Abdurrahman
Wahid, Bapak Pluralisme Indonesia
Abstrak
Siapa
yang tidak mengenal KH. Abdurrahman Wahid atau yang biasa disapa denan nama Gus
Dur. Beliau adalah cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama dan pemilik Pondok
Pesantren Tebu Ireng di Jombang, yaitu KH. Hasyim Asya’ri dan beliau adalah
anak dari mentri agama RI tahun 1949 KH. Gus Dur tumbuh dilingkungan santri.
Kakek-kakeknya adalah Kyai besar, sehingga sangat mungkin jika lingkungan
tersebut memberi pengaruh besar dalam pemikiran-pemikirannya.
Berkat
sikapnya yang begitu toleran, demokratis, pluralis, dan humanis, Gus Dur juga
disebut sebagai Bapak Pluralisme dan Bapak Toleransi di Indonesia. Meski tidak
jarang beliau justru mendapatkan perlawanan atas pemikiran-pemikirannya yang
dianggap kontroversi. Padahal, yang beliau inginkan hanyalah persatuan dan
kesatuan Republik Indonesia, dan memaknai bahwa agama atau perbedaanbukan
sebagai alasan pembeda atau pemecah. Terlebih Indonesia merupakan negara sangat
majemuk.
Pemikiran
Gus Dur yang tidak kalah menonjol selain mengenai toleransi, adalah pemikiran
Gus Dur mengenai Demokrasi. Gus Dur menyerukan bahwa Islam memerintahkan untuk
mendirikan pemerintahan yang demokrasi, sebagaimana para sahabat Rasul
mencontohkan melalui peristiwa Syura. Seperti yang telah kita ketahui, demokrasi
adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam
pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mencakup
kondisi sosial, ekonomi, politik, agama dan budaya yang memungkinkan adanya
praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Dan demokrasi yang dianut di
Indonesia, adalah demokrasi yang berdasarkan kepada Pancasila. Gus Dur adalah
sosok yang sangat mendukung bahkan memperjuangkan kehidupan Demokrasi di
Indonesia.
Salah
satu contoh pergerakan Gus Dur dalam memperjuangkan demokrasi di Indonesia
adalah dengan mendirikan Forum Demokrasi. Menurut pernyataan Gus Dur sendiri,
beliau mendirikan Forum Demokrasi tidak sendiri namun bersama teman-teman yang
lain, dengan maksud untuk membuat wadah yang menampung semua pendapat mengenai
demokrasi.
Keywords : Gus Dur,
Islam, Negara, Demokrasi, Pluralisme
A.
Kelahiran
dan Perjalanan Pendidikan
Siapa yang
tidak mengenal KH. Abdurrahman Wahid atau yang biasa dikenal dengan sebutan Gus
Dur. Beliau adalah cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama dan pemilik Pondok
Pesantren Tebu Ireng di Jombang, yaitu KH. Hasyim Asya’ri dan beliau adalah anak
dari mentri agama RI tahun 1949 KH. Wahid Hasyim yang meninggal karena sebuah
kecelakaan mobil pada tahun 1953[1],
yang pada saat itu Gus Dur kecil ikut dan beliau selamat dari maut. Di
Indonesia Gus Dur termasuk tokoh yang cukup fenomenal. Selain dikenal sebagai
politisi Islam, Gus Dur juga dikenal sebagai mubalig terutama dikalangan
Nahdlatul Ulama.
Gus Dur Lahir
di Jombang Jawa Timur, pada tanggal 7 September 1940 Masehi atau 4 Sya’ban 1359
Hijriyah. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara dari keluarga yang
sangat terhormat dalam masyarakat muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah
KH. Muhammad Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama. Sementara kakek dari pihak
Ibu adalah KH. Bisri Syansuri, pendiri pondok pesantren Mambaul Ma’arif
Denanyar Jombang. Ayah Gus Dur KH. Abdul Wahid Hasyim, menteri Agama tahun
1949.[2]
Nama Asli Gus
Dur adalah Abdurrahman “Addakhil” yang maknanya berarti “Sang Penakluk”.
Namun, nama “Addakhil” tak cukup dikenal kemudian diganti dengan Wahid, sebagaimana
nama kakek dan ayahnya, sehingga Abdurrahman Addakhil lebih dikenal dengan Abdurrahman
Wahid, dan kemudian lebih akrab disapa dengan sebutan Gus Dur.[3]
Gus Dur tumbuh
dilingkungan para Kyai. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa Gus Dur adalah
cucu dari KH. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama dari silsilah Ayah,
sedangkan dari silsilah Ibu, Gus Dur adalah cucu dari KH. Bisri Syansuri,
pendiri Pondok Pesantern Mambaul Ma’arif Denayar Jombang. Sejak kecil, Gus Dur
sudah sangat menyukai membaca buku. Hal tersebut juga didorong oleh Ayahnya
yang juga kutu buku. Dapat kita bayangkan bagaimana lingkungan tersebut
mempengaruhi pemikiran-pemikiran yang dimiliki oleh Gus Dur.
Pondok satu
kepondok lainnya Gus Dur singgahi. Saat lulus Sekolah Dasar Gus Dur bersekolah
di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan sembari mondok di pesantren
Krapyak. Sekolah tersebut sebenarnya dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan
tetapi berlandaskan kurikulum yang umum. Gus Dur juga dikenal sebagai anak yang
jenius, karena kesukaannya membaca buku-buku. Gus Dur sudah terkenal pandai
berbahasa Inggris sejak beliau SMP, karena beliau hobi membaca buku berbahasa
Inggris, juga mendengarkan siaran radio Amerika dan London.[4]
Setelah lulus
jenjang Sekolah Menengah Pertama, Gus Dur melanjutkan pendidikannya dari pondok
satu ke pondok lainnya. Diantara pondok yang beliau singgahi adalah Pondok
Pesantren Tegalrejo di Magelang yang di asuh oleh KH. Chudhari.[5]
Kemudian pada tahum 1959, saat usianya 20, Gus Dur pindah ke pondok Pesantren
Bahrul Ulum Tambak Beras, disana Gus Dur tidak hanya menjadi santri saja, namun
juga menerima pekerjaan sebagai kepala Madrasah. Lalu kemudian pada tahun 1963,
Gus Dur pergi menunaikan ibadah haji dan diteruskan untuk melanjutkan studinya
di Universitas al-Azhar Mesir karena mendapat beasiswa dari pemerintah.[6]
Namun Gus Dur cukup kecewa dengan standar berfikir kritis disana, sehingga Gus
Dur lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca di perpustakaan
Universitas Amerika dan bergabung dengan kelompok diskusi intelektual, atau
menonton bola dan film Perancis kesukaannya. Setelah dua tahun lamanya Gus Dur
di Kairo, kemudian Gus Dur berpindah ke Bagdad. Gus Dur memutuskan untuk pergi
ke Bagdad karena disana adalah salah satu pusat belajar yang paling maju,
canggih dan kosmopolitan di dunia Arab. Kemudian empat tahun lamanya Gus Dur
belajar kebudayaan dan sastra Arab. Kemudian kembali ke Indonesia pada tahun
1971, dan mengajar selama beberapa tahun di pesantren sebelum akhirnya Gus Dur
kembali ke Jakarta.[7]
B.
