Langsung ke konten utama

Bunga Biru

Berbicara soal bulan sabit. Ini bukan cerita yang mungkin berlanjut. Ini bukan soal masa lalu yang akan diunggah dan diperbaharu lagi. Tapi ini soal percakapan kita semua dihari kemarin.
Ketika keputusan satu persatu mulai kita tetapkan. Ketika emosi dan ego mulai kita perlihatkan. Kita coba untuk melihat diri satu sama lain dari sudut yang berbeda. Dari sudut yang sebelumnya tidak kita gunakan.

Dulu sahabatku pernah bilang, "setiap orang berhak menjadi lebih baik"
Sahabatku yang lain bilang, "tidak semua yang kau mau dapat kau genggam"
Perkataan mereka membenturkan aku soal diriku, dan Tuhan. Sejauh mana telah aku pautkan rasaku pada-Nya ?

Iya, aku mulai mengerti maksudmu sahabat. Menjadi lebih baik adalah mutlak bagi siapa saja yang hidup.
Dan Tuhan selalu menunjukkan Kebaikan pada Hamba yang selalu mengharapkan-Nya. Meski dengan cara apapun yang Ia gunakan.
Meski terkadang dengan cara yang membuat manusia tersandung, kemudian barulah manusia sadar akan kebenaran dan hal-hal kebaikan.

Iya, Tuhan memiliki banyak cara.
Banyak cara untuk membuat ku mengerti.
Juga membuatmu mengerti.
Mengerti atas apa yang sebaiknya kita bela.
Cintamu,
Atau Cintaku.
Tapi aku paham,
Kau tak akan berdiri disisiku untuk membelaku.

Dan begitulah cara Tuhan membelaku.

Hari-hari kemarin berlalu terlalu lucu.
Percakapan terjadi antara aku, embun, bulan sabit, awan lembut, juga para kumbang-kumbang taman yang berwarna merah atau kuning.

Embun : "Apa kabar hei manis ? Masihkah kau menunggu ?"

Aku : "Apa maksudmu menunggu ?"

Embun : "Menungguku ? Menunggu Cinta ? Bukankah begitu kesenanganmu ?"

Aku : "Kurang ajar kau embun. Meledekku seperti itu."

Embun : "Meledek ? Bukankah aku benar ?"

Aku : "Untuk apa aku menunggumu ? Bahkan sama sekali cinta tak kau memiliki."

Embun : "Aku punya yang kau mau, aku punya roti manis, aku punya kotak pelangi, aku punya sebongkah alunan musik untuk mu. Bukankah kau sedang mencarinya ?"

Aku : "ehm" (aku berpikir sejenak, meyakinkan diri)

Embun : "Ayolah,,"

Aku : "Tidak. Aku tidak butuh lagi roti manis. Sudah pernah kau janjikan padaku bertahun lalu. Pernah kutagih namun kau belum pernah membawanya padaku. Dan kau bohong soal kotak pelangi. Kau hanya menjadikanku seorang pemimpi yang bodoh. Mana ada pelangi tersimpan dalam kotak."

(Bulan Sabit menyambar percakapan kami)

Bulan Sabit : "Aku punya cincin biru. Seperti yang pernah kuberi saat kita masih kanak-kanak dulu."

Aku : "Ohya ? Ya, jelas aku mempercayaimu. Lantas mana cincin itu ?"

Bulan Sabit : "Besok malam temui aku di pinggir danau. Tataplah aku sepuas hatimu, dan cincin itu tetap untukmu."

(Embun merebut perhatian ku, mengagetkanku, & berseru seraya mengancam.)

Embun : "Hei bunga manis. Aku akan mencegahmu menghampiri danau. Disana terdapat buaya buas. Kau bisa mati."

Aku : "Apa maksudmu hei embun. Kau bahkan lebih buas dan berbahaya. Kau justru yang akan mematikan rasaku."

Bulan Sabit : "Ehm,, kukira kau butuh waktu tuk berpikir. Begitu pula aku."

Aku : "Apa maksudmu bulan sabit ? Aku ada pada mu, bahkan sejak dulu saat aku belum mengenal siapapun. Begitu pula saat kau belum menjadi siapapun. Aku ada padamu."

