Langsung ke konten utama

Kehilangan Diri (Part 1) : Berhenti Kerja

Jujur, aku masih butuh pekerjaan itu dulu, namun aku sudah tidak kuat karena sudah ada indikasi dibuat untuk resign. Hari demi hari semakin terasa seperti di neraka. Padahal, gajinya lumayan untuk aku menabung, dan untukku kontrol behel, dan mempersiapkan perlengkapan bayi. Jujur, masih sangat butuh pekerjaan itu. Sore itu, aku pulang ditengah gerimis, dengan mual diperutku karena hamil muda. Aku menangis disana, disepanjang jalan puri indah - srengseng menuju kost-kostan ku yang berlokasi di Kebon Jeruk. Menangis dan mengucapkan banyak doa dan harapan disepanjang jalan, aku yang masih ingin menerima gaji setiap bulan terpaksa harus kehilangan penghasilan.

Hari-hari terasa sangat lambat, aku banyak tidur saat itu, untuk melupakan perasaan dan masalah. Tidak jarang masih dihubungi teman mengenai pekerjaan, benci rasanya. Saking sedihnya, disetiap tidur aku masih memimpikan masa-masa aku bekerja dan bercanda dengan teman-teman. Aku selalu bangun dengan perasaan mendung. Meratapi kenyataan aku sudah tidak bisa kirim uang lagi untuk mamakku, meratapi kenyataan aku sudah tidak punya uang lagi untuk kontrol behel ku, meratapi kenyataan aku harus dirumah merindukan canda tawa bersama teman-temanku, meratapi kenyataan tersiksanya jiwa extrovertku harus terkurung dibalik pintu.

Aku masih belum berani melamar pekerjaan, karena aku masih trauma, dan mendadak tidak percaya diri dengan kemampuanku. Mendadak minder karena aku cuma ibu hamil yang baperan, tidak bisa bekerja ditengah tekanan. Aku yang ceria mendadak pundung setiap harinya, terdiam memandangi sore hari melalui jendela kamar kost ku yang lebar. Beruntung, suamiku selalau ada disana.

Suamiku tidak pergi bekerja setiap hari, saat itu dia masih seorang penulis skenario lepas, dan masih sibuk mengurus perilisan film pertamanya di bioskop. Saat itu, aku masih sangat percaya dengan pekerjaannya, aku percaya penghasilannya cukup, aku selalu percaya. Namun ternyata aku tetap merasa kehilangan pekerjaan dan penghasilanku saat itu. Perasaan tidak leluasa menggunakan uang suami memenuhi hatiku, aku yang terbiasa jajan sendiri, belanja sendiri, kirim uang ke orang tua dan traktir mereka makan terpaksa berhenti. Saat itu aku mencoba menjalani gaya hidup yang baru, tidak mudah bahkan butuh waktu lama untukku benar-benar menerima.

Mual diperutku semakin tidak tertahan, akhirnya aku muntah. Semakin membuatku mengurungkan diri untuk melamar pekerjaan. Aku menjadi lebih sering tidur, aku gampang lelah dan mudah ngantuk. Sehari aku bisa tidur 3 kali, pagi setelah sarapan, siang setelah makan siang, dan malam abis isya, hehe. Kehamilanku membuat aku sering ngantuk dan muntah :(. Kegalauanku mulai terdistraksi dengan kehamilan, dan aku mulai fokus memikirkan kehamilanku.

Covid-19 mewabah !

Suamiku tidak punya penghasilan. Industri perfileman mati suri, dan kami terdampak !

Setiap hari kami bangun untuk jemur dipagi hari, masih dengan perasaan Optimis bahwa pandemi ini akan berlalu hanya 3 bulan saja, atau 5 bulan, atau 6 bulan. Ternyata pandemi berlangsung lama hingga kami mulai lelah menunggu.

Saat itu, ramadhan pertama kami sebagai suami istri dan aku sedang hamil 6 bulan. Pertama kalinya aku menyiapkan makan sahur untuk suami, dan saat itu aku tetap berusaha untuk berpuasa meski hamil, dan berat tapi aku tetap melaksanakannya dengan aturan sehari puasa sehari libur. Aku bersyukur sekali bisa bersama dengan suamiku 24 jam setiap hari. Meski disisi lain kami sedang galau karena tidak punya penghasilan, harus bayar kost 2jt/bulan, dan harus periksa hamil secara mandiri. Tapi jujur aku bahagia banget bisa bareng terus sama suamiku.