Sebagai
Mubalig Yang Pluralis dan Toleran
KH Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) selain dikenal sebagai politisi Islam, beliau juga dikenal
sebagai seorang mubalig. Melalui tulisan-tulisannya, ceramahnya dan aktivitas
kehidupan serta pembelaannya terhadap sesama, Gus Dur menyebarkan ajaran-ajaran
agama, atau dapat dikatakan bahwa seluruh hidupnya, beliau dedikasikan untuk
menyebarkan ajaran agama Islam. Namun berbeda dengan para muballig konvensional
yang cenderung menyebarkan ajaran - ajaran agama sebatas pada dimensi normatif
dan simboliknya, Gus Dur selalu menyebarkan inti dari ajaran agama, yaitu
ajaran yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta kemanusiaan. Karena
yang disebarkan adalah inti ajaran agama, dakwah Gus Dur bersifat terbuka, menyeluruh
dan mampu merangkum ajaran-ajaran yang baik dari semua agama dan peradaban.
Dakwahnya juga tidak hanya ditujukan kepada dan diterima oleh kelompoknya saja,
tetapi juga pemeluk agama lain dan bahkan lintas bangsa.[8]
Muhaimin
Iskandar menjelaskan dalam bukunya bahwa terdapat lima aras dakwah Gus Dur
sebagai seorang Mubalig.[9]
Pertama, Gus Dur senantiasa mengembangkan pemikiran dan kesadaran bahwa agama
diturunkan ke bumi ini adalah untuk kebaikan dan memudahkan kehidupan manusia beserta
alam seisinya. Agama hadir bukan untuk memberi beban, menakut-nakuti atau
menjadi ancaman bagi agama lain. Agama hadir untuk memudahkan tugas manusia
sebagai khalifah di bumi dan mewujudkan kemaslahatan di antara mereka.
Kedua, Gus Dur seringkali menyatakan Islam dan agama-agama yang ada
hanya merupakan salah satu bagian saja dari kehidupan masyarakat bangsa, bukan
faktor tunggal. Karena itu, posisi dan ajaran agama harus ditempatkan dalam
fungsi komplementer bersama nilai-nilai, ideologi atau kelompok yang lain. Menempatkan
dan memahami agama sebagai faktor tunggal dan yang paling menentukan hanya akan
mendorong lahirnya pemikiran dan tindakan absurd yang bertentangan dengan inti ajaran
agama itu sendiri.
Ketiga, Gus Dur juga sering berbicara soal hukum atau dimensi normatif
agama. Namun bagi Gus Dur norma-norma agama akan berfungsi efektif jika ia bisa
menjadi etika sosial yang menyatu dengan kesadaran masyarakat. Tanpa bisa
menjadi etika sosial, norma-norma agama akan kehilangan dimensi moral dan
etisnya, sehingga manifestasi keberagamaan menjadi sangat kaku dan hitamputih.
Keempat, dalam berdakwah, Gus Dur senantiasa menyebarkan toleransi di
internal dan di antara agama-agama itu sendiri. Tidak pernah merasa paling
benar (truth claim). Bagi Gus Dur, toleransi yang sesungguhnya tidak sekadar
hidup berdampingan secara damai dalam suasana saling menghormati dan
menghargai, tetapi juga adanya kesadaran dan kesediaan untuk menerima
ajaran-ajaran luhur dari agama atau keyakinan berbeda. Dengan toleransi itulah,
suasana damai dan dimanis bisa dijaga dan kemuliaan ajaran agama menampakkan wujudnya.
Kelima, dalam kehidupan politik, Gus Dur juga mendedikasikan hidupnya
untuk mewujudkan demokrasi dan tegaknya hak asasi manusia secara menyeluruh
dalam kehidupan masyarakat bangsa. Bagi Gus Dur, demokrasi merupakan
manifestasi terbaik dari nilai-nilai luhur agama. Dan dalam sistem demokrasi
dimungkinkan umat dari berbagai agama, kepercayaan dan suku bisa bersatu untuk mewujudkan
tujuan nasionalnya, serta terlindunginya hak-hak asasi manusia.
Oleh karena itu, Gus Dur dikenal
sebagai sosok yang pluralis, dan juga humanis. Dalam beberapa kasus, Gus Dur
justru bersikap berbeda dari orang-orang pada umumnya, seperti pada saat
ramai-ramai masyarakat membicarakan pencekalan penyanyi dangdut bernama Inul
Daratista karena gerakannya saat bernyanyi dinilai erotis. Justru Gus Dur
tampil sebagai sosok yang mendukung penyanyi dangdut Inul Daratista. Juga pada
kasus lain yang menjadikan Gus Dur menjadi sosok super hero, yaitu
pembebasan bagi masyarakat etnis Tionghoa oleh Gus Dur saat Gus Dur menjabat
menjadi presiden RI. Pada masa Orde Lama, dikeluarkan peraturan Pemerintah No.
10 Tahun 1959 yang berisi larangan pada masyarakat Tionghoa melakuan
perdagangan eceran di pedesaan dan masa Orde Baru muncul Inspres No. 14 Tahun
1967 yang melarang semua bentuk ekspresi keagamaan etnis Tionghoa di depan
umum. Namun saat Gus Dur menjabat presiden,
beliau mencabut Inpres No. 14
Tahun 1967 dan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2000 dan penetapan
Hari Imlek sebagai hari libur Nasional seperti hari raya agama-agama lain yang
ada di Indonesia. Dan semenjak saat itulah, etnis Tionghoa bebas dalam
melaksanakan ritual, maupun dalam melaksanakan kegiatan ekonomi.
