Bulan Sabit
Telah lama tak kusapa kata-kataku. Entahlah, mungkin
terbenam oleh rasa yang pekat, atau pupus karena sepi. Sehingga kata pun malas
memanggilku untuk bercerita. Padahal kurindu kata-kata yang dulu menjadi karib
ku. Tapi mengapa saat ini begitu jauh dari rasa ku.
Saat itu, aku berdiri ditepi dermaga. Sampai disana
ditemani embun yang sejuk. Begitu banyak kata indah terukir disana. Kata bagai
bunga warna-warni untukku, mewarnai senyumku, bersamanya embun yang sejuk
seakan cukup bagiku hanya dengan bersamanya. Sang embun mengajakku mengarungi
samudera yang terhampar dihadapan kami. Senyumku merekah, diiringi kata-kata
indah darinya, hatiku penuh dengan bunga.
Bulan kupandang meski hanya sesekali. Kulihat ia bulan
sabit, indah bagai sunging senyum yang menawan. Menambah subur bunga yang
semerbak dihatiku.
Embun ada disisiku, ia indah bagiku, seindah kata-kata
yang ia cipta untukku. Aku penuh dengan ketulusan. Bagai bunga manis bermahkota
putih, bagiku kata adalah kejujuran. Entahlah, segala pikirku terisi betapa
bahagianya bila aku bersama embun selamanya. Penuh kesejukan, penuh keindahan,
penuh dengan bunga. Sampai saat embun sampaikan padaku bahwa aku adalah warna.
Dan bagiku ia pun warna.
Samudera begitu luas untuk aku dan embun. Embun
menyuruhku menggenggam pasir meski mereka terlepas. Entah apa maksudnya.
Seiring aku sadar samudera begitu luas. Seiring embun mulai sadar, aku mungkin
tak seindah warna yang ia inginkan.
Aku masih bagai bunga bermahkota putih,
ketulusan masih memenuhi hatiku. Sampai kata tak lagi kupandang sebagai
kejujuran. Sampai embun bukan lagi kesejukan. Embun mengguncangku dengan ombak
yang ia ciptakan. Aku masih bersombong, bahwa ketulusan masih memenuhi hatiku,
samar untukku membedakan benci dan tulus. Embun menenggelamkanku. Kapal kita
karam ditelan ombak ditengah malam yang gelap. Kutengok langit, disana bulan
sabit masih menyapaku manis.
Tenggelam aku dalam rasa yang pekat. Menjauh dari kata, seakan tak tersedia lagi
kata pada rasa. Lama aku membeku. Tak pernah kurasa lagi menjadi bunga
bermahkota putih. Bunganya layu, khawatir mati. Rasaku begitu tawar, padahal
aku menemukan banyak hal baru, warna-warna yang menemani hariku, juga mewarnai
hatiku. Tapi mengapa sulit kutemu dan kurasa warna-warna yang kumau. Jutaan
warna memenuhi hidupku. Tapi aku hilang, aku lupa akan kata-kata sebagai
kejujuran. Tak kuperdulikan lagi, ternyata aku menikmati warna-warna meski
jujur bukanlah mereka yang ku mau. Sekarang aku sadar, pantas kata enggan
memanggilku tuk bercerita, tenyata aku melupakan rasa, bahwa bagiku kata adalah
kejujuran. Aku merusak warna yang seharusnya indah. Aku geram. Mungkin ini ulah
embun.
Akhirnya malam mengundangku tuk berkata. Pikirku
melayang menggali rasa yang telah lama tersimpan. Sudah usang, tapi malam
memaksaku untuk mendekatinya. Ya Tuhan, ini adalah luka ku yang dulu, namun
luka yang kurang sempurna bagiku, ia melukaiku dulu, tidaklah hanya hati,
ragaku pun berdarah karenanya. Aku adalah bunga bermahkota putih, saat embun
mulai berkata-kata padaku, juga saat embun
masih belum menyapaku. Ini rumit, dulu bunga pernah layu, tapi tak
seberapa, kemudian embun hadir menyejukkannya. Tapi aku pun tak mengerti, embun
dan segala kata-katanya membuat bunga kembali layu, meski bunga layu, justru
bunga kembali mekar, seperti saat sebelum embun menyapa. Aku semakin yakin,
luka itu memang bukan luka yang sempurna.