Aku mulai mencair, tidak lagi memikirkan kerja, karena covid mewabah dan banyak PHK. Saat itu aku memiliki pembenaran bahwa sebaiknya aku dirumah. Namun masih terasa aneh saat lebaran tiba. Aku tidak membeli baju saat itu, dan aku tidak memberikan uang mamakku sebanyak saat aku kerja sebelumnya. Aku menghargai suamiku yang sedang sulit, aku tidak mau menuntut banyak. Suamiku meminta aku belanja  baju lebaran, tapi aku berpikir uangnya untuk kontrol hamil dan beli vitamin aja. Jujur, sebenarnya aku tidak mau banyak mengalah, aku ingin lebaranku yang biasa, aku belanja dan bersenang-senang, namun kenyataan saat itu aku harus memikirkan keberlangsungan hidup kami berdua.

Lebaran pertamaku bersama suami agak tidak biasa, selain keadaan pandemi covid, ya aku tidak bisa banyak belanja seperti lebaran-lebaranku sebelumnya. Biasanya, saat lebaran adalah saatnya aku membelanjakan uang yang sudah aku kumpul-kumpulkan, namun keadaan sekarang berbeda. Sedikit kecewa, tapi aku berusaha untuk menerima. Gak ada mukena baru, gak ada makeup baru, gak ada sandal baru, gak ada pergi jalan-jalan, dan pakai baju lama.

Disaat sepi, aku merasa kehilangan diriku. Aku pernah menjadi orang yang sangat percaya diri dan sangat nyaman dengan diri sendiri. Yaitu saat aku bisa kerja dan punya gaji yang lumayan untuk seorang fresh graduate. Aku bisa beli pakaian, tas, sepatu, bisa beli skincare, bisa pasang behel, aku punya tabungan, bisa traktir keluarga. Sumpah, aku pernah hidup senyaman itu, dan aku merasa inilah jati diriku, inilah masa yang aku tunggu. Namun ternyata tidak lama hal tersebut berlangsung. Ketika memutuskan berhenti bekerja, seperti sekejap kesenangan itu hilang.

Aku merindukan kenyamanan dan kesenangan itu, sangat merindukan. Aku rindu diriku yang penuh percaya diri dan kebebasan. Aku rindu banyak teman dan patungan beli kopi promosi. Dengan perut yang semakin berat dan besar, aku bangun dari lamunanku, dan aku kembali kekenyataan bahwa hidupku sudah berubah dan aku harus fokus dan berusaha untuk melahirkan anak diperutku.

Bukan aku tidak bahagia dengan suamiku, bukan aku tidak menjadi diriku apa adanya ketika menikah dengannya, tapi percayalah semua terasa berbeda, hanya itu saja.

Hari-hari terakhir kehamilanku lagi-lagi dirundung oleh kegalauan. Biaya kontrol hamil dan vitamin sebulan bisa 500rb, dan biaya melahirkan juga gak murah apalagi harus operasi dengan biaya mandiri.  Aku juga terpaksa harus memilihkan perlengkapan bayi yang murah harganya. Dengan tanpa penghasilan, kami dipaksa untuk percaya dengan ketidak pastian. Aku bersyukur dan beruntung melalui masa itu dengan suamiku, karena suamiku adalah suami yang sangat bertanggung jawab. Dia selalu bertekad bisa beri kehidupan yang layak.

Meski kami jalani hari ditengah ketidak pastian, suamiku tidak pernah pelit meski aku tau dia tidak punya pemasukan. Suamiku selalu memberiku yang terbaik, mulai dari tempat tinggal, periksa hamil, vitamin hamil, makanan bergizi, dll. Dan ketika kami mencoba percaya dan pasrah pada ketidak pastian, Tuhan selalu memberi kami kejutan-kejutan indah, saat Inara mau lahir, suamiku dapat uang honor dari penjualan film dan pelunasan projek yang pernah dia kerjakan. Dan hal tersebut sangat kami syukuri adanya.