Dalam tulisan-tulisannya Gus Dur pun
terang-terangan menuliskan serta menjelaskan yang menunjukkan bahwa beliau
adalah mubalig yang mengajak kepada umat Islam di Indonesia untuk saling
menghormati bahkan saling memiliki. Dalam tulisannya yang berjudul Islam dan
Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia Gus Dur menjelaskan bahwa,
“...masalah pokok dalam hal hubungan antarumat beragama, adalah
pengembangan rasa saling pengertian yang tulus dan berkelanjutan. Kita hanya
mampu menjadi bangsa yang kukuh, kalau umat agama-agama yang berbefa dapat
saling mengerti satu sama lain, bukan hanya sekedar saling menghormati. Yang
diperluka adalah rasa saling memiliki (sense of belonging), bukannya
hanya saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain."[10]
Menurut Gus Dur, hidupnya pluralisme masyarakat bukan hanya terletak
pada pola hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence), karena
bila hanya itu saja masih sangat rentan terhadap munculnya kesalahpahaman
antar-kelompok masyarakat yang pada saat tertentu dapat menimbulkan perpecahan. Lebih dari itu
penghargaan terhadap pluralisme berarti adanya kesadaran untuk saling mengenal
dan berdialog secara tulus sehingga kelompok yang satu dengan yang lain bisa
saling memberi dan menerima (take and give). Toleransi plus yang
diajarkan dan dipraktekkan Gus Dur tidak sekadar menghormati dan menghargai
keyakinan atau pendirian orang lain dari agama yang berbeda, tetapi juga
disertai kesediaan untuk menerima ajaran-ajaran yang baik dari agama dan
peradaban lain itu sendiri.[11]
Dalam banyak hal, pemikiran Gus Dur menekankan pada pemikiran yang
fleksible dan progresif, yang dapat pula ditemukan pada beberapa ulama NU,
termasuk diantaranya pendahulunya, yaitu Kyai Achmad Siddiq. Ulama lain yang
dapat diidentifikasi serupa adalah kakek Gus Dur sendiri, Kyai Hasyim Asy’ari,
kemudian ayahnya Wahid Hasyim, dll. Terdapat kesamaan antara Gus Dur dengan
para Kyai yang tadi, walaupun terdapat pula perbedaan yang mendasar.[12] Greg
Barton menuliskan bahwa terdapat lima elemen kunci yang dapa disimpulkan dari
pemikiran Gus Dur:
Pertama, pemikirannya progresif dan bervisi jauh ke depan. Baginya, dari
pada terlena oleh kemenangan masa lalu, Abdurrahman melihat masa depan dengan
harapan yang pasti bahwa, bagi Islam dan masyarakat Muslim, sesuatu yang
terbaik pasti akan datang. Kedua, pemikiran Abdurrahman sebagian besar
merupakan respons terhadap modernitas; respons dengan penuh percaya diri dan
cerdas. Sembari tetap kritis terhadap kegagalan-kegagalan masyarakat Barat
modern, Abdurrahman secara umum bersikap positif terhadap nilai-nilai inti
pemikiran liberal pasca pencerahan, walaupun dia juga berpendapat hal ini perlu
diikatkan pada dasar teistik. Ketiga, dia menegaskan bahwa posisi
sekularisme teistik yang ditegaskan dalam pancasila sangat penting bagi
kesejahteraan dan kejayaan bangsa. Abdurrahman menegaskan bahwa ruang yang
paling cocok untuk Islam adalah ruang sipil (civil sphere), bukan ruang
politik peaktis. Keempat, Abdurrahman mengartikulasikan pemahaman Islam
liberal dan terbuka yang toleran trhadap perbedaan dan sangat perduli untuk
menjaga harmoni dalam masyarakat. Kelima, pemikiran Abdurrahman
merepresentasikan sintesis cedas pemikiran Islam tradisional elemen modernisme
Islam, dan kesarjanaan Barat modern, yang berusaha menghadapi tantangan
modernitas baik dengan kejujuran intelektual yang kuat maupun dengan keimanan
yang mendalam terhadap kebenaran utama Islam.[13]
Gus Dur, secara tegas menolak segala bentuk prasangka, intoleransi,
dan kekerasan. Tahun-tahun terakhir abad ke-20, Indoesia diwarnai oleh
kekerasan baik kekerasan etnik atau kekerasan keagamaan. Babak akhir Soeharto
ternyata dihiasi oleh pecahnya kekerasan antar komunitas yang sepertinya
mengandung unsur etnik dan agama. Dan tentunya Gus Dur yang pada saat itu
menjabat sebagai ketua NU, memiliki respon atas peristiwa-peristiwa tersebut
yang tentunya memberikan sumbangsih yang sangat berarti untuk meredakan
ketegangan di lapangan dan mendorong masyarakat untuk menyelenggarakan dialog
dan penguatan hubungan, sehingga kekerasan yang terjadi dapat dihentikan dan
tidak muncul kembali. Misalnya pada kasus pembakaran gereja di Situbondo pada
tahun 1996, dan yang lainnya adalah peristiwa pembunuhan besar-besaran di
Banyuwangi, Jawa Timur 1998. Sementara berbagai peristiwa kekerasan sebenarnya
terjadi secara spontan dan disebabkan atas dasar situasi ekonomi dan sosial
yang serba sulit dan bercampur dengan ketegangan. Namun berbeda dengan kasus
Banyuwangi, pembunuhan yang terjadi konon dilakukan oleh para ninja berpakaian
hitam-hitam dan telah memakan korban sebanyak 200 orang. Bukti-bukti yang
menunjukkan menggiring opini bahwa yang melakukan pembunuhan tersebut adalah
orang yang memiliki pendidikan militer dan terorganisir dengan baik. Lebih dari
itu, terdapat bukti kuat bahwa siapapun yang berada dibalik pembunuhan ini pasti
menginginkan kerusuhan sosial di masyarakat. Dan perlu diketahui pula bahwa
sebagian besar korbannya adalah para anggota NU, yang memiliki kedudukan
sebagai pemimpin atau ulama NU di daerahnya. Kemudian, respon Gus Dur terhadap
pembunuhan tersebut adalah dengan mengunjungi Banyuwangi dan mendorong para
tokoh agama lokal untuk menahan diri dari godaan untuk membalas kekerasan
tersebut dengan kekerasan. “Siapa pun dibalik pembunuhan ini”, kata Gus Dur
“agaknya mengharapkan kita merespon mereka dengan kemarahan. Oleh karenanya
mereka menggunakan target para ulama. Sadar akan hal ini”, Gus Dur melanjutkan,
“kita harus menahan provokasi ini dan tetap mengkampanyekan perdamaian”. Mudah
sekali kita bayangkan bahwa pebantaian Banyuwangi tersebut dapat membangkitkan
kerusuhan berskala luas, karena peistiwa pembunuhan itu telah melahirkan
keresahan, ketakutan, dan tekanan yang sangat besar pada masyarakat. Kemudian
masyarakat tidak merespon dengan kekerasan adalah poin utama bagi masyarakat
ini dan kepemimpinan NU secara keseluruhan, termasuk otoritas Gus Dur sebagai
ketua NU pada saat itu.[14]
Berkat sikapnya yang begitu toleran,
demokratis, pluralis, dan humanis itu, Gus Dur juga disebut sebagai Bapak
Pluralisme dan Bapak Toleransi di Indonesia. Meski tidak jarang beliau justru
mendapatkan perlawanan. Padahal, yang beliau inginkan hanyalah persatuan dan
kesatuan Republik Indonesia, dan memaknai bahwa agama bukan sebagai alasan
pembeda atau pemecah. Justru masyarakat Indonesia haruslah bersyukur, sosok
seperti Gus Dur pernah menjadi presiden Republik Indonesia.
