Langsung ke konten utama

BULAN SABIT

Bulan Sabit

Telah lama tak kusapa kata-kataku. Entahlah, mungkin terbenam oleh rasa yang pekat, atau pupus karena sepi. Sehingga kata pun malas memanggilku untuk bercerita. Padahal kurindu kata-kata yang dulu menjadi karib ku. Tapi mengapa saat ini begitu jauh dari rasa ku.
Saat itu, aku berdiri ditepi dermaga. Sampai disana ditemani embun yang sejuk. Begitu banyak kata indah terukir disana. Kata bagai bunga warna-warni untukku, mewarnai senyumku, bersamanya embun yang sejuk seakan cukup bagiku hanya dengan bersamanya. Sang embun mengajakku mengarungi samudera yang terhampar dihadapan kami. Senyumku merekah, diiringi kata-kata indah darinya, hatiku penuh dengan bunga.
Bulan kupandang meski hanya sesekali. Kulihat ia bulan sabit, indah bagai sunging senyum yang menawan. Menambah subur bunga yang semerbak dihatiku.



Embun ada disisiku, ia indah bagiku, seindah kata-kata yang ia cipta untukku. Aku penuh dengan ketulusan. Bagai bunga manis bermahkota putih, bagiku kata adalah kejujuran. Entahlah, segala pikirku terisi betapa bahagianya bila aku bersama embun selamanya. Penuh kesejukan, penuh keindahan, penuh dengan bunga. Sampai saat embun sampaikan padaku bahwa aku adalah warna. Dan bagiku ia pun warna.
Samudera begitu luas untuk aku dan embun. Embun menyuruhku menggenggam pasir meski mereka terlepas. Entah apa maksudnya. Seiring aku sadar samudera begitu luas. Seiring embun mulai sadar, aku mungkin tak seindah warna yang ia inginkan.
Aku masih bagai bunga bermahkota putih, ketulusan masih memenuhi hatiku. Sampai kata tak lagi kupandang sebagai kejujuran. Sampai embun bukan lagi kesejukan. Embun mengguncangku dengan ombak yang ia ciptakan. Aku masih bersombong, bahwa ketulusan masih memenuhi hatiku, samar untukku membedakan benci dan tulus. Embun menenggelamkanku. Kapal kita karam ditelan ombak ditengah malam yang gelap. Kutengok langit, disana bulan sabit masih menyapaku manis.
Tenggelam aku dalam rasa yang pekat.  Menjauh dari kata, seakan tak tersedia lagi kata pada rasa. Lama aku membeku. Tak pernah kurasa lagi menjadi bunga bermahkota putih. Bunganya layu, khawatir mati. Rasaku begitu tawar, padahal aku menemukan banyak hal baru, warna-warna yang menemani hariku, juga mewarnai hatiku. Tapi mengapa sulit kutemu dan kurasa warna-warna yang kumau. Jutaan warna memenuhi hidupku. Tapi aku hilang, aku lupa akan kata-kata sebagai kejujuran. Tak kuperdulikan lagi, ternyata aku menikmati warna-warna meski jujur bukanlah mereka yang ku mau. Sekarang aku sadar, pantas kata enggan memanggilku tuk bercerita, tenyata aku melupakan rasa, bahwa bagiku kata adalah kejujuran. Aku merusak warna yang seharusnya indah. Aku geram. Mungkin ini ulah embun.
Akhirnya malam mengundangku tuk berkata. Pikirku melayang menggali rasa yang telah lama tersimpan. Sudah usang, tapi malam memaksaku untuk mendekatinya. Ya Tuhan, ini adalah luka ku yang dulu, namun luka yang kurang sempurna bagiku, ia melukaiku dulu, tidaklah hanya hati, ragaku pun berdarah karenanya. Aku adalah bunga bermahkota putih, saat embun mulai berkata-kata padaku, juga saat embun  masih belum menyapaku. Ini rumit, dulu bunga pernah layu, tapi tak seberapa, kemudian embun hadir menyejukkannya. Tapi aku pun tak mengerti, embun dan segala kata-katanya membuat bunga kembali layu, meski bunga layu, justru bunga kembali mekar, seperti saat sebelum embun menyapa. Aku semakin yakin, luka itu memang bukan luka yang sempurna.