Malam menghembuskan bias cahaya bulan, masih bulan sabit.
Kali ini kutemukan kembali kata-kata ku yang pernah beku karna rasa yang
tersesat. Telah jauh jarakku pada sang bulan. Kuingat, pernah ia memintaku
melupakannya, tapi rasa menuntunku untuk kembali melangkah tuk menemukannya. Akankah
malam mau berbagi padaku ? Bagaimanakah cara agar aku menggapai sang bulan. Kusapa
ia dalam gelap, dalam renungan rasaku. Terlintas marah saat berandai kalau saja
bulan tak tergapai olehku. Ah... rasa-rasanya rasaku dikuasai seluruhnya
olehnya. Meski dihari kemarin, bukan malam memang, tapi gelap, aku tetapkan
bahwa gelap tetaplah gelap. Tapi ternyata segalanya tak mampu menghalangi rasa.
Bahkan sang embun sekalipun.
Embun mencoba menghampiri, memintaku kembali merengkuh
dayungku bersamanya. Aku tak dapat berbohong, meski embun menghianatiku atas
kata-katanya sendiri, setidaknya embun telah menorehkan warna padaku. Warna yang
mungkin tak kutemukan pada daun, angin, awan, atau ranting kering. Meski ia
telah memporak-poranda rasaku, aku tak dapat memendam dendam dan benci padanya.
Aku maafkan ia, tulus, sebagaimana sang bulan yang memandangiku dari balik awan
dan kabut, dan meski aku melangkah memunggunginya. Maaf embunku, warnaku, aku tak
dapat membiarkan perahuku terlalu jauh tersesat bersamamu.
Ya, kusudahi saja kata-kataku tentang embun. Tak ada
lagi rasa yang dapat mengiringi kataku tentang embun, biarkan waktu berlalu
membiarkan rasa memilih kehendaknya sendiri. Menjadi hak bagiku, untuk
menentukan sendiri apa yang kurasa. Dan kali ini tak ada kehendak lain selain
inginku menggapai sang bulan. Rasaku tertuju padanya, satu. Aku mengaku bahwa
kumengenal ia cukup dalam. Dan ia pun mengenal aku, penuh, dengan caranya yang
lembut dan sangat ku sukai. Kita pernah sama-sama belajar saat kita masih belasan.
Dulu jarak kita tak seperti bulan dengan bunga yang akarnya menjalar pada kulit
bumi. Kita masih berjalan bersama pada alur yang sama, sebelum sang bulan
berkata “Sebaiknya kita berpisah arah, kau ke utara, aku ke selatan, kelak kita
akan bertemu dipersimpangan jalan, pada ujung jalan yang akan kita tapaki
masing-masing ini” sejak saat itu kusapa ia dari gelap dan kejauhan, hanya
sinarnya tipis yang dapat kusawang, ia indah bagai bulan sabit.
Entah bagaimana rasanya padaku, ia tau bahwa bunga yang
mekar ini hanya tertuju padanya, namun kadang aku ragu, akankah hanya aku yang
dapat menyapa sinarnya, atau mungkin tidak. Tapi untuk sekedar menghibur rasaku,
kuanggap sinarnya hanya untuk menyinari hatiku yang kemarin beku.
Sebagai seorang yang memiliki rasa, aku merasa cukup
dewasa saat ini. Kupikir tidak masalah jika bulan tetap duduk pada kursinya,
kemudian aku tetap pada pijakanku. Kedewasaanku mengantarkan rasaku padanya, ia
lebih banyak menggoreskan warna padaku, sampai pada keyakinanku terpaku. Aku
rasa, hanya rasa yang dapat merambat melalui rindu, meski terhalang oleh jarak
dan waktu. Semoga hari kemarin dapat kita perbaiki berdua, pada hari esok, sampai
hari-hari habis bergulir. Semoga saja Tuhan melindungi rasaku dari pupus.
( Sabtu,
11 April 2015. Pukul : 0:30 )
Komentar
Posting Komentar