Dalam sejarah
politik dan gerakan sosial di Indonesia, Gus Dur bukan hanya teladan dalam hal
bagaimana menjadi pemimpin politik, tetapi juga bagaimana menjadi pemimpin
sosial dengan tujuan perjuangan yang memiliki manfaat dari masa ke masa. Yaitu perjuangan
atau dakwah dalam mewujudkan nilai-nilai luhur agama dan kemanusiaan. Tidak
heran jika Gus Dur diakui sebagai Bapak Demokrasi, Bapak Pluralisme, Pahlawan
HAM, Bapak Toleransi dan berbagai sebutan yang lain. Namun, menjadi mubalig
kemanusiaan di tengah masyarakat yang tengah mengalami degradasi tentu tidak
mudah. Gus Dur bukan hanya berhadapan dengan pemimpin-pemimpin pro status
quo dan kelas ongkang-ongkang, tetapi juga berhadapan dengan kaum
fundamentalis agama dan pasar. Namun Gus Dur adalah mubalig sejati, ia terus
berjuang mewujudkan tegaknya nila-nilai kemanusiaan sampai akhir hayatnya,
karena menjadi mubalig adalah jalan dan panggilan hidupnya.[15]
C.
Pejuang
Demokrasi
Pemikiran Gus
Dur yang tidak kalah menonjol selain mengenai toleransi, adalah pemikiran Gus
Dur mengenai Demokrasi. Gus Dur menyerukan bahwa Islam memerintahkan untuk
mendirikan pemerintahan yang demokrasi, sebagaimana para sahabat Rasul mencontohkan
melalui peristiwa Syura.[16] Seperti
yang telah kita ketahui, demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga
negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah
hidup mereka. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, politik, agama dan
budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan
setara. Dan demokrasi yang dianut di Indonesia, adalah demokrasi yang
berdasarkan kepada Pancasila. Gus Dur adalah sosok yang sangat mendukung bahkan
memperjuangkan kehidupan Demokrasi di Indonesia.
Gus Dur adalah
pejuang yang gigih dalam menegakkan demokrasi dan kedamaian di bumi. Hal ini
terlihat dari upaya-upayanya untuk mereformasi sistem pemerintahan yang
otoriter, mengganti hukum yang diskriminatif, dan melindungi rakyat yang
tertindas. Beliau selalu mencari cara agar perjuangannya dalam menegakkan
demokrasi tidak memakan korban misalnya, ditengah-tengah banyaknya masyarakat
yang mengecam Soeharto agar segera turun, Gus Dur tidak menggerakkan massanya
untuk bersama-sama masyarakat yang turun ke jalan menggempur Soeharto. Hal ini
ia lakukan dengan alasan untuk mencari jalan damai dan memilih pendekatan
persuasif. Bagi Gus Dur, nyawa seorang manusia sangat berharga.[17]
Demokrasi
memang erat dengan liberalisme dan kebarat-baratan, namun Gus Dur adalah sosok
yang selalu melibatkan keilmuan agamanya dalam segala pemikirannya. Bagi Gus
Dur bahwa Islam adalah agama yang toleran, Islam tidak membenarkan perlakuan
tidak adil hanya sebab ras, suku, dan agama. Dengan begitu, prinsip-prinsip
demokrasi tidak bisa dipermasalahkan hanya karena ia berasal dari barat,
karenanya Gus Dur tidak begitu mempermasalahkan hubungan Islam dan Barat.[18]
Gus Dur
merupakan perpaduan antara pemikir dan aktivis. Sebagai pemikir, Gus Dur
terlibat sangat intensif dalam pergumulan pemikiran Islam berbagai mazhab dan
beragam aliran. Basis keislaman Gus Dur berakar pada tradisi keilmuan klasik
yang sangat kuat, dengan kombinasi wawasan dan khazanah pemikiran modern yang
sangat kaya. Kemudian sebagai aktivis, Gus Dur sudah sejak lama terlibat dalam
perjuangan di tanah air. Ia merupakan satu diantara dari sedikit tokoh nasional
yang begitu gigih mendorong proses demokratisasi dari akarnya. Sumbangan
terpenting Gus Dur adalah kerja-kerja pemberdayaan masyarakat lapisan bawah
melalui berbagai instrumen sosial, terutama lembaga pendidikan (pesantren) dan
lembaga ekonomi.[19]
Gus Dur sering
menekankan bahwa Islam bukan halangan bagi hidupnya demokrasi di Indonesia yang
mana masyarakatnya sebagian besar memeluk Islam. Dalam tulisannya yang berjudul
Demokratisasi, Profesionalisme, Dan Islam, Gus Dur membahas mengenai
orang-orang Islam radikalis yang mana orang-orang Islam mengklaim bahwa Islam
memiliki konsep negara, dan klaim-klaim tersebut justru hanya menimbulkan
orang-orang Islam yang mudah emosi, kemudian mengharuskan seluruh umat Islam
memiliki tingkat kepekaan yang seragam mengenai amalan ibadah, pelaksanaan
hukum agama dan kebenaran ajaran-ajaran agama,. Belum lagi jika dihubungkan
dengan masyarakat lain yang memiliki perbedaan agama, suku, etnik, dan kaum
minoritas yang ada di Indonesia. Kemudian, Gus Dur memberikan saran agar tidak
mudah menerima klaim seperti itu, karena dikhawatirkan ekstrimisme terjadi, Gus
Dur menyayangkan karena hal tersebut justru hanya akan membuat citra Islam
minus.