Malam menghembuskan bias cahaya bulan, masih bulan sabit. Kali ini kutemukan kembali kata-kata ku yang pernah beku karna rasa yang tersesat. Telah jauh jarakku pada sang bulan. Kuingat, pernah ia memintaku melupakannya, tapi rasa menuntunku untuk kembali melangkah tuk menemukannya. Akankah malam mau berbagi padaku ? Bagaimanakah cara agar aku menggapai sang bulan. Kusapa ia dalam gelap, dalam renungan rasaku. Terlintas marah saat berandai kalau saja bulan tak tergapai olehku. Ah... rasa-rasanya rasaku dikuasai seluruhnya olehnya. Meski dihari kemarin, bukan malam memang, tapi gelap, aku tetapkan bahwa gelap tetaplah gelap. Tapi ternyata segalanya tak mampu menghalangi rasa. Bahkan sang embun sekalipun.
Embun mencoba menghampiri, memintaku kembali merengkuh dayungku bersamanya. Aku tak dapat berbohong, meski embun menghianatiku atas kata-katanya sendiri, setidaknya embun telah menorehkan warna padaku. Warna yang mungkin tak kutemukan pada daun, angin, awan, atau ranting kering. Meski ia telah memporak-poranda rasaku, aku tak dapat memendam dendam dan benci padanya. Aku maafkan ia, tulus, sebagaimana sang bulan yang memandangiku dari balik awan dan kabut, dan meski aku melangkah memunggunginya. Maaf embunku, warnaku, aku tak dapat membiarkan perahuku terlalu jauh tersesat bersamamu.
Ya, kusudahi saja kata-kataku tentang embun. Tak ada lagi rasa yang dapat mengiringi kataku tentang embun, biarkan waktu berlalu membiarkan rasa memilih kehendaknya sendiri. Menjadi hak bagiku, untuk menentukan sendiri apa yang kurasa. Dan kali ini tak ada kehendak lain selain inginku menggapai sang bulan. Rasaku tertuju padanya, satu. Aku mengaku bahwa kumengenal ia cukup dalam. Dan ia pun mengenal aku, penuh, dengan caranya yang lembut dan sangat ku sukai. Kita pernah sama-sama belajar saat kita masih belasan. Dulu jarak kita tak seperti bulan dengan bunga yang akarnya menjalar pada kulit bumi. Kita masih berjalan bersama pada alur yang sama, sebelum sang bulan berkata “Sebaiknya kita berpisah arah, kau ke utara, aku ke selatan, kelak kita akan bertemu dipersimpangan jalan, pada ujung jalan yang akan kita tapaki masing-masing ini” sejak saat itu kusapa ia dari gelap dan kejauhan, hanya sinarnya tipis yang dapat kusawang, ia indah bagai bulan sabit.
Entah bagaimana rasanya padaku, ia tau bahwa bunga yang mekar ini hanya tertuju padanya, namun kadang aku ragu, akankah hanya aku yang dapat menyapa sinarnya, atau mungkin tidak. Tapi untuk sekedar menghibur rasaku, kuanggap sinarnya hanya untuk menyinari hatiku yang kemarin beku.
Sebagai seorang yang memiliki rasa, aku merasa cukup dewasa saat ini. Kupikir tidak masalah jika bulan tetap duduk pada kursinya, kemudian aku tetap pada pijakanku. Kedewasaanku mengantarkan rasaku padanya, ia lebih banyak menggoreskan warna padaku, sampai pada keyakinanku terpaku. Aku rasa, hanya rasa yang dapat merambat melalui rindu, meski terhalang oleh jarak dan waktu. Semoga hari kemarin dapat kita perbaiki berdua, pada hari esok, sampai hari-hari habis bergulir. Semoga saja Tuhan melindungi rasaku dari pupus.