Bulan Sabit : "Waktu telah berbeda anak manis."

Aku : "Tapi tidak bisa. Rasaku hanya akan menjadi baik jika disambut oleh rasamu."

Bulan Sabit : "Tidak, kau hanya butuh waktu untuk menata rasamu lagi."

Aku : "Apa maksudmu ? Aku tak tahan lagi merasa sakit begini. Tak ingatkah kau saat kita masih kanak-kanak dahulu ? Saat kita belum mengerti banyak hal ?"

Bulan Sabit : "Percayalah kau akan sembuh esok lusa."

Aku : "Ah kau sama saja. Hanya datang untuk meremehkan rasa."

(Bulan sabit diam. Bahkan takut untuk melirikku lagi.)
(Kumbang merah datang.)

Kumbang merah : "Bunga manis. Mari kuhibur kau. Aku punya sayap untuk sekedar mengajakmu berjalan-jalan."

Aku : "Terimakasih atas ketersediaannmu."

Kumbang Merah : "Mari kuhapus sedihmu. Bukan kah aku setia padamu. Sejak kau masih kuncup dan berwarna pucat. Aku selalu ada tuk menjadi teman bagimu."

Aku : "ya, kau memang benar."

Kumbang Merah : "Lalu mengapa kau tak bersedia ku bahagiakan ?"

Aku : "Nanti dulu, kau sahabat ku. Kau sudah cukup membahagiakanku. Lalu apa lagi yang kau harapkan dariku ?"

(Kumbang merah tak menjawab lagi, dan terbang mencari minum.
Kumbang Kuning tak sengaja lewat.)

Aku : "Hei Kuning." (Sapa ku)

Kumbang Kuning : "Oh hai bunga biru... Bagaimana kabarmu ?"

Aku : "Baik sekali."

Kumbang Kuning : "Sepertinya telah terjadi perbincangan yang kecut disini ?"

Aku : "Ah tidak, kami hanya sedang membahas cerita-cerita lucu."

Kumbang Kuning : "Ohya ? Bolehkah aku turut dalam perbincangan ini ?"

Aku : "Ah sudahlah mungkin kau tak pernah dapat mengerti maksud dari yang kami bicarakan."

Kumbang Kuning : "Aku ada disisimu. Jika tak ada yang membelamu aku yang akan membelamu."

Aku : "Ah tetap saja kau takbisa bergabung dengan kami. Atau mungkin kau dengarkan dulu apa yang kami diskusikan."

Bulan Sabit : "Lalu apa keputusanmu embun ?" (Bulan Sabit melanjutkan)

Embun : "Keputusan apa ?"

Aku : "Tunggu dulu, sudahkah kita harus memutuskan ?"

Bulan Sabit : "Iya, tentu saja."

Aku : "Lantas apa kau sudah punya keputusan ? Apa keputusan mu ?"

Bulan Sabit : "Kau sendiri sudah tau apa keputusanku."

Aku : "Jadi itu keputusanmu ?"

Bulan Sabit : "Ya" (dengan mantap)

Aku : "Bagaimana denganmu Mbun ?"

Embun : "Aku masih menunggu waktu"

Aku : "Menunggu waktu untuk apa ? Bahkan kau sudah terlambat."

Embun : "Kau pikirkan saja keputusan untuk dirimu sendiri. Bagaimana denganmu ?"

Aku : "Aku ditakdir untuk menunggu."

Embun : "Menunggu apa ?"

Kumbang Kuning : "Hei apa yang sedang kalian bicarakan ?" (Kumbang Kuning menyambar)

Aku : "Benarkan kataku, kau tidak mengerti. Hahaha"

Kumbang Kuning : "Maksudmu ? Kau menunggu cinta ?"

Aku : "eh hemm..."

(Kabut menyergap, dingin meraba kulit. Menandakan partikel oksigen mulai menipis. Hati sang bunga makin sesak. Datanglah sang Awan yang datang tak sengaja diterpa angin)

Awan Lembut : "Sepertinya disini lebih hangat ?"