Masyarakat
Indonesia memang mayoritas beragama Islam, dan tidak semua umat muslim di
Indonesia menerima klaim bahwa Islam memiliki konsep negara, kemudian melakukan
tindakan yang katanya untuk kejayaan Islam yang justru jumlahnya lebih sedikit
dari pada muslim-muslim yang hanya diam, dan hanya dianggap menerima klaim
tersebut. Lalu bagaimana dengan orang-orang Islam yang hanya berdiam ? Gus Dur
menyebut mereka sebagai orang-orang Islam moderat. Seharusnya, semakin banyak
para Islam moderat, Islam ekstrimis akan terkikis geraknya. Kemudian Gus Dur
menjelaskan bagaimana cara mengetahui potensi para Islam Moderat, beliau
mengatakan bahwa “...pemilihan umum yang terbuka dan jujur. Kelompok-kelompok
moderat akan memenangkan pertarungan politik itu, asalkan pemilu dijalankan secara jujur dan terbuka.
Juga hal itu tampak, kalau ukuran-ukuran profesionalitas digunakan dalam
melaksanakan pemerintahan, hingga kaum moderat dapat menunjukkan kemampuan
mereka yang sebenarnya.”[20]
Kemudian dalam
tulisannya yang lain, Gus Dur mengungkapkan pendapatnya mengenai perintah agama
dalam mendirikan Negara Islam. Gus Dur membahas mengenai dalil yang sering
digunakan sebagai landasan orang-orang yang mengatakan bahwa ummat Islam harus
mendirikan suatu negara, atau Negara Islam harus didirikan sebagai perintah
agama. Namun, dalam hal ini Gus Dur memberi tanggapan bahwa dalil tersebut
hanyalah merupakan perintah sistemik, yang tidak berdiri sendiri, atau tidak
dapat diartikan secara bulat-bulat, namun harus diambil tafsirnya dengan ditunjang
dengan perintah-perintah tafsir yang lain.
“Perintah “tidak ada paksaan dalam beragama, karena telah jelas
mana yang lurus dan mana yang palsu” (laa ikraha fi ad-dien, qad tabayyana
al-rusydu min al-ghayyi). Perintah dalam bentuk pernyataan ini diperkuat oleh
pernyataan lain dalam kitab suci “Bagi kalian agama kalian dan bagi-ku agama-ku
(lakum dinukum wa liyadien). Jelas , kitab suci tersebut tidak menyatakan
lembaga tertentu yang harus “menjamin” kelebihan agama itu
atas agama lain, melainkan “diserahkan” kepada akal sehat manusia untuk “mencapai kebenaran”.[21]
Kesimpulannya, Gus Dur
berpandangan bahwa Islam tidak harus memaksakan keadaan atau bersikap emosional
untuk mempertahankan pemikiran bahwa Islam mengharuskan ummatnya untuk
mendirikan suatu negara. Gus Dur melanjutkan bahwa “Perkembangan sejarah telah
menunjukkan tidak ada sistem tunggal maupun menetap dalam Islam. Umpamanya
saja, tidak ada cara untuk menetapkan pergantian pemimpin. Dari Abu Bakar ke
Umar bin Khattab ke Ustman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib ke para Raja setelah
mereka kemudian para Presiden hingga para Amir di masa kini, semuanya menjadi
saksi bagi kelangkaaan adanya suksesi dalam Islam, (harus ada suksesi sebagai
tuntutan sejarah, tanpa disebut caranya). Begitu juga, ukuran “masyarakat
Islam” tidak pernah sama.”[22]
Dengan demikian, “kesempurnaan sistem” Islam sebagai agama, tidak
didasarkan pada kekuatan/wewenang lembaga tertentu, melainkan pada kemampuan
akal manusia untuk melakukan perbandingan sendiri-sendiri. Dalam pandangan
penulis, kesadaran pluralistik seperti inilah yang harus kita pelihara dan
bukannya lembaga tertentu seperti negara yang harus kita sandari. Bukankah ini
sesuai dengan pernyataan Tuhan –sebagaimana yang disebutkan di atas, tentang ke-utusan Nabi kita Muhammad SAW,
untuk membawakan persaudaraan di antara sesama manusia? Pengertian berangkai
yang penulis ajukan ini, tentulah terkait sepenuhnya dengan pernyataan Tuhan:
“Barang siapa mengambil selain Islam sebagai agama, tiada diterima (amal)-nya
dan ia akan termasuk di akhirat “kelak” sebagai orang yang merugi (man yabtaghi
ghaira al-Islama diinan fa lan yuqbala minhu wa hua fi al-akhirati min
al-khasirien). Pernyataan ini menunjukkan hak tiap orang untuk merasa benar, walaupun Islam meyakini
kebesarannya sendiri.