( Sabtu, 11 April 2015. Pukul :  0:30 )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cyclo Progynova #part1

Ehem, kali ini saya akan ceritakan sedikit pengalaman saya mengonsumsi Cyclo Progynova. Saya memiliki masalah dengan hormon. Secara fisik, badan saya tidak ideal memang, tinggi saya sekitar 160cm dan berat badan 42kg. Saya sangat tau bahwa berat badan saya tidak ideal, bisa dibilang sangat kurang. Tapi apalah dikata, saya memang sulit untuk gemuk. Hehe. Saya memiliki masalah dengan siklus haid. Sejak saya sekolah, haid saya sudah tidak teratur. Kadang lancar, kadang engga. Bulan ini haid lancar, bulan depan saya bisa enggak dapat haid. Atau saya pernah mengalami darah Istihadah. Selama sebulan full saya mendapati pendarahan serupa haid, dan hal tersebut sangat meresahkan. Saya galau sekali memikirkan hukum suci saya. Memang sih, kalau lebih dari 15 hari masih ada darah. Saya dikatakan wajib beribadah dan hukumnya sama seperti saya ketika suci. Tapi bagian paling merepotkan adalah ketika saya harus memastikan bahwa saya 'bersih' dan saya harus bersih-bersih sebel

Cyclo Progynova #part2

Yak... Ini lanjutan review yang pernah aku buat tahun lalu, yaitu mengenai Cyclo Progynova. Aku memang sengaja tidak ingin menulis kelanjutannya, tapi karena ada beberapa teman yang menghubungiku untuk menanyakan lanjutan ceritanya, maka baiklah, aku akan melanjutkannya. Well, sebenarnya aku memang malas melanjutkan untuk menulis cerita tentang ini, karena aku mengalami sedikit kekecewaan, aku malah takut orang lain yang membacanya malah ikutan kecewa, wkwk. Padahal kan pengalaman kita bisa berbeda. Jadi sebenarnya aku tidak mengonsumsinya sampai 3 blister. Aku berhenti ketika blister kedua habis, dan ternyata hal tersebut berdampak kurang baik. Aku mengalami flek-flek tidak menentu kadang ada, kadang tidak ada, dengan kurun waktu yang tidak bisa ditebak, seminggu ada, seminggu hilang, dan hal tersebut berlangsung selama sekitar satu semester alias 4 bulan, kira-kira selama aku semester 7. Jadi, aku selesai mengonsumsi blister kedua itu tepat saat setelah liburan lebaran

Syura, Ahlul Halli wal Aqdi, dan Bay’ah wal Mubayaah

(essay ini saya tulis dalam memenuhi tugas mata kuliah Politik Islam) Syura, Ahlul Halli wal Aqdi, dan Bay’ah wal Mubayaah ( Irma Ayu Sawitri – 1113015000092 – irma.ayus13@mhs.uinjkt.ac.id ) Syura             Kata syura memiliki pengertian yang sangat beragam. Sesungguhnya istilah syura berasal dari kata sy-wa-ra, syawir yang berarti berkonsultasi, menasehati, memberi isyarat, petunjuk dan nasehat. Pendapat yang lain mengatakan pula bahwa syura memiiki kata kerja syawara-yusyawiru  yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan untuk mengambil sesuatu. Menurut Imam Syahid Hasan al-Banna Syura adalah suatu proses dalam mencari sebuah keputusan atau kesepakatan yang berdasarkan pada suara terbanyak dan berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan hendaklah setiap urusan itu diserahkan kepada para ahlinya demi mewujudkan suatu hasil yang maksimal dalam rangka menjaga stabilitas antara pemimpin dengan rakyat. [1]             Secara istilah penggunaan kata   syura menga