Aku : "Hangat ?"

Awan Lembut : "Ya, karena aku merasakan ada pertengkaran disini"

Embun : "Haha Siapa yang bertengkar ?"

Kumbang Kuning : "Tidak ada yang bertengkar, bunga bilang kami hanya membahas cerita-cerita lucu"

Bulan Sabit : "Sama sekali tak ku anggap permasalahan soal perbincangan kami tadi, mana mungkin ada pertengkaran"

Awan Lembut : "Haha, aku hanya menebaknya saja, lagian aku tak mengenal kalian"

Aku : "Tapi awan benar, pertengkaran itu ada"

Awan Lembut : "Mengapa kau membenarkanku ? Menyentuh wujud asliku saja kau belum pernah"

Aku : "Mungkin kau hanya kebetulan benar"

Kumbang Kuning : "Katamu cerita lucu ? Sekarang pertengkaran ? Dapatkah kau menjadi bunga yang stabil ?"

Embun : "Memang begitulah ia"

Aku : "Pertengkaran itu ada dalam hatiku"

(Sekejap semua menoleh padaku, terpaku seolah sedang berpikir)

Awan Lembut : "Sudahlah, kau tak usah rasa-rasakan lagi. Lihatlah pada cakrawala, hidup ini indah"

Aku : "Iya Indah, terimakasih awan"

Awan Lembut : "Siapa namamu ? Dan siapa mereka ini ?"

Aku : "Ah apalah arti nama, hanya suatu panggilan, panggil saja aku biru"

Awan Lembut : "Tak ingin kah kau mengetahui siapa namaku ? Mengapa kau tak bertanya padaku ?"

Aku : "Untuk apa ? Baiknya aku bertanya, untuk apa kau ada disini ?"

Awan Lembut : "Loh, Aku hanya mengikuti arah angin"

(Bulan sabit terlihat gelisah, rasanya ingin segera pergi meninggalkan tempat ini, namun ia sedikit bingung)

Bulan Sabit : "Aku memiliki bunga disana, jika aku lama-lama ditempat ini, pastilah ia mencariku"

Aku : "Ia siapa ? Yang sedang kau ajak bicara ini bunga juga kan ?"

Embun : "Haha,, Aku punya lebih banyak bunga, bahkan aku punya taman bunga yang sangat luas, mereka semua mencariku kemanapun aku pergi, aku layani mereka selayaknya mereka bunga satu-satunya untukku"

Aku : "Termasuk aku ? ah baiknya kau saja yang pergi sedari awal"

Bulan Sabit : "Kau bukan lagi bunga yang indah bagiku, lagi pula masih banyak bunga yang lebih aku sukai, akan kupilih satu diantara mereka"

Aku : "Lantas bagaimana dengan aku ?"

(Kumbang Merah datang dengan bising kepak sayapnya)

Kumbang Merah : "Tenang bunga biru, aku masih ada padamu"

Aku : "Tak mengertikah engkau bahwa aku tak memintamu ?"

(Kumbang Kuning menyahut)

Kumbang Kuning : "Kelak kau akan tersadar dan menerima siapa-siapa saja yang memintamu meski kau tak memintanya"

Aku : "Tidak adakah mimpi yang lebih buruk lagi ?"

(Awan lembut yang tak mengerti apa-apa hanya terdiam menyimak suara alam)

Awan Lembut : "Bunga, untuk apa kau memperdebatkan hal semacam ini ? Ini tidak berfaedah untukmu"

Aku : "Ya, aku tau. Aku lelah"

Awan Lembut : "Hahaha sudahlah, lewati hari-harimu yang indah ini. Kau masih punya banyak waktu untuk bahagia. Hidupmu penuh untung."

Perbincangan usai tanpa jawaban. Segalanya menggantung. Berharap pada takdir yang meneruskan perbincangan kemarin. Hari-hari berlalu dan aku mulai belajar mengenal awan, juga belajar belajar soal hidup dengannya.

Aku : "Lantas bagaimana denganmu ? Tidakkah kau merasa sepi ?"

Awan Lembut : "Tidak, aku memiliki banyak teman. Kau juga punya banyak teman, tak bersyukurkah kau ?"