Salah satu
contoh pergerakan Gus Dur dalam memperjuangkan demokrasi di Indonesia adalah
dengan mendirikan Forum Demokrasi. Menurut pernyataan Gus Dur sendiri, beliau
mendirikan Forum Demokrasi tidak sendiri namun bersama teman-teman yang lain, dengan
maksud untuk membuat wadah yang menampung semua pendapat mengenai demokrasi.[23] Didirikannya
Forum Demokrasi ini menunjukkan sikap kritis Gus Dur terhadap negara demokrasi
(Indonesia) yang belum bisa mengamalkan demokrasi itu sendiri. Ketika diwawancara
apa yang melatar belakangi pembentukan Forum Demokrasi ? Beliau menjawab,
“Itu timbull dari keprihatinan akan gejala menguatnya rasa
(mementingkan) golongan. Sedang semangat kebersamaan dan demokrasi semakin
melemah. Kadang demokrasi dan kepentingan bersa-ma kalah dengan kepentingan
golongan atau sektarianisme. Meski baru gejala, ‘kan mengkhawatirkan. Banyak
semangat golongan dan sektarian yang berkembang. Maka, saya mengajak
teman-teman, gimana sih baiknya, kita bicarakanlah. Lalu terjadi
pertemuan di Cottage Cisarua itu, yang melahirkan Forum Demokrasi.”[24]
Bagi Gus Dur, para
pemegang kursi pemerintahan Indonesia belum cukup memperhatikan atau belum
cukup berpartisipasi aktif dalam menegakkan demokrasi di Indonesia. Gus Dur
menyatakan bahwa demokrasi haruslah utuh, tidak cukup hanya dengan adanya
lembaga pemerintahan seperti MPR, DPR, dan BPK, namun para anggotanya juga
haruslah bersikap demokratis.[25]
Begitu pula dengan rakyat Indonesia, haruslah mampu bersikap dan berpartisipasi
aktif dalam keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
Gus Dur
menggunakan pendekatan cultural politics dalam meretas jalan demokrasi,
yang bertumpu pada penguatan lembaga-lembaga sosial non-negara yang ada di
masyarakat. Perjuangan yang dilakukan Gus Dur dalam menanamkan demokrasi selama
ini diantaranya mengandung unsur-unsur pengakuan hak-hak dasar warga negara da
pengakuan pluralisme yang ada di Indonesia. Gus Dur, sebagaimana Nurcholis
Madjid, merupakan sosok muslim yang sampai akhir hayatnya memerjuangkan HAM,
demokrasi dan pluralisme dalam ranah publik untuk membangun masa depan
Indonesia yang lebih baik. [26]
Dalam pandangan
Gus Dur, demokrasi sedemikian penting dalam sebuah negara pluralistik, karena
perikehidupan kebangsaan yang utuh hanya bisa tercapai dan tumbuh dalam suasana
demokratis. Gus Dur menyatakan bahwa demokrasi (1) merupakan sistem dan nilai
yang mendukung peradaban tinggi, karena ia mementingkan dan melindungi hak-hak dasar
manusia atas kehidupan, (2) melindungi mereka yang minoritas dan berpendapat
berbeda dari kelompok mayoritas, (3) mempersatukan beragam arah kecenderungan
kekuatan-kekuatan bangsa, dan (4) mengubah keterceraiberaian arah masing-masing
kelompok menjadi berputar bersama menuju kedewasaan, kemajuan dan integritas
bangsa.[27]
Dalam
tulisannya, yang berjudul “Demokrasi Haruslah Diperjoeangkan” Gus Dur
menceritakan mengenai tradisi pembangkangan di Rusia. Di Rusia perlawanan
terhadap pemimpin yang lalim menjadi gerakan yang membudaya dalam politik di
Rusia. Gus Dur mengatakan bahwa tradisi pembangkangan yang terjadi di Rusia
semakin menguat, tidak hanya digerakkan oleh para sastrawan saja tapi juga para
ilmiawan.
Gus
Dur mengatakan bahwa pengorbanan besar mereka berikan, demi tujuan menegakkan
kebebasan dan demokrasi di Rusia. Tentu timbul pertanyaan, apakah artinya
perjuangan mereka, bila dihadapkan dengan kelaliman penguasa yang begitu mutlak
?. Jawabannya sebenarnya mudah saja : para pejuang itu sendiri mengetahui
prospek gelap yang ada di hadapan mereka. Demokrasi dan kebebasan belum akan
tegak untuk waktu yang sangat lama lagi di tanah air mereka, sehingga merupakan
impian kosong saja untuk mengharap dapat menyaksikannya sendiri buah perjuangan
mereka dalam masa hidup mereka.[28]
Apa
yang mendorong mereka untuk terus berkorban sedemikian mahal adalah kesadaran
akan perlunya pengorbanan itu sendiri bagi kelanjutan ide demokrasi dari
kebebasan di Rusia. Tanpa keberanian memperjuangkannya dengan pengorbanan
sebegitu besar di masa kini, demokrasi tidak akan dapat tegak di kemudian hari.
Darah dan air mata yang merupakan cucuran kini adalah penyiram yang
menghidupkan benih-benih demokrasi dan kebebasan.[29]
Lalu
bagaimana dengan demokrasi di Indonesia ? Gus Dur pernah menyatakan pendapatnya
bahwa demokrasi di Indonesia pada saat itu belum penuh. Gus Dur menyatakan
bahwa “...Semua orang sedikit-sedikit masih harus minta petunjuk keatas.
Pembuatan undang-undang juga masih berjalan secara mekanistik saja. Pengambilan
pendapat dari masyarakat masih terbatas. Pelaksanaan kedaulatan hukum di depan
undang-undang juga (masih sulit), ada mafia pengadilan dan sebagainya yang
betul tidaknya diperiksa. Belum lagi meluasnya korupsi. Hukum kita srempet
jalannya, sehingga yang menikmati hanya yang posisi kuat.”[30]
Gusdur juga
pernah menuliskan pendapatnya mengenai masa depan demokrasi di Indonesia,
baginya demokrasi di Indonesia tidak dapat berdiri tegak hanya dengan satu kali
periode pemilu. Ada banyak unsur yang
harus bergerak dalam proses demokratisasi di Indonesia, mulai dari partai
politik, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), sistem pertahanan negara, sampai
kebebasan pers untuk mengkritik pemerintah. Unsur-unsur tersebut tidak dapat
mendukung demokratisasi di Indonesia secara cepat, Gus Dur menyatakan bahwa,
“...demokratisasi meski keil dan lambat mulai timbul dn bergerakk. Dikatakan
demikian karena belum terjadi perpindahan titik berat dari kerja
institusi-institusi yang ada.”[31] Lalu
bagaimana dengan masa depan demokrasi di Indonesia ? Tentu jawabannya adalah
hal tersebut akan terjadi secara perlahan, Indonesia akan mengalami perkembangan
demokratisasi seiring berjalannya waktu, karena membangun demokrasi adalah
bukan pekerjaan mudah yang membutuhkan waktu sebentar. Ia tidak dapat dicapai
dengan membubuhkan tanda tangan saja, karena kepentingan yang saling berbeda
akan berlaga di tengah percaturan politik yang ada. Sedangkan pemilu yang
berjalan adalah cara untuk memberikan legitimasi bagi upaya demokratisasi yang
sulit dicapai itu.[32]
Berhubungan
dengan Gus Dur yang lahir dari keluarga besar pendiri Nahdlatul Ulama (NU),
kemudian menjadi pemimpin PBNU pada saat itu, ternyata NU memiliki peran dalam
hal demokratisasi di Indonesia. Yang pada saat itu NU menjadi organisasi Islam
terbesar di Indonesia lebih dekat hubungannya dengan masyarakat.[33]
D.