Diriku yang dulu punya banyak ruang dan waktu untuk diriku sendiri, kini diriku harus banyak mengalah dan meredam ambisi-ambisiku untuk bisa bertahan hidup berdua. Aku kehilangan diriku yang dulu dan harus menyesuaikan diri pada kehidupan yang baru, tidak mudah, bahkan kini aku masih memperjuangkannya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cyclo Progynova #part1

Ehem, kali ini saya akan ceritakan sedikit pengalaman saya mengonsumsi Cyclo Progynova. Saya memiliki masalah dengan hormon. Secara fisik, badan saya tidak ideal memang, tinggi saya sekitar 160cm dan berat badan 42kg. Saya sangat tau bahwa berat badan saya tidak ideal, bisa dibilang sangat kurang. Tapi apalah dikata, saya memang sulit untuk gemuk. Hehe. Saya memiliki masalah dengan siklus haid. Sejak saya sekolah, haid saya sudah tidak teratur. Kadang lancar, kadang engga. Bulan ini haid lancar, bulan depan saya bisa enggak dapat haid. Atau saya pernah mengalami darah Istihadah. Selama sebulan full saya mendapati pendarahan serupa haid, dan hal tersebut sangat meresahkan. Saya galau sekali memikirkan hukum suci saya. Memang sih, kalau lebih dari 15 hari masih ada darah. Saya dikatakan wajib beribadah dan hukumnya sama seperti saya ketika suci. Tapi bagian paling merepotkan adalah ketika saya harus memastikan bahwa saya 'bersih' dan saya harus bersih-bersih sebel

Cyclo Progynova #part2

Yak... Ini lanjutan review yang pernah aku buat tahun lalu, yaitu mengenai Cyclo Progynova. Aku memang sengaja tidak ingin menulis kelanjutannya, tapi karena ada beberapa teman yang menghubungiku untuk menanyakan lanjutan ceritanya, maka baiklah, aku akan melanjutkannya. Well, sebenarnya aku memang malas melanjutkan untuk menulis cerita tentang ini, karena aku mengalami sedikit kekecewaan, aku malah takut orang lain yang membacanya malah ikutan kecewa, wkwk. Padahal kan pengalaman kita bisa berbeda. Jadi sebenarnya aku tidak mengonsumsinya sampai 3 blister. Aku berhenti ketika blister kedua habis, dan ternyata hal tersebut berdampak kurang baik. Aku mengalami flek-flek tidak menentu kadang ada, kadang tidak ada, dengan kurun waktu yang tidak bisa ditebak, seminggu ada, seminggu hilang, dan hal tersebut berlangsung selama sekitar satu semester alias 4 bulan, kira-kira selama aku semester 7. Jadi, aku selesai mengonsumsi blister kedua itu tepat saat setelah liburan lebaran

Syura, Ahlul Halli wal Aqdi, dan Bay’ah wal Mubayaah

(essay ini saya tulis dalam memenuhi tugas mata kuliah Politik Islam) Syura, Ahlul Halli wal Aqdi, dan Bay’ah wal Mubayaah ( Irma Ayu Sawitri – 1113015000092 – irma.ayus13@mhs.uinjkt.ac.id ) Syura             Kata syura memiliki pengertian yang sangat beragam. Sesungguhnya istilah syura berasal dari kata sy-wa-ra, syawir yang berarti berkonsultasi, menasehati, memberi isyarat, petunjuk dan nasehat. Pendapat yang lain mengatakan pula bahwa syura memiiki kata kerja syawara-yusyawiru  yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan untuk mengambil sesuatu. Menurut Imam Syahid Hasan al-Banna Syura adalah suatu proses dalam mencari sebuah keputusan atau kesepakatan yang berdasarkan pada suara terbanyak dan berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan hendaklah setiap urusan itu diserahkan kepada para ahlinya demi mewujudkan suatu hasil yang maksimal dalam rangka menjaga stabilitas antara pemimpin dengan rakyat. [1]             Secara istilah penggunaan kata   syura menga