Aku : "Oh ya, aku masih belajar untuk pandai bersyukur, hanya saja kadang aku kesal,"

Awan Lembut : "Kesal kenapa ?"

Aku : "Kesal kadang semua terjadi tak sesuai dengan harapanku"

Awan Lembut : "Hahaha, jadilah lebih baik lagi, Tuhan mau kita menjadi manusia yang terdidik. Semakin kau kesal, semakin Tuhan menambahkan kekesalanmu."

Aku : "Begitukah ?"

Awan Lembut : "Ya, begitulah hidup. Hikmah menyelimuti hari-hari kita, hanya saja kita yang tak mau mengerti"

Aku : "Baiklah akan aku coba. Lantas bagaimana denganmu ? Bagaimana jika kau merasa sendiri ?"

Awan Lembut : "Aku punya banyak hal untuk membuat diriku senang, termasuk jika kau senang. Aku pun akan turut senang. Hahaha"

Aku : "Seperti itu kah ? Baiklah, aku senang angin telah membawamu padaku"


Percayalah padaku, tidak pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi esok hari. Segala kenyamanan hari ini tidak ada yang menjamin esok masih tetap menjadi milikmu. Hingga kau akhirnya menjadi mengerti kemudian bergumam "Ooo jadi seperti ini"

(Hari silih berganti, hingga bunga mengerti apa maksud Tuhan Maha Membolak-balikkan hati)

Aku : "Awan, tak kasihan kah kau padaku ?"

Awan Lembut : "Kasihan kenapa ?"

Aku : "Turunlah kemari disisiku. Aku tak dapat menggapaimu jika kau tetap bergantung diatas kepalaku"

Awan Lembut : "Kau mau aku bersamamu mendekati tanah ?"

Aku : "Kenapa ? Nada bicaramu seperti tak mau?"

Awan Lembut : "Bukan aku tak mau, hanya..."

Aku : "Apa ? Bukankah kau bersedia menjadi temanku ? Setiap hari kau mendengarkan senandungku"

Awan Lembut : "Ehm tidak, maaf bunga kecil... Aku hanya mengikuti arah angin"

Aku : "Maksudmu, kau mau pergi ?"

Awan Lembut : "Pergi ? emm, aku tidak pernah pergi kemana-mana. Aku ada disini hanya karena mengikuti angin. Maaf aku belum bisa menggapaimu dan mendekati tanah"

Aku : "Baiklah, jika begitu"

Awan Lembut : "Apa aku juga membuatmu menjadi bersedih ?"

Aku : "Ah tidak, lupakan saja"

Awan Lembut : "Ayolah, haruskah kau menyalahkan angin yang membawaku ? Bahkan ia tak bersalah. Kau pasti dapat memahaminya"

Aku : "Tidak, aku tidak sedih. Hanya saja kemarin aku sempat merasa senang"


Angin berlalu, membawa hari-hari. Satu persatu luka dibasuh oleh air hujan  yang dibawa oleh awan gelap. Satu persatu elemen alam telah memberi keputusannya. Bulan Sabit pergi dengan keputusannya, hingga Awan Lembut memutuskan untuk pergi. Saat ini aku mengerti. Tak ada awan lagi menggantung diatas ubun-ubunku yang sempat meneduhkan hati. Sekarang saatnya aku kembali mendekat pada Sang Pemilik Hati. Sudah kah aku mendengarkan Ia penuh-penuh dalam hatiku ?

Tersisa para kumbang yang memutuskan untuk menjadi sahabatku.
Mereka sahabat yang baik. Cukuplah mereka mengingatkan aku pada hal-hal baik. Cukuplah mereka membuatku tertawa dan tidak merasa sepi.

Lantas, aku berpikir.
Seindah-indahnya suatu penerimaan adalah yang menerima dan diterima dengan cinta.
Aku tak dapat memaksa siapapun untuk menerima dan mencintaku. Begitu sebaliknya aku tak dapat terpaksa tuk menerima dan mencinta seseorang.
Lantas apa lagi yang kau tunggu ?
Bahkan tak sedikitpun kau kekurangan. Kau hidup dilingkupi oleh kebaikan dan cinta.