Kesimpulan
Gus Dur tumbuh
dilingkungan para Kyai. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa Gus Dur adalah
cucu dari KH. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama dari silsilah Ayah,
sedangkan dari silsilah Ibu, Gus Dur adalah cucu dari KH. Bisri Syansuri,
pendiri Pondok Pesantern Mambaul Ma’arif Denayar Jombang. Sejak kecil, Gus Dur
sudah sangat menyukai membaca buku. Hal tersebut juga didorong oleh Ayahnya
yang juga kutu buku. Dapat kita bayangkan bagaimana lingkungan tersebut
mempengaruhi pemikiran-pemikiran yang dimiliki oleh Gus Dur.
KH Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) selain dikenal sebagai politisi Islam, beliau juga dikenal
sebagai seorang mubalig. Melalui tulisan-tulisannya, ceramahnya dan aktivitas
kehidupan serta pembelaannya terhadap sesama, Gus Dur menyebarkan ajaran-ajaran
agama, atau dapat dikatakan bahwa seluruh hidupnya, beliau dedikasikan untuk
menyebarkan ajaran agama Islam. Namun berbeda dengan para muballig konvensional
yang cenderung menyebarkan ajaran - ajaran agama sebatas pada dimensi normatif
dan simboliknya, Gus Dur selalu menyebarkan inti dari ajaran agama, yaitu
ajaran yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta kemanusiaan. Karena
yang disebarkan adalah inti ajaran agama, dakwah Gus Dur bersifat terbuka,
menyeluruh dan mampu merangkum ajaran-ajaran yang baik dari semua agama dan
peradaban. Dakwahnya juga tidak hanya ditujukan kepada dan diterima oleh kelompoknya
saja, tetapi juga pemeluk agama lain dan bahkan lintas bangsa.
Dalam banyak
hal, pemikiran Gus Dur menekankan pada pemikiran yang fleksible dan progresif,
yang dapat pula ditemukan pada beberapa ulama NU, termasuk diantaranya
pendahulunya, yaitu Kyai Achmad Siddiq. Ulama lain yang dapat diidentifikasi
serupa adalah kakek Gus Dur sendiri, Kyai Hasyim Asy’ari, kemudian ayahnya
Wahid Hasyim, dll. Terdapat kesamaan antara Gus Dur dengan para Kyai yang tadi,
walaupun terdapat pula perbedaan yang mendasar.
Berkat
sikapnya yang begitu toleran, demokratis, pluralis, dan humanis itu, Gus Dur
juga disebut sebagai Bapak Pluralisme dan Bapak Toleransi di Indonesia. Meski
tidak jarang beliau justru mendapatkan perlawanan. Padahal, yang beliau
inginkan hanyalah persatuan dan kesatuan Republik Indonesia, dan memaknai bahwa
agama bukan sebagai alasan pembeda atau pemecah. Justru masyarakat Indonesia
haruslah bersyukur, sosok seperti Gus Dur pernah menjadi presiden Republik
Indonesia.
Dalam sejarah
politik dan gerakan sosial di Indonesia, Gus Dur bukan hanya teladan dalam hal
bagaimana menjadi pemimpin politik, tetapi juga bagaimana menjadi pemimpin
sosial dengan tujuan perjuangan yang memiliki manfaat dari masa ke masa. Yaitu perjuangan
atau dakwah dalam mewujudkan nilai-nilai luhur agama dan kemanusiaan. Tidak
heran jika Gus Dur diakui sebagai Bapak Demokrasi, Bapak Pluralisme, Pahlawan
HAM, Bapak Toleransi dan berbagai sebutan yang lain. Namun, menjadi mubalig
kemanusiaan di tengah masyarakat yang tengah mengalami degradasi tentu tidak
mudah.
Gus Dur
berpandangan bahwa Islam tidak harus memaksakan keadaan atau bersikap emosional
untuk mempertahankan pemikiran bahwa Islam mengharuskan ummatnya untuk
mendirikan suatu negara. Gus Dur melanjutkan bahwa “Perkembangan sejarah telah
menunjukkan tidak ada sistem tunggal maupun menetap dalam Islam. Umpamanya
saja, tidak ada cara untuk menetapkan pergantian pemimpin. Dari Abu Bakar ke
Umar bin Khattab ke Ustman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib ke para Raja setelah
mereka kemudian para Presiden hingga para Amir di masa kini, semuanya menjadi
saksi bagi kelangkaaan adanya suksesi dalam Islam, (harus ada suksesi sebagai
tuntutan sejarah, tanpa disebut caranya). Begitu juga, ukuran “masyarakat
Islam” tidak pernah sama.”
Dalam pandangan
Gus Dur, demokrasi sedemikian penting dalam sebuah negara pluralistik, karena
perikehidupan kebangsaan yang utuh hanya bisa tercapai dan tumbuh dalam suasana
demokratis. Gus Dur menyatakan bahwa demokrasi (1) merupakan sistem dan nilai
yang mendukung peradaban tinggi, karena ia mementingkan dan melindungi hak-hak dasar
manusia atas kehidupan, (2) melindungi mereka yang minoritas dan berpendapat
berbeda dari kelompok mayoritas, (3) mempersatukan beragam arah kecenderungan
kekuatan-kekuatan bangsa, dan (4) mengubah keterceraiberaian arah masing-masing
kelompok menjadi berputar bersama menuju kedewasaan, kemajuan dan integritas
bangsa.
E.
Referensi
Febrianti,Fatra
Yeni, “Pemikiran Abdurahman Wahid Tentang Demokrasi”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjung Piang 2016).
Iskandar, A
Muhaimin, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur, (Yogyakarta : LkiS Yogyakarta,
2010).
Maarif, Ahmad
Syafi’i, dkk, Gila Gusdur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta : LkiS
Yogyakarta)
Mirza,
Muhammad, Gus Dur Sang Penakluk, (Jombang : Pustaka Warisan Islam).
Pramana,
Aditya, “Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Pollitik”, (Skripsi S1
Fakultas Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, 2007).
Ubaidillah,
Achmad, “Gus Dur : Muslim Humanis, Pejuang Demokrasi”, artikel diakses pada 19
Desember 2016 dari http://www.thereadinggroup.sg/Articles/Gus%20Dur%20-%20Muslim%20Humanis,%20Pejuang%20Demokrasi.pdf.
Wahid,
Abdurrahman, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Kumpulan Pemikiran K.H.
Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 Republik Indonesia, (Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 1999)
Wahid,
Abdurrahman, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta : LkiS Yogyakarta, 1999).
Wahid,
Abdurrahman, “Demokratisasi, Profesinalisme, dan Islam”, artikel diakses
melalui http://www.gusdur.net/id/gagasan/gagasan-gus-dur/demokratisasi-profesionalisme-dan-islam, pada 19
Desember 2016.
Wahid,
Abdurrahman, “Islam : Pokok dan Rincian”, artikel diakses melalui http://www.gusdur.net/id/gagasan/gagasan-gus-dur/islam-pokok-dan-rincian, pada 19
Desember 2016.
Wahid,
Abdurrahman, Tabayun Gusdur : Probumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi
Kultural, (Yogyakarta : LkiS Yogyakarta,
1998)
[1]Ahmad
Syafi’i Maarif, dkk, Gila Gusdur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid,
(Yogyakarta : LkiS Yogyakarta), h.88
[2]
Muhammad Mirza, Gus Dur Sang Penakluk, (Jombang : Pustaka Warisan
Islam), h.1
[3]
Mirza, Gus Dur Sang Penakluk, h.2
[4]
Mirza, Gus Dur Sang Penakluk, h.8
[5]
Mirza, Gus Dur Sang Penakluk, h.8
[6]
Mirza, Gus Dur Sang Penakluk, h.10
[7]
Syafi’i Maarif, dkk, Gila Gusdur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid, h.88
[8]
A Muhaimin Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur,
(Yogyakarta : LkiS Yogyakarta, 2010), h.2
[9]
Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur, h. 3-5
[10]
Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Kumpulan Pemikiran K.H.
Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 Republik Indonesia, (Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 1999), h.16
[11]
Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur, h. 16
[12]
Ahmad Syafi’i Maarif, dkk, Gila Gusdur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid,
(Yogyakarta : LkiS Yogyakarta), h.87
[13]
Ahmad Syafi’i Maarif, dkk, Gila Gusdur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid,
h.89
[14]
Ahmad Syafi’i Maarif, dkk, Gila Gusdur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid,
h.96-97
[15]
Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur, h.6
[16]Syura
mengandung arti menyarikan suatu pendapat berkenaan dengan suatu permasalahan.
Seiring dengan hal tersebut, maka syura dapat diartikan tukar menukar fikiran untuk
mengetahui dan menetapkan pendapat yang dipandang benar. Syura dapat
juga dipahami sebagai suatu forum tukar menukar pikiran, gagasan ataupun ide,
termasuk saran-saran yang diajukan dalam memecahkan suatu masalah sebelum tiba
pada suatu pengambilan keputusan.
[17]Fatra
Yeni Febrianti, “Pemikiran Abdurahman Wahid Tentang Demokrasi”, (Skripsi S1
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Maritim Raja Ali Haji
Tanjung Piang 2016), h.27-28
[18]
Aditya Pramana, “Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam dan Pollitik”,
(Skripsi S1 Fakultas Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, 2007), h.16
[19]
Achmad Ubaidillah, “Gus Dur : Muslim Humanis, Pejuang Demokrasi”, artikel
diakses pada 19 Desember 2016 dari http://www.thereadinggroup.sg/Articles/Gus%20Dur%20-%20Muslim%20Humanis,%20Pejuang%20Demokrasi.pdf,
h.1
[20]KH.
Abdurrahman Wahid, “Demokratisasi, Profesinalisme, dan Islam”, artikel diakses
melalui http://www.gusdur.net/id/gagasan/gagasan-gus-dur/demokratisasi-profesionalisme-dan-islam,
pada 19 Desember 16.
[21]KH.
Abdurrahman Wahid, “Islam : Pokok dan Rincian”, artikel diakses melalui http://www.gusdur.net/id/gagasan/gagasan-gus-dur/islam-pokok-dan-rincian,
pada 19 Desember 16.
[22]Wahid,
“Islam : Pokok dan Rincian”, artikel diakses melalui http://www.gusdur.net/id/gagasan/gagasan-gus-dur/islam-pokok-dan-rincian,
pada 19 Desember 16.
[23]KH.
Abdurrahman Wahid, Tabayun Gusdur : Probumisasi Islam, Hak Minoritas,
Reformasi Kultural, (Yogyakarta :
LkiS Yogyakarta, 1998), h. 10
[24]
Wahid, Tabayun Gusdur : Probumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi
Kultural, h. 73
[25]
Wahid, Tabayun Gusdur : Probumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi
Kultural, h. 10
[26]
Ubaidillah, “Gus Dur : Muslim Humanis, Pejuang Demokrasi”, h.2
[27]
Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur, h.56
[28]
Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta : LkiS
Yogyakarta, 1999), h.188
[29]
Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, h.189
[30]
Wahid, Tabayun Gusdur : Probumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi
Kultural, h. 74
[31]
Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Kumpulan Pemikiran K.H. Abdurrahman
Wahid Presiden ke-4 Republik Indonesia, h. 156
[32]
Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, h. 156
[33]
Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur, h.136
Komentar
Posting Komentar