajib beribadah dan hukumnya sama seperti saya ketika suci. Tapi bagian paling merepotkan adalah ketika saya harus memastikan bahwa saya 'bersih' dan saya harus bersih-bersih sebel

Cyclo Progynova #part2

Yak... Ini lanjutan review yang pernah aku buat tahun lalu, yaitu mengenai Cyclo Progynova. Aku memang sengaja tidak ingin menulis kelanjutannya, tapi karena ada beberapa teman yang menghubungiku untuk menanyakan lanjutan ceritanya, maka baiklah, aku akan melanjutkannya. Well, sebenarnya aku memang malas melanjutkan untuk menulis cerita tentang ini, karena aku mengalami sedikit kekecewaan, aku malah takut orang lain yang membacanya malah ikutan kecewa, wkwk. Padahal kan pengalaman kita bisa berbeda. Jadi sebenarnya aku tidak mengonsumsinya sampai 3 blister. Aku berhenti ketika blister kedua habis, dan ternyata hal tersebut berdampak kurang baik. Aku mengalami flek-flek tidak menentu kadang ada, kadang tidak ada, dengan kurun waktu yang tidak bisa ditebak, seminggu ada, seminggu hilang, dan hal tersebut berlangsung selama sekitar satu semester alias 4 bulan, kira-kira selama aku semester 7. Jadi, aku selesai mengonsumsi blister kedua itu tepat saat setelah liburan lebaran

Syura, Ahlul Halli wal Aqdi, dan Bay’ah wal Mubayaah

(essay ini saya tulis dalam memenuhi tugas mata kuliah Politik Islam) Syura, Ahlul Halli wal Aqdi, dan Bay’ah wal Mubayaah ( Irma Ayu Sawitri – 1113015000092 – irma.ayus13@mhs.uinjkt.ac.id ) Syura             Kata syura memiliki pengertian yang sangat beragam. Sesungguhnya istilah syura berasal dari kata sy-wa-ra, syawir yang berarti berkonsultasi, menasehati, memberi isyarat, petunjuk dan nasehat. Pendapat yang lain mengatakan pula bahwa syura memiiki kata kerja syawara-yusyawiru  yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan untuk mengambil sesuatu. Menurut Imam Syahid Hasan al-Banna Syura adalah suatu proses dalam mencari sebuah keputusan atau kesepakatan yang berdasarkan pada suara terbanyak dan berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan hendaklah setiap urusan itu diserahkan kepada para ahlinya demi mewujudkan suatu hasil yang maksimal dalam rangka menjaga stabilitas antara pemimpin dengan rakyat. [1]             Secara istilah penggunaan kata   syura menga