Iya, aku masih menunggu.
Bukan, bukan yang seperti orang-orang. Aku tak iri pada mereka.
Hanya ini yang ku mau,
Ketika takdir dan hatiku berjalan seirama.
Karena aku yakin, takdir pasti membawaku pada rasa yang terindah.


Cengkareng, 12/08/16

By Irmaayus
Canon EOS 1200D



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cyclo Progynova #part1

Ehem, kali ini saya akan ceritakan sedikit pengalaman saya mengonsumsi Cyclo Progynova. Saya memiliki masalah dengan hormon. Secara fisik, badan saya tidak ideal memang, tinggi saya sekitar 160cm dan berat badan 42kg. Saya sangat tau bahwa berat badan saya tidak ideal, bisa dibilang sangat kurang. Tapi apalah dikata, saya memang sulit untuk gemuk. Hehe. Saya memiliki masalah dengan siklus haid. Sejak saya sekolah, haid saya sudah tidak teratur. Kadang lancar, kadang engga. Bulan ini haid lancar, bulan depan saya bisa enggak dapat haid. Atau saya pernah mengalami darah Istihadah. Selama sebulan full saya mendapati pendarahan serupa haid, dan hal tersebut sangat meresahkan. Saya galau sekali memikirkan hukum suci saya. Memang sih, kalau lebih dari 15 hari masih ada darah. Saya dikatakan wajib beribadah dan hukumnya sama seperti saya ketika suci. Tapi bagian paling merepotkan adalah ketika saya harus memastikan bahwa saya 'bersih' dan saya harus bersih-bersih sebel

Cyclo Progynova #part2

Yak... Ini lanjutan review yang pernah aku buat tahun lalu, yaitu mengenai Cyclo Progynova. Aku memang sengaja tidak ingin menulis kelanjutannya, tapi karena ada beberapa teman yang menghubungiku untuk menanyakan lanjutan ceritanya, maka baiklah, aku akan melanjutkannya. Well, sebenarnya aku memang malas melanjutkan untuk menulis cerita tentang ini, karena aku mengalami sedikit kekecewaan, aku malah takut orang lain yang membacanya malah ikutan kecewa, wkwk. Padahal kan pengalaman kita bisa berbeda. Jadi sebenarnya aku tidak mengonsumsinya sampai 3 blister. Aku berhenti ketika blister kedua habis, dan ternyata hal tersebut berdampak kurang baik. Aku mengalami flek-flek tidak menentu kadang ada, kadang tidak ada, dengan kurun waktu yang tidak bisa ditebak, seminggu ada, seminggu hilang, dan hal tersebut berlangsung selama sekitar satu semester alias 4 bulan, kira-kira selama aku semester 7. Jadi, aku selesai mengonsumsi blister kedua itu tepat saat setelah liburan lebaran

Syura, Ahlul Halli wal Aqdi, dan Bay’ah wal Mubayaah

(essay ini saya tulis dalam memenuhi tugas mata kuliah Politik Islam) Syura, Ahlul Halli wal Aqdi, dan Bay’ah wal Mubayaah ( Irma Ayu Sawitri – 1113015000092 – irma.ayus13@mhs.uinjkt.ac.id ) Syura             Kata syura memiliki pengertian yang sangat beragam. Sesungguhnya istilah syura berasal dari kata sy-wa-ra, syawir yang berarti berkonsultasi, menasehati, memberi isyarat, petunjuk dan nasehat. Pendapat yang lain mengatakan pula bahwa syura memiiki kata kerja syawara-yusyawiru  yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan untuk mengambil sesuatu. Menurut Imam Syahid Hasan al-Banna Syura adalah suatu proses dalam mencari sebuah keputusan atau kesepakatan yang berdasarkan pada suara terbanyak dan berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan hendaklah setiap urusan itu diserahkan kepada para ahlinya demi mewujudkan suatu hasil yang maksimal dalam rangka menjaga stabilitas antara pemimpin dengan rakyat. [1]             Secara istilah penggunaan kata   